Perjalanan umrah seorang waria, Isa Zega, yang mengenakan hijab syar’i telah memicu kontroversi besar dan reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan anggota DPR RI. Aksi Isa Zega, yang diunggah melalui akun media sosialnya, bukan kali pertama. Pada tahun 2023, ia juga telah melakukan ibadah umrah dengan mengenakan hijab, cadar, dan gamis panjang. Perbuatan ini dinilai oleh banyak pihak sebagai pelanggaran norma agama dan hukum positif di Indonesia.
MUI Sulawesi Selatan (Sulsel) secara tegas menyatakan bahwa tindakan Isa Zega tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. DR KH Syamsul Bahri Abd Hamid, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sulsel, menjelaskan bahwa seorang muslim wajib berpenampilan sesuai dengan kodratnya. "Jika ia seorang laki-laki, maka harus berpenampilan sesuai kodratnya sebagai seorang lelaki," tegasnya dalam pernyataan resmi MUI yang dirilis pada Selasa, 19 November 2024.
Penjelasan lebih lanjut disampaikan terkait istilah-istilah dalam Islam yang relevan dengan kasus ini, yaitu khuntsa, mukhannats, dan mutarajjilah. Khuntsa merujuk pada individu yang terlahir dengan dua alat kelamin, kondisi yang biasanya memerlukan penanganan medis untuk menentukan jenis kelamin. Mukhanats didefinisikan sebagai laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan, sementara mutarajjilah adalah perempuan yang menyerupai laki-laki. Kedua kategori terakhir, menurut KH Syamsul Bahri, dilarang dalam Islam.
Sebagai landasan hukum agama, beliau mengutip hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, "Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, begitu pula wanita yang menyerupai laki-laki." (HR Ahmad). Berdasarkan hadits tersebut, MUI Sulsel berpendapat bahwa tindakan Isa Zega termasuk kategori mukhannats, yaitu laki-laki yang menyerupai perempuan. "Allah akan melaknatnya selama ia terus memakai pakaian yang menyerupai perempuan," tambahnya, menekankan keseriusan pelanggaran agama yang dilakukan.
Reaksi keras tidak hanya datang dari MUI. Mufti Anam, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, juga turut mengecam tindakan Isa Zega dan menyebutnya sebagai penistaan agama. Dalam sebuah video yang diunggah di akun Instagram pribadinya, Mufti Anam mengungkapkan keprihatinannya dan menyatakan, "Saya sangat miris sekali… ada seseorang bernama ‘Mami Online’ alias Isa Zega alias Sahrul, dia adalah seorang transgender, transwomen, waria, yang di awalnya adalah seorang laki-laki, dia melakukan ibadah umrah dengan menggunakan hijab syar’i dan ini merupakan bagian dari penistaan agama."
Meskipun telah menjalani transformasi fisik menyerupai perempuan, Mufti Anam menegaskan bahwa Isa Zega tetap berjenis kelamin laki-laki secara lahiriah. Oleh karena itu, ia seharusnya menjalankan ibadah umrah sesuai dengan tata cara yang berlaku bagi laki-laki. Lebih lanjut, Mufti Anam menilai tindakan Isa Zega melanggar hukum positif Indonesia, khususnya Pasal 156a KUHP tentang penistaan agama, yang ancaman hukumannya mencapai 5 tahun penjara.
"Tapi si Isa Zega ini berbeda, dia melakukan umrah dengan menggunakan prosesi dan cara-cara perempuan, ini adalah bagian dari penistaan agama. Bagaimana seorang penista agama sudah diatur dalam KUHP Nomor 156A dengan ancaman 5 tahun penjara," tegas Mufti Anam. Ia pun mendesak aparat penegak hukum untuk segera menangkap Isa Zega dan memprosesnya sesuai hukum yang berlaku. Hal ini, menurutnya, penting untuk mencegah terulangnya tindakan serupa dan menjaga kondusivitas sosial di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar kedua di dunia.
"Maka harapan kami, penegak hukum, kepolisian, dan pihak-pihak terkait untuk segera menangkap si mami online ini agar ke depan tidak ada mami-mami online lain yang melecehkan agama kita. Ingat, bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar kedua di dunia. Harapan kami tidak menimbulkan kericuhan di tengah-tengah masyarakat, juga tidak menjadi contoh yang buruk," tutup Mufti Anam.
Kasus ini menimbulkan perdebatan yang kompleks, menyentuh isu sensitif terkait identitas gender, interpretasi ajaran agama, dan penegakan hukum. Pernyataan MUI dan DPR RI yang mengecam tindakan Isa Zega mencerminkan pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Namun, di sisi lain, kasus ini juga memunculkan pertanyaan tentang toleransi, pemahaman yang lebih inklusif terhadap keberagaman gender, dan bagaimana hukum dapat mengakomodasi perbedaan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keagamaan dan nilai-nilai sosial.
Perlu dikaji lebih dalam bagaimana hukum dan agama dapat beriringan dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini. Apakah pendekatan hukum yang represif, seperti yang disarankan oleh Mufti Anam, merupakan solusi yang tepat? Atau, apakah diperlukan pendekatan yang lebih humanis dan edukatif untuk meningkatkan pemahaman dan toleransi di tengah masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan diskusi yang mendalam dan melibatkan berbagai pihak, termasuk para ahli agama, hukum, dan aktivis hak asasi manusia. Tujuannya adalah untuk menemukan solusi yang adil dan bijaksana, yang melindungi hak-hak semua warga negara tanpa mengabaikan nilai-nilai keagamaan dan norma-norma sosial yang berlaku di Indonesia.
Lebih jauh lagi, penting untuk mempertimbangkan konteks budaya dan sosial di Indonesia. Meskipun MUI dan DPR RI mewakili sebagian besar pandangan masyarakat, perlu dipertimbangkan juga perspektif lain yang mungkin berbeda. Diskusi yang terbuka dan kritis sangat diperlukan untuk menghindari polarisasi dan menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif. Kasus Isa Zega bukan hanya tentang pelanggaran hukum atau agama, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi kompleksitas identitas gender dan keberagaman dalam konteks keagamaan dan hukum. Oleh karena itu, solusi yang komprehensif harus mempertimbangkan semua aspek tersebut untuk mencapai keadilan dan harmoni sosial. Perdebatan ini akan terus berlanjut, dan semoga dapat menghasilkan pemahaman yang lebih baik dan solusi yang lebih bijaksana di masa mendatang.