Jakarta, 24 November 2024 – Kehebohan melanda jagat maya menyusul aksi seorang selebgram transgender, Isa Zega (nama asli Syahrul Isa), yang menunaikan ibadah umrah di Tanah Suci dengan mengenakan pakaian dan hijab muslimah. Tindakan ini menuai kecaman keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menegaskan tindakan tersebut sebagai penyimpangan nyata dari syariat Islam.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Muiz Ali, dalam keterangan resmi yang disampaikan kepada MUIDigital pada Ahad (23/11/2024), menyatakan penolakan tegas terhadap perilaku Isa Zega. Beliau menjelaskan bahwa tindakan tersebut masuk dalam kategori mukhanats (laki-laki yang menyerupai perempuan) atau mutarajjilat (perempuan yang menyerupai laki-laki), keduanya dikategorikan sebagai perbuatan menyimpang dalam pandangan fikih Islam.
“Baik mukhanats maupun mutarajjilat merupakan perbuatan yang menyimpang dari fitrah yang telah Allah SWT tetapkan,” tegas KH Muiz Ali. “Keduanya sama-sama menolak fitrah asli penciptaan mereka sebagai laki-laki atau perempuan.” Pernyataan ini menekankan bahwa tindakan Isa Zega bukan sekadar persoalan pakaian, melainkan menyangkut penolakan terhadap kodrat dan ketentuan Ilahi.
KH Muiz Ali selanjutnya merujuk pada beberapa dalil Al-Qur’an dan Hadis yang menjadi dasar hukum pelarangan perilaku transgender. Ayat Al-Hujurat ayat 13 menjadi landasan utama: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.” Ayat ini, menurut KH Muiz Ali, menegaskan bahwa penciptaan manusia hanya dalam dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, sebuah ketentuan Ilahi yang tidak dapat diubah atau ditentang.
Lebih lanjut, KH Muiz Ali mengutip Hadis Rasulullah SAW yang secara tegas melarang perilaku menyerupai lawan jenis. Hadis riwayat Bukhari menyebutkan, “Rasulullah SAW melaknati laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” Hadis lain yang diriwayatkan Bukhari juga menyatakan, “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan dan perempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki. Beliau bersabda, ‘Usirlah mereka dari rumah kalian.’”
Larangan ini, menurut penjelasan KH Muiz Ali, berlaku komprehensif, meliputi aspek pakaian, perhiasan, perilaku, dan bahkan suara. Tidak ada ruang toleransi bagi tindakan yang dianggap menentang fitrah dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Pandangan para ulama terdahulu juga memperkuat fatwa MUI. KH Muiz Ali mengutip pendapat Imam At-Thabary yang dikutip Ibnu Bathal dalam Syarah Shahih Bukhari: “Tidak boleh bagi laki-laki menyerupai perempuan dalam persoalan pakaian dan perhiasan yang secara khusus dipergunakan oleh kaum hawa. Hal yang sama berlaku juga sebaliknya, perempuan tidak boleh menyerupai laki-laki.” (Ibnu Bathal, Syarah Shahih Bukhari, jilid IX, halaman 140).
Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir juga menegaskan haramnya bagi laki-laki menggunakan pakaian perempuan atau meniru karakteristik perempuan, termasuk gerakan, suara, dan tingkah laku. Hal ini menunjukkan adanya konsensus ulama sepanjang sejarah Islam dalam menolak praktik transgender.
Lebih dari sekadar pelanggaran norma agama, KH Muiz Ali menekankan bahwa transgender merupakan penyimpangan yang memerlukan perhatian serius, baik dari individu yang bersangkutan maupun masyarakat luas. Islam, menurutnya, menyerukan kepada setiap individu untuk kembali kepada fitrah yang telah ditetapkan Allah SWT, meskipun mungkin terdapat kecenderungan atau dorongan untuk menyerupai lawan jenis.
“Kewajiban kita, jika mendapati seseorang laki-laki memiliki karakter dan sifat cenderung ingin seperti perempuan, maka kita menasihatinya dengan baik,” ujar KH Muiz Ali. Ia menekankan pentingnya pendekatan persuasif dan bimbingan spiritual untuk membantu individu tersebut memperbaiki diri dan memohon petunjuk kepada Allah SWT.
“Selain itu, kita bisa menyampaikan kepadanya supaya orang tersebut terus berusaha agar dirinya tidak memiliki kecenderungan karakter dan sifat yang melawan fitrahnya sendiri. Seraya ia terus memohon kepada Allah SWT agar tidak tergolong orang yang terus larut dalam perbuatan yang dilarang dalam agama Islam,” tambahnya.
Pernyataan MUI ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang bagaimana masyarakat Islam seharusnya berinteraksi dengan individu transgender. Di satu sisi, terdapat kewajiban untuk menegakkan syariat Islam dan menjaga kesucian ajaran agama. Di sisi lain, terdapat tuntutan untuk bersikap humanis dan memberikan bimbingan kepada mereka yang tengah berjuang melawan kecenderungan yang bertentangan dengan fitrahnya.
Peristiwa ini juga menggarisbawahi kompleksitas isu gender dan identitas dalam konteks agama. Perdebatan tentang bagaimana menafsirkan dan menerapkan ajaran agama dalam konteks sosial yang terus berubah menjadi semakin relevan. Pernyataan MUI ini, meskipun tegas, juga membuka ruang untuk dialog dan diskusi lebih lanjut mengenai pendekatan yang lebih komprehensif dan humanis dalam menghadapi isu transgender dalam masyarakat Islam. Perlu diingat bahwa menjaga kesucian ajaran agama tidak harus diiringi dengan sikap intoleransi dan pengucilan. Sebaliknya, pendekatan yang bijaksana dan penuh empati diperlukan untuk membimbing individu transgender agar dapat menemukan jalan hidup yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan martabat kemanusiaan. Perdebatan ini akan terus berlanjut, menuntut pemahaman yang lebih mendalam terhadap teks-teks agama dan konteks sosial yang dinamis.