Surat Yusuf ayat 31 Al-Qur’an mengisahkan sebuah episode dramatis yang mengungkap daya pikat luar biasa Nabi Yusuf AS dan reaksi beragam yang ditimbulkannya di lingkungan istana. Ayat ini bukan sekadar narasi tentang kecantikan fisik, melainkan sebuah studi kasus yang kaya akan simbolisme, mengupas tema-tema kompleks seperti fitnah, godaan, dan keteguhan iman. Melalui lensa ayat ini, kita dapat menelisik lebih dalam karakter Nabi Yusuf, Zulaikha, dan para wanita istana, serta memahami implikasi kisah ini bagi pemahaman kita tentang manusia dan ketuhanan.
Ayat tersebut bermula dari kecantikan Nabi Yusuf AS yang luar biasa. Al-Qur’an tidak secara eksplisit menggambarkan detail fisiknya, namun efeknya pada orang-orang di sekitarnya, khususnya kaum wanita, menjadi bukti nyata akan pesonanya yang tak terbantahkan. Ketampanan Nabi Yusuf AS bukanlah sekadar atribut fisik semata. Ia merupakan bagian integral dari keseluruhan kepribadiannya yang dipenuhi dengan kecerdasan, kesalehan, dan ketaatan yang mendalam kepada Allah SWT. Kombinasi inilah yang membuat daya tariknya begitu kuat dan mampu memikat hati banyak wanita.
Salah satu wanita yang terpikat oleh pesona Nabi Yusuf AS adalah Zulaikha, istri dari penguasa Mesir, Al-Aziz. Zulaikha, sebagai istri seorang penguasa, memiliki kedudukan dan pengaruh yang signifikan di istana. Namun, kedudukannya yang terhormat tak menghalanginya untuk terpesona oleh Nabi Yusuf AS yang kala itu menjabat sebagai bendahara kerajaan. Ketertarikan Zulaikha ini bukan sekadar nafsu sesaat, melainkan sebuah perasaan yang lebih dalam, yang mungkin terpicu oleh keunggulan karakter Nabi Yusuf AS di luar parasnya yang tampan.
Namun, ketertarikan Zulaikha kepada Nabi Yusuf AS justru menjadi bahan gunjingan di kalangan wanita-wanita istana lainnya. Mereka mencemooh dan menggunjing Zulaikha, istri seorang penguasa yang berani menaruh hati pada seorang hamba kerajaan. Fitnah dan cemoohan ini menjadi latar belakang penting dalam memahami konteks Surat Yusuf ayat 31. Ia menggambarkan realitas sosial di istana yang penuh dengan intrik dan persaingan, di mana kecantikan dan status sosial menjadi faktor penentu dalam dinamika kekuasaan dan hubungan antarmanusia.
Zulaikha, yang digambarkan sebagai sosok yang cerdas dan bijaksana, tidak bereaksi dengan cara yang defensif atau agresif terhadap fitnah tersebut. Sebaliknya, ia memanfaatkan situasi ini dengan cara yang cerdas dan strategis. Ia mengundang para wanita yang menggunjingnya ke istana, bukan untuk berkonfrontasi, melainkan untuk membuktikan sendiri kebenaran yang telah mereka ragukan. Strategi ini menunjukkan kedewasaan emosional dan kecerdasan Zulaikha dalam menghadapi situasi yang pelik.
Undangan ke istana bukanlah sekadar pertemuan biasa. Zulaikha mempersiapkan jamuan makan yang mewah dan elegan, memperlihatkan kemewahan dan kekuasaan yang dimilikinya. Detail pemberian pisau kepada setiap tamu undangan, seperti yang dijelaskan dalam beberapa tafsir, menunjukkan kehalusan dan ketelitian Zulaikha dalam mempersiapkan jamuan tersebut. Pisau tersebut, selain berfungsi untuk memotong buah-buahan, juga bisa diartikan sebagai simbol ketajaman penglihatan dan daya tangkap para wanita istana yang akan menyaksikan Nabi Yusuf AS.
Puncak dari episode ini adalah saat Zulaikha meminta Nabi Yusuf AS untuk menampakkan diri di hadapan para wanita istana. Permintaan ini bukanlah sekadar untuk membenarkan kecantikannya, melainkan sebuah demonstrasi yang terencana untuk membungkam fitnah dan membuktikan daya pikat Nabi Yusuf AS. Perintah "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka" (خُرُوجًا إِلَيْهِنَّ) menunjukkan kepercayaan diri Zulaikha akan daya tarik Nabi Yusuf AS yang tak tertandingi.
Reaksi para wanita istana saat melihat Nabi Yusuf AS sungguh luar biasa. Mereka begitu terpesona hingga tanpa sadar melukai tangan mereka sendiri dengan pisau yang mereka pegang. Keindahan Nabi Yusuf AS begitu memikat hingga membuat mereka kehilangan kendali atas diri mereka sendiri. Reaksi spontan ini bukan sekadar ekspresi kagum biasa, melainkan sebuah pengakuan atas keindahan dan keagungan yang melampaui batas-batas manusia biasa.
Ungkapan "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia" (سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ هَذَا لَيْسَ بِبَشَرٍ إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيمٌ) menunjukkan kekaguman mereka yang melampaui batas-batas akal dan logika. Mereka terkesima oleh keindahan yang luar biasa, hingga membandingkan Nabi Yusuf AS dengan malaikat, makhluk Allah yang memiliki keindahan dan kesempurnaan yang tak terbayangkan. Ungkapan ini juga menunjukkan betapa besarnya daya tarik Nabi Yusuf AS, hingga mampu memicu reaksi keagamaan dan spiritual yang mendalam pada para wanita istana.
Namun, penting untuk dicatat bahwa kekaguman ini tidak lantas meniadakan potensi godaan dan fitnah. Kisah ini tidak berakhir dengan kekaguman semata, melainkan menjadi awal dari ujian dan cobaan bagi Nabi Yusuf AS. Keindahannya menjadi sumber fitnah dan godaan, yang kemudian dihadapi Nabi Yusuf AS dengan keteguhan iman dan kesabaran yang luar biasa. Kisah selanjutnya dalam Surat Yusuf menggambarkan bagaimana Nabi Yusuf AS menghadapi godaan Zulaikha dengan bijaksana dan tetap teguh pada prinsip-prinsip moral dan agamanya.
Surat Yusuf ayat 31, dengan demikian, bukan sekadar cerita tentang kecantikan fisik, melainkan sebuah narasi yang kompleks dan multi-dimensi. Ia mengungkap realitas sosial di istana, dinamika hubungan antarmanusia, kekuatan fitnah, dan keteguhan iman. Kisah ini juga menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana kecantikan, baik fisik maupun batin, dapat menjadi sumber fitnah dan godaan, namun juga dapat menjadi bukti nyata akan keagungan dan kebesaran Sang Pencipta. Melalui kisah ini, Allah SWT mengajarkan kepada kita pentingnya menjaga diri dari fitnah, menghadapi cobaan dengan kesabaran, dan senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan moral. Keindahan Nabi Yusuf AS, yang digambarkan secara implisit dalam ayat ini, menjadi simbol dari keindahan dan kesempurnaan ciptaan Allah SWT, yang harus dihargai dan dimaknai dengan penuh hikmah dan ketaqwaan. Kisah ini juga menjadi pengingat akan pentingnya menjaga diri dari godaan duniawi dan senantiasa berpegang teguh pada ajaran agama dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.