Jakarta, 20 Desember 2024 – Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025 telah memicu gelombang protes dari berbagai kalangan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU). Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), mendesak pemerintah untuk memberikan penjelasan yang komprehensif dan transparan kepada masyarakat terkait kebijakan kontroversial ini. Keengganan pemerintah untuk berkomunikasi secara efektif, menurut Gus Yahya, telah memicu reaksi negatif dan penolakan dari publik.
Dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (20/12/2024), Gus Yahya menekankan pentingnya pemahaman publik terhadap konteks kebijakan kenaikan PPN. Ia menyatakan, "Masyarakat perlu mendengar penjelasan pemerintah secara utuh. Penjelasan yang transparan akan membantu masyarakat memahami agenda dan problematika yang mendasari urgensi penyesuaian pajak ini, termasuk nalar fiskalnya dan, yang tak kalah penting, benefit apa yang akan diterima rakyat sebagai imbasnya."
Gus Yahya khawatir, tanpa penjelasan yang memadai, masyarakat hanya akan merespon kebijakan ini dengan tuntutan-tuntutan parsial dan reaktif, tanpa memahami konteks yang lebih luas. Ia berharap, melalui dialog dan diskusi yang komprehensif, semua pihak dapat menganalisis secara objektif kebutuhan negara dan dampak kebijakan ini terhadap kesejahteraan rakyat. "Dengan penjelasan yang komprehensif, diharapkan semua pihak dapat berpikir lebih jernih tentang apa yang secara obyektif dibutuhkan oleh negara," tegasnya.
Pernyataan Gus Yahya ini menjadi representasi dari kekhawatiran publik yang semakin meluas. Kenaikan PPN, yang diklaim pemerintah sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara dan menjaga stabilitas ekonomi nasional, dianggap oleh banyak pihak sebagai beban tambahan bagi masyarakat di tengah tantangan ekonomi global yang masih kompleks.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers "Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan" pada Senin (16/12/2024), membela kebijakan ini dengan alasan bahwa kenaikan PPN sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ia menekankan bahwa kebijakan ini bersifat selektif, hanya menyasar barang dan jasa mewah atau premium, seperti makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan internasional berbiaya tinggi.
Sri Mulyani juga menegaskan bahwa pemerintah selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong royong dalam pemungutan pajak. "Disebut berkeadilan karena kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir," ujarnya.
Untuk meredam gejolak, pemerintah menawarkan sejumlah stimulus dan perlindungan sosial. Di antaranya adalah bantuan pangan, diskon listrik 50%, perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5% untuk UMKM, insentif PPh 21 DTP untuk industri karya, dan berbagai insentif PPN dengan total alokasi mencapai Rp265,6 triliun untuk tahun 2025. Sri Mulyani menyatakan bahwa mayoritas insentif perpajakan ini akan dinikmati oleh rumah tangga, serta ditujukan untuk mendorong dunia usaha dan UMKM.
Namun, penjelasan pemerintah tersebut tampaknya belum cukup meyakinkan publik. Sebuah petisi online di situs change.org yang berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" yang diluncurkan sejak 19 November 2024, telah mengumpulkan lebih dari 90.000 tanda tangan hingga Kamis (19/12/2024) malam. Angka ini menunjukkan besarnya penolakan publik terhadap rencana kenaikan PPN.
Analisis lebih lanjut menunjukkan beberapa kelemahan dalam argumen pemerintah. Meskipun pemerintah menekankan sifat selektif dari kenaikan PPN, definisi "mewah" dan "premium" masih ambigu dan berpotensi menimbulkan interpretasi yang berbeda. Kekhawatiran muncul bahwa kenaikan PPN ini pada akhirnya akan membebani seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya kelompok mampu. Kenaikan harga barang dan jasa sebagai konsekuensi dari kenaikan PPN akan berdampak pada daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.
Selain itu, efektivitas stimulus dan bantuan sosial yang ditawarkan pemerintah juga dipertanyakan. Apakah jumlah dan jenis bantuan tersebut sudah cukup untuk meredam dampak negatif kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat? Apakah penyaluran bantuan tersebut akan tepat sasaran dan transparan? Pertanyaan-pertanyaan ini masih membutuhkan jawaban yang jelas dan memuaskan dari pemerintah.
Ketidakjelasan dalam komunikasi pemerintah juga menjadi sorotan. Penjelasan yang disampaikan cenderung terkesan normatif dan kurang detail. Pemerintah perlu memberikan data dan analisis yang lebih komprehensif untuk mendukung argumennya. Transparansi dan keterbukaan informasi sangat penting untuk membangun kepercayaan publik dan mengurangi resistensi terhadap kebijakan ini.
Lebih lanjut, perlu dipertanyakan apakah kenaikan PPN merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan fiskal negara. Apakah pemerintah telah mengeksplorasi semua alternatif kebijakan fiskal yang mungkin, sebelum mengambil langkah yang berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian dan kesejahteraan rakyat?
Dalam konteks ini, peran lembaga-lembaga independen, seperti DPR dan lembaga pengawas keuangan, sangat penting untuk mengawasi dan mengevaluasi kebijakan kenaikan PPN. Mereka perlu memastikan bahwa kebijakan ini disusun dan diimplementasikan secara adil, transparan, dan akuntabel. Peran media massa juga krusial dalam memberikan informasi yang akurat dan obyektif kepada publik, serta menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Kesimpulannya, rencana kenaikan PPN menjadi 12% menimbulkan kontroversi yang signifikan. Desakan Gus Yahya dan penolakan publik yang meluas menunjukkan perlunya pemerintah untuk lebih responsif terhadap aspirasi rakyat. Komunikasi yang transparan, penjelasan yang komprehensif, dan evaluasi kebijakan yang ketat menjadi kunci untuk mengatasi kontroversi ini dan memastikan bahwa kebijakan fiskal pemerintah benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat. Kegagalan pemerintah dalam hal ini berpotensi menimbulkan dampak sosial dan politik yang lebih luas.