Jakarta, 12 Februari 2025 – Menjelang bulan Syaban, kembali mencuat perbincangan mengenai sholat Nisfu Syaban, khususnya praktik pelaksanaan sebanyak 100 rakaat. Amalan ini, yang diyakini sebagian umat Islam sebagai bentuk ibadah sunnah di malam pertengahan Syaban, menimbulkan perdebatan di kalangan ulama terkait keabsahan dan landasan hukumnya. Artikel ini akan mengupas tuntas tata cara pelaksanaan sholat Nisfu Syaban 100 rakaat, menganalisis sumber rujukannya, serta menelaah berbagai pendapat ulama yang pro dan kontra terhadap amalan tersebut.
Tata Cara Sholat Nisfu Syaban (Versi 100 Rakaat): Sebuah Tinjauan Praktis
Tata cara pelaksanaan sholat Nisfu Syaban 100 rakaat, sebagaimana dirujuk dari sejumlah literatur keagamaan, umumnya mengikuti kaidah sholat sunnah pada umumnya. Namun, jumlah rakaatnya yang mencapai seratus merupakan poin yang paling sering dipertanyakan. Berikut uraian tata caranya:
Niat: Niat merupakan unsur pokok dalam setiap ibadah. Untuk sholat Nisfu Syaban, niat yang lazim diucapkan adalah:
(Arab): اُصَلِّي سُنَّةَ نِصْفِ شَعْبَانَ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
(Latin): Usholli sunnatana nisfi sya’baana rak’ataini lillahi ta’ala.
(Indonesia): Saya niat sholat sunnah Nisfu Syaban dua rakaat karena Allah Ta’ala.Perlu dicatat bahwa niat ini diucapkan sebelum memulai setiap dua rakaat sholat. Oleh karena itu, niat tersebut harus diulang sebanyak 50 kali untuk menyelesaikan 100 rakaat sholat.
-
Pelaksanaan: Sholat dilakukan seperti sholat sunnah lainnya, dengan bacaan Al-Fatihah dan surat pendek pada setiap rakaat. Tata cara ruku’, sujud, dan duduk di antara dua sujud juga sama seperti sholat wajib. Namun, karena jumlah rakaatnya yang banyak, disarankan untuk mengatur waktu dan istirahat di antara setiap beberapa rakaat agar tidak terlalu membebani fisik.
-
Doa Setelah Sholat: Setelah menyelesaikan sholat, dianjurkan untuk membaca doa-doa sesuai dengan kebutuhan dan harapan masing-masing. Doa-doa umum seperti doa setelah sholat, doa untuk keselamatan dunia dan akhirat, atau doa-doa khusus lainnya dapat dibaca.
Landasan Hukum dan Referensi: Sebuah Analisis Kritis
Sumber rujukan utama yang sering dikutip untuk mendukung pelaksanaan sholat Nisfu Syaban 100 rakaat adalah kitab Ihya ‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Dalam kitab tersebut, Imam al-Ghazali memang menekankan pentingnya memperbanyak ibadah di malam-malam yang memiliki keutamaan, termasuk malam Nisfu Syaban. Namun, kitab tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan jumlah rakaat sholat yang harus dilakukan.
Referensi lain yang seringkali digunakan adalah riwayat dari al-Hasan yang menyebutkan keutamaan sholat di malam Nisfu Syaban. Riwayat ini, namun, tidak menyebutkan jumlah rakaat tertentu. Oleh karena itu, angka 100 rakaat tampaknya lebih merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat daripada dalil yang kuat secara tekstual.
Perbedaan Pendapat Ulama: Sebuah Perspektif yang Komprehensif
Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai sholat Nisfu Syaban 100 rakaat cukup signifikan. Sebagian ulama menerima amalan ini sebagai bentuk ibadah sunnah yang dianjurkan, sementara sebagian lainnya mempertanyakan keabsahannya dan bahkan menganggapnya sebagai bid’ah.
-
Pendukung Amalan: Pendukung amalan ini umumnya berlandaskan pada anjuran umum untuk memperbanyak ibadah di malam-malam istimewa seperti Nisfu Syaban, serta mengacu pada riwayat-riwayat yang menyebutkan keutamaan malam tersebut. Mereka berpendapat bahwa jumlah rakaat bukanlah hal yang mutlak dan dapat disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
-
Penentang Amalan: Penentang amalan ini, diwakili oleh ulama seperti Imam an-Nawawi, menganggap angka 100 rakaat tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Quran dan Hadits. Mereka memperingatkan potensi amalan tersebut masuk kategori bid’ah, yaitu ibadah yang baru muncul setelah masa Rasulullah SAW dan tidak ada contohnya di zaman beliau. Imam an-Nawawi, dalam kitab Majmu’ Syarh Muhadzab, menekankan pentingnya berhati-hati dalam menjalankan amalan yang tidak memiliki dasar yang jelas dalam ajaran Islam. Kekhawatiran akan bid’ah mungkar menjadi alasan utama penolakan mereka.
Malam Nisfu Syaban: Lebih dari Sekadar Sholat 100 Rakaat
Perdebatan seputar sholat Nisfu Syaban 100 rakaat seharusnya tidak mengaburkan esensi utama dari malam tersebut, yaitu kesempatan untuk meningkatkan ketaqwaan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Malam Nisfu Syaban, sebagaimana malam-malam lainnya yang memiliki keutamaan, merupakan waktu yang tepat untuk memperbanyak ibadah seperti sholat sunnah, tadarus Al-Quran, berdzikir, berdoa, dan beristighfar.
Lebih penting lagi untuk memahami bahwa keutamaan malam Nisfu Syaban terletak pada niat dan keikhlasan dalam beribadah, bukan pada jumlah rakaat sholat yang dilakukan. Melakukan sholat sunnah dengan jumlah rakaat yang lebih sedikit, namun dengan khusyu’ dan penuh keikhlasan, akan jauh lebih bernilai daripada melaksanakan sholat dengan jumlah rakaat yang banyak namun tanpa kekhusyukan.
Kesimpulan: Menyeimbangkan Tradisi dan Pemahaman yang Tepat
Sholat Nisfu Syaban 100 rakaat merupakan amalan yang kontroversial. Meskipun beberapa referensi keagamaan menyebutkan keutamaan malam Nisfu Syaban dan anjuran memperbanyak ibadah, jumlah rakaat yang spesifik (100 rakaat) tidak memiliki dasar yang kuat secara tekstual. Perbedaan pendapat ulama juga perlu diperhatikan, terutama kekhawatiran akan munculnya bid’ah.
Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk memiliki pemahaman yang komprehensif dan bijak dalam menjalankan ibadah. Lebih baik fokus pada meningkatkan kualitas ibadah, mengutamakan keikhlasan dan kekhusyukan, daripada terpaku pada jumlah rakaat atau ritual tertentu. Malam Nisfu Syaban hendaknya menjadi momentum untuk meningkatkan ketaqwaan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam yang benar dan terhindar dari potensi bid’ah. Menghidupkan malam tersebut dengan berbagai amalan sunnah lainnya, selain sholat sunnah, merupakan pilihan yang lebih bijaksana dan aman. Konsultasi dengan ulama yang terpercaya juga sangat dianjurkan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih akurat dan mendalam.