Malam pertama bulan Rajab, bulan yang dimuliakan dalam Islam, kerap diiringi berbagai amalan sunnah. Salah satunya adalah sholat Raghaib, sholat sunnah sebanyak 12 rakaat yang diyakini memiliki keutamaan khusus. Namun, pelaksanaan sholat ini telah menjadi subjek perdebatan panjang di kalangan ulama, memicu pertanyaan mendasar tentang keabsahan dan status hukumnya dalam ajaran Islam.
Anjuran pelaksanaan sholat Raghaib bersumber pada sejumlah riwayat hadits, salah satunya yang dinisbatkan kepada Anas bin Malik RA. Hadits ini, yang panjang dan detailnya tidak dijelaskan secara utuh dalam berita awal, menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalan yang dianjurkan di dalamnya. Salah satu bagian hadits tersebut menyebutkan anjuran berpuasa di awal, pertengahan, dan akhir bulan Rajab, serta menyinggung sholat khusus pada malam Jumat pertama bulan Rajab. Penggalan hadits tersebut, yang menjadi rujukan utama pendukung sholat Raghaib, kurang lebih berbunyi: "Maka tidak seorang pun yang berpuasa pada hari Kamis (hari Kamis pertama pada bulan Rajab) kemudian salat di antara waktu Maghrib dan Isya, yaitu pada malam Jumat 12 rakaat…", dan seterusnya. Hadits ini kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tata cara dan keutamaan sholat tersebut.
Tata cara pelaksanaan sholat Raghaib sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mafatih al-Jinan karya Syekh Abbas Al-Qummi, meliputi sejumlah rakaat dengan bacaan dan wirid tertentu. Detail tata cara ini, meskipun telah dijelaskan dalam berbagai literatur, tidak diuraikan secara rinci dalam berita ini, mengingat fokus utama adalah pada kontroversi seputar keabsahan amalan tersebut.
Namun, persepsi dan pandangan ulama terhadap sholat Raghaib terbelah menjadi dua kubu yang berseberangan. Perbedaan pendapat ini menunjukkan kompleksitas dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran agama, mengingat pentingnya pemahaman yang komprehensif dan berlandaskan pada sumber-sumber yang sahih.
Jumhur ulama kontemporer (ulama mutaakhirin), sebagaimana tertuang dalam buku 12 Bulan Mulia: Amalan Sepanjang Tahun karya Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny, mayoritas menganggap sholat Raghaib sebagai bid’ah (inovasi dalam agama yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi) dan bahkan menilainya sebagai amalan yang tidak benar atau dusta. Penolakan ini didasarkan pada keraguan terhadap keabsahan hadits yang menjadi landasan utama pelaksanaan sholat Raghaib. Mereka meragukan keshahihan sanad (rantai periwayatan) hadits tersebut, menganggapnya lemah atau bahkan palsu. Argumentasi ini menekankan pentingnya berhati-hati dalam menerima dan mengamalkan hadits yang status kesahihannya masih dipertanyakan.
Di sisi lain, kelompok ulama yang menganjurkan pelaksanaan sholat Raghaib berpegang teguh pada hadits riwayat Anas bin Malik tersebut, meskipun hadits ini diragukan kesahihannya oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa hadits tersebut, meskipun lemah, masih dapat dijadikan rujukan untuk melaksanakan sholat Raghaib, selama diiringi dengan kehati-hatian dan pemahaman yang mendalam tentang konteksnya. Perbedaan interpretasi terhadap hadits ini menjadi akar perselisihan di antara kedua kubu.
Untuk memperjelas perbedaan pendapat ini, penting untuk merujuk pada kitab-kitab hadits yang diakui keilmuannya. Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, misalnya, mengandung hadits-hadits shahih (shahih) tentang amalan sholat malam. Namun, kitab ini tidak menyebutkan adanya sholat malam khusus pada malam Jumat pertama bulan Rajab. Hadits-hadits shahih dalam kitab ini justru menekankan keutamaan sholat malam secara umum, tanpa membatasi pada waktu atau hari tertentu. Ini menunjukkan bahwa amalan sholat malam dianjurkan secara umum, bukan hanya pada waktu-waktu spesifik seperti yang diklaim dalam hadits tentang sholat Raghaib.
Lebih lanjut, hadits shahih dari Abu Hurairah RA yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim menyebutkan, "Sholat yang paling utama setelah sholat fardhu adalah sholat malam." Hadits ini memperkuat anjuran sholat malam secara umum, tanpa membatasi pada waktu atau bentuk tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa fokus utama ajaran Islam adalah pada konsistensi dalam melaksanakan sholat malam, bukan pada ritual-ritual spesifik yang keabsahannya masih dipertanyakan.
Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam an-Nawawi juga memberikan gambaran tentang praktik sholat malam Rasulullah SAW. Riwayat dari Aisyah RA menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memulai sholat malam dengan dua rakaat yang ringan. Deskripsi ini memberikan contoh praktik sholat malam yang sederhana dan mudah dipraktikkan, sekaligus menunjukkan bahwa tidak ada ritual khusus yang harus dipatuhi dalam melaksanakan sholat malam.
Kesimpulannya, perdebatan seputar sholat Raghaib menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang mendalam dan kritis terhadap sumber-sumber ajaran Islam. Meskipun ada riwayat yang menyebutkan sholat Raghaib, kebanyakan ulama kontemporer meragukan kesahihan hadits tersebut dan menganggap sholat Raghaib sebagai bid’ah. Hadits-hadits shahih justru menekankan keutamaan sholat malam secara umum, tanpa membatasi pada waktu atau bentuk tertentu. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk berpegang teguh pada sumber-sumber ajaran yang sahih dan menghindari amalan-amalan yang keabsahannya masih dipertanyakan untuk menghindari kesesatan dalam beribadah. Sikap kehati-hatian dan ketaatan pada ajaran yang jelas menjadi kunci dalam menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan agama Islam. Lebih baik fokus pada amalan-amalan yang telah jelas keutamaannya dan kesahihannya berdasarkan hadits shahih, daripada terjebak dalam perdebatan yang tidak menghasilkan manfaat spiritual yang signifikan. Mengutamakan pemahaman yang komprehensif dan berlandaskan pada sumber-sumber terpercaya akan menghindarkan kita dari praktik keagamaan yang kontroversial dan memastikan ibadah kita sesuai dengan tuntunan ajaran Islam yang benar.