Kisah Nabi Ya’qub dan Ish, dua putra kembar Nabi Ishak, merupakan episode penting dalam sejarah kenabian yang sarat dengan pelajaran berharga tentang persaudaraan, pengorbanan, dan hikmah Ilahi. Perbedaan karakter dan perebutan restu ayah menjadi pangkal konflik yang menguji ikatan saudara kembar ini, namun akhirnya berujung pada perdamaian dan kelanjutan risalah kenabian.
Nabi Ishak AS, putra Nabi Ibrahim AS, menikahi Rafaqah binti Batu’il bin Nahur, seorang wanita salihah keturunan Nabi Ibrahim. Setelah sekian lama dinyatakan mandul, atas kuasa Allah SWT, Rafaqah melahirkan sepasang anak kembar laki-laki pada usia sekitar 40 tahun. Kedua bayi tersebut diberi nama Ish (dikenal juga sebagai Esau dalam tradisi Yahudi) dan Ya’qub (kemudian dikenal sebagai Israel). Sejak dini, perbedaan karakter keduanya telah tampak nyata.
Ish, yang tumbuh menjadi pemuda gagah perkasa, memiliki kecenderungan berburu dan menghabiskan waktu di alam bebas. Keahliannya dalam berburu membuatnya menjadi pemburu ulung, dan kecenderungannya yang lebih maskulin membuatnya dekat dengan sang ayah, Nabi Ishak AS, yang juga memiliki minat yang sama. Sementara itu, Ya’qub tumbuh sebagai pribadi yang lebih lembut, lebih suka tinggal di rumah membantu ibunya, Rafaqah, dan memiliki sifat yang lebih tenang dan damai. Kedekatan emosional yang terjalin antara Ya’qub dan ibunya semakin memperkuat perbedaan karakteristik antara kedua saudara kembar tersebut. Kedekatan ini menciptakan dinamika keluarga yang kompleks, di mana kasih sayang Nabi Ishak lebih tertuju pada Ish, sementara Rafaqah lebih menyayangi Ya’qub.
Kehidupan keluarga ini diwarnai oleh peristiwa penting wafatnya Nabi Ibrahim AS saat Nabi Ishak berusia 75 tahun. Kepergian sang kakek agung ini tentu meninggalkan duka mendalam, namun juga menjadi titik balik dalam hubungan antara Nabi Ishak dan kedua putranya. Seiring bertambahnya usia, Nabi Ishak AS mulai merasakan kelemahan fisik, termasuk pengurangan kemampuan penglihatannya. Dalam kondisi tersebut, ia memanggil Ish, putra kesayangannya, untuk berburu dan menyediakan makanan kesukaannya. Niat Nabi Ishak AS mulia, yaitu untuk memberikan berkah dan restu kepada Ish, berharap agar ia dapat meneruskan perjuangan dakwahnya.
Namun, rencana Nabi Ishak AS ini diketahui oleh Rafaqah. Rasa kasih sayang yang mendalam kepada Ya’qub mendorongnya untuk melakukan sebuah tindakan yang kontroversial. Rafaqah ingin Ya’qub, bukan Ish, yang mendapatkan berkah dari sang ayah. Dengan memanfaatkan kemiripan fisik keduanya, meskipun mereka kembar, Rafaqah menyusun sebuah rencana licik. Ia memakaikan Ya’qub pakaian Ish, dan bahkan membalutkan kulit domba berbulu lebat di leher dan tangan Ya’qub untuk semakin menyamarkan identitasnya. Hal ini dilakukan karena Ish memiliki tubuh yang lebih berbulu dibandingkan Ya’qub.
Ya’qub, yang telah disiapkan oleh ibunya, kemudian datang menghadap Nabi Ishak AS dengan menyamar sebagai Ish. Saat menyantap hidangan yang disajikan, Nabi Ishak AS, yang penglihatannya telah melemah, merasakan kejanggalan. "Kalau suara, suara Ya’qub, kalau tangan, tangan Ish," gumamnya. Meskipun merasakan keanehan tersebut, Nabi Ishak AS tetap tidak menaruh curiga dan melanjutkan makan. Setelah itu, ia pun mendoakan Ya’qub, yang dikiranya Ish, memohon agar Allah SWT memberkahi, melimpahi kebaikan, rezeki, dan mengangkatnya sebagai pemimpin bagi saudara dan keturunannya.
Kebohongan ini terbongkar ketika Ish pulang ke rumah. Nabi Ishak AS terkejut dan mengetahui tipu daya yang dilakukan Ya’qub dan ibunya. Ish, yang merasa dikhianati dan dirugikan, sangat marah. Ia menuntut agar doa ayahnya untuk Ya’qub dibatalkan, namun doa yang telah terucap tidak dapat ditarik kembali. Dalam kemarahannya, Ish bersumpah akan membunuh Ya’qub setelah kematian ayahnya.
Ketakutan dan kepanikan meliputi Rafaqah. Ia segera mengirim Ya’qub pergi ke daerah Laban di Mesopotamia, untuk tinggal bersama saudara Rafaqah. Sebelum pergi, Ya’qub sempat berpamitan dengan ayahnya. Nabi Ishak AS, yang bijaksana, menasihati Ya’qub untuk tidak menikahi wanita Palestina karena pada masa itu mereka belum memeluk agama yang benar. Ia menyarankan Ya’qub untuk mencari istri dari keluarga besar Nabi Ibrahim di Mesopotamia.
Setelah bertahun-tahun tinggal di Mesopotamia, Nabi Ishak AS wafat pada usia 180 tahun dan dimakamkan di Gua Makhpela bersama keluarga besarnya. Setelah kepergian sang ayah, Ya’qub kembali ke Palestina setelah belasan tahun, membawa serta keluarganya yang terdiri dari dua istri, dua selir, belasan anak laki-laki, dan seorang anak perempuan. Peristiwa ini menandai babak baru dalam hubungan Ya’qub dan Ish. Ternyata, Ish tidak menunaikan sumpahnya untuk membunuh Ya’qub. Kedua saudara kembar itu akhirnya berdamai dan saling memaafkan.
Sesuai dengan doa Nabi Ishak AS, Ya’qub melanjutkan risalah dakwah dan diangkat menjadi nabi oleh Allah SWT. Ia menyeru penduduk Negeri Kan’an untuk menyembah Allah SWT. Kisah Nabi Ya’qub dan Ish mengajarkan kita tentang pentingnya memaafkan, mengendalikan amarah, dan menerima takdir Ilahi. Meskipun dilanda konflik dan persaingan, akhirnya perdamaian tercapai, dan Ya’qub melanjutkan warisan kenabian dengan penuh hikmah dan keberkahan. Kisah ini juga menunjukkan betapa besarnya pengaruh doa orang tua, dan bagaimana tindakan, sekalipun dilandasi niat baik, dapat berdampak luas dan tak terduga. Wallahu a’lam bisshawab.