ERAMADANI.COM, SEMARANG – Selasa (03/12/2019) kemarin, Komisi IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) melakukan kunjungan kerja di Jateng, untuk optimalisasi tata kelola penerimaan negara bukan pajak sebagai upaya peningkatan ketahanan fiskal.
Kunjungan itu juga berlangsung di Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Tengah, Jateng, pada Selasa (03/12/2019) lalu.
Kunjungan itu, dimanfaatkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo untuk menyampaikan sejumlah persoalan yang ada di Jateng, di antaranya yang menjadi fokus adalah tentang rencana kenaikan cukai rokok sebesar 23% oleh Pemerintah Pusat.
Kunjungan Komite IV DPD RI Bicara Soal Cukai Rokok
Kepada sejumlah anggota DPD yang dipimpin oleh Wakil Komite IV DPD RI, Casytha Arriwi Kathmandu dan Novita Anakotta itu.
Ganjar meminta agar kenaikan cukai rokok dikaji secara serius, mengingat kebijaka itu bakal berdampak besar kepada para petani tembakau di Jateng.
“Soal cukai rokok memang menjadi perhatian saya. Kalangan pengusaha dan petani sudah beberapa kali bertemu saya dan berharap tidak terjadi kenaikan terlalu tinggi pada cukai rokok, karena akan memberikan dampak besar,” ujar Ganjar.
Kalaupun tetap naik, lanjutnya, minimal kenaikan cukai rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak terlalu tinggi, karena para petani tembakau akan menjadi korban tekanan dari kebijakan tersebut.
“Petani tembakau akan menjadi korban pertama apabila cukai rokok naik. Belum lagi perusahaan dan karyawan yang ada,” tuturnya.
Menurutnya, sudah secara langsung bertemu Presiden dan membicarakan tentang kenaikan cukai rokok ini. Dari Presiden, diketahui bahwa cukai rokok memang tidak naik selama dua tahun terakhir.
“Jadi dengan kenaikan 23% itu, dilihat dari petani sangat berat. Pengusaha juga pasti tidak mau, kalau bisa mereka berharap tidak naik karena akan berpengaruh pada penjualan,” ujarnya.
Persoalan Impor Tembakau
Belum lagi persoalan impor tembakau. Selama ini banyak perusahaan yang melakukan impor tembakau dengan dalih stok tembakau nasional tidak mencukupi.
Dengan adanya kenaikan cukai rokok yang membuat produksi rokok berkurang, maka serapan terhadap tembakau nasional pasti semakin rendah.
“Kalau cukai tinggi, maka pengusaha rokok bakal melakukan impor yang mengakibatkan tembakau nasional tidak terbeli. Itu problem kita. Memang tembakau kita kurang, maka impor. Pertanyaannya, mau tidak pengusaha membeli tembakau dalam negeri dulu?. Faktanya tidak kan,” ujarnya.
Persoalan kenaikan cukai rokok, tutur Ganjar, memang harus mendapat perhatian serius oleh pemerintah, bahkan diharapkan kebijakan yang diambil tidak mematikan aktivitas industri rokok nasional.
Jangan sampai nanti politik rokok internasional akan membumihanguskan rokok Indonesia. Melalui kesempatan ini, saya menitipkan persoalan itu kepada para Anggota DPD-RI untuk diperjuangkan di tingkat pusat,” tuturnya.
Sementara itu, Novita Anakotta menuturkan akan membantu dalam perjuangannya terkait kenaikan cukai rokok dan usulan itu akan menjadi bahan yang diperjuangkan di tingkat pusat.
“Terkait kenaikan cukai rokok khususnya SKT yang diharapkan tidak terlalu tinggi, kami akan ikut memperjuangkan dan mengawal itu. Karena kami ini representasi dari daerah, kami akan berjuang mengawal aspirasi dari daerah seperti harapan pak Ganjar,” ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah merencanakan akan menaikkan cukai rokok sebesar 23% yang akan diberlakukan pada awal 2020.
Rencana kenaikan cukai rokok itu, mendapat perlawanan dari petani tembakau dan juga pengusaharokok. Mereka menganggap, kenaikan cukai rokok tersebut dapat mematikan aktivitas uasahanya. (HAD/ZAN)