Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Sejarah Islam menyimpan kisah-kisah inspiratif yang tak hanya mengisahkan kegemilangan para sahabat, namun juga transformasi hati manusia yang disentuh oleh kasih sayang dan bimbingan Rasulullah SAW. Salah satu kisah yang jarang terekspos, namun sarat makna, berasal dari Kitab Umm Jilid 2 karya Imam Syafi’i, menceritakan perjalanan seorang pemuda yang awalnya membenci Rasulullah SAW, namun akhirnya berubah menjadi penuh cinta dan kesetiaan, bermula dari sebuah perintah untuk mengumandangkan adzan.
Kisah ini diriwayatkan melalui sanad yang panjang, dimulai dari Ar Rabi’ yang menyampaikan kepada Imam Syafi’i, kemudian Imam Syafi’i kepada Muslim bin Khalid, selanjutnya Muslim bin Khalid kepada Ibnu Juraij, dan Ibnu Juraij kepada Abdul Aziz bin Abdul Malik bin Abu Mahdzurah. Dari Abdul Aziz, kisah ini kemudian sampai kepada kita melalui Abdullah bin Muhairiz, seorang anak yatim yang diasuh oleh Abu Mahdzurah.
Abdullah bin Muhairiz menceritakan pengalamannya menjelang keberangkatannya ke Syam. Ia bermaksud mempelajari tata cara adzan yang benar dari pamannya, Abu Mahdzurah. Percakapan antara keduanya menjadi pintu masuk kepada peristiwa penting yang akan mengubah hidup pemuda ini selamanya.
“Wahai paman,” kata Abdullah kepada Abu Mahdzurah, “aku akan pergi ke Syam, dan aku ingin bertanya bagaimana cara adzan yang benar.” Abu Mahdzurah pun mengajarkannya. Namun, takdir telah menyiapkan sebuah pelajaran yang jauh lebih bermakna bagi Abdullah.
Perjalanan Abdullah menuju Hunain bersama beberapa orang kemudian berujung pada pertemuan tak terduga dengan Rasulullah SAW. Saat itu, Rasulullah SAW baru saja kembali dari peperangan Hunain. Di tengah perjalanan, mereka mendengar suara muadzin Rasulullah SAW mengumandangkan adzan. Alih-alih khusyuk mendengarkan, Abdullah dan rombongannya justru mencela dan menirukan suara muadzin tersebut dengan nada mengejek.
Perbuatan mereka tak luput dari perhatian Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil mereka menghadap. Dengan penuh hikmah, Rasulullah SAW bertanya, “Siapa di antara kalian yang tadi saya dengar suaranya sedemikian tinggi dan mengejek?” Semua orang menunjuk kepada Abdullah. Rasulullah SAW kemudian melepaskan rombongan tersebut, kecuali Abdullah.
Di sinilah titik balik kehidupan Abdullah dimulai. Rasulullah SAW memberikan kesempatan yang tak terduga bagi pemuda yang sebelumnya menyimpan kebencian di hatinya. “Berdirilah dan adzanlah untuk salat!” perintah Rasulullah SAW.
Bayangkanlah situasi tersebut. Di hadapan Rasulullah SAW, sosok yang selama ini dibencinya, Abdullah diminta untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ia inginkan. Ia berdiri dengan hati penuh keraguan dan kebencian, namun di saat yang sama, ia juga merasakan suatu kekuatan gaib yang memaksanya untuk patuh.
Rasulullah SAW kemudian mengajarkan Abdullah tata cara adzan dengan penuh kesabaran dan kelembutan. Dengan teladan dan bimbingan langsung, Rasulullah SAW membimbingnya mengucapkan setiap kalimat adzan dengan fasih dan benar:
“Bacalah: Allahu Akbar, Allahu Akbar. Asyhadu alla ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaaha illallah. Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Kemudian Rasulullah SAW menambahkan, “Ulangi dan panjangkan suaramu!” Beliau kemudian mencontohkan pengucapan kalimat adzan yang lain, termasuk Hayya Alas Sholaah, Hayya ‘Alas Sholah, Hayya Alal Falaah, Hayya Alal Falaah, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Laa ilaaha illallah.
Setelah Abdullah mengumandangkan adzan, Rasulullah SAW memberikannya sebuah kantong berisi perak sebagai hadiah. Namun, hadiah tersebut bukanlah hal yang paling berharga bagi Abdullah. Hal yang lebih berharga adalah sentuhan dan doa Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW meletakkan tangannya di ubun-ubun Abu Mahdzurah, mengusap wajahnya, bagian antara kedua tangannya, jantungnya, hingga pusarnya. Kemudian, Rasulullah SAW memanjatkan doa, “Semoga Allah menjadikan keberkahan pada dirimu, dan mengaruniakan keberkahan kepadamu.”
Doa tersebut bukan hanya untuk Abu Mahdzurah, tetapi juga merupakan doa restu bagi Abdullah, yang telah menunjukkan perubahan hati yang luar biasa. Setelah peristiwa tersebut, Abdullah pun memohon kepada Rasulullah SAW untuk diperbolehkan mengumandangkan adzan di Makkah. Permohonan tersebut dikabulkan Rasulullah SAW.
Sejak saat itu, kebencian Abdullah kepada Rasulullah SAW sirna, berganti dengan rasa cinta dan kesetiaan yang mendalam. Ia kemudian menemui Attab bin Usaid, pekerja Rasulullah SAW di Makkah, dan mengumandangkan adzan untuk salat atas perintah Rasulullah SAW. Kisah ini menjadi bukti nyata akan keajaiban bimbingan dan kasih sayang Rasulullah SAW yang mampu mengubah hati manusia yang keras menjadi lembut dan penuh keimanan.
Imam Syafi’i dalam riwayatnya menambahkan penjelasan mengenai tata cara adzan dan iqamat berdasarkan apa yang diceritakan oleh keluarga Abu Mahdzurah. Beliau menekankan pentingnya melengkapi setiap kalimat adzan dan iqamat, tanpa mengurangi atau mendahulukannya. Beliau juga menjelaskan kesamaan antara muadzin pertama dan kedua dalam mengucapkan kalimat adzan, dan tidak menganjurkan tatswib (pengulangan kalimat tertentu) dalam salat Subuh maupun salat lainnya, karena tidak ada riwayat dari Abu Mahdzurah yang menyebutkan Rasulullah SAW memerintahkannya untuk melakukan tatswib.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Kebencian dan prasangka dapat diubah menjadi cinta dan kesetiaan melalui bimbingan dan kasih sayang. Suara adzan, yang awalnya menjadi simbol kebencian bagi Abdullah, akhirnya menjadi simbol perubahan hati dan pengabdiannya kepada Rasulullah SAW dan agama Islam. Kisah ini juga menjadi pengingat akan pentingnya menghormati dan menghargai setiap panggilan adzan sebagai tanda waktu salat dan pengingat akan kebesaran Allah SWT. Lebih dari itu, kisah ini menggarisbawahi betapa besarnya pengaruh doa dan sentuhan Rasulullah SAW dalam mengubah kehidupan seseorang. Ia merupakan bukti nyata akan keajaiban kasih sayang dan bimbingan ilahi yang senantiasa menyertai hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan bertaubat.