Nabi Shaleh AS, salah satu dari 25 nabi dan rasul yang namanya disebut dalam Al-Qur’an, merupakan utusan Allah SWT kepada kaum Tsamud. Kisah dakwah dan mukjizatnya yang luar biasa, khususnya peristiwa ajaib unta hamil yang keluar dari batu, menawarkan kajian mendalam tentang keengganan manusia menerima kebenaran ilahiah, meskipun dihadapkan pada bukti-bukti yang nyata. Berbeda dengan kisah nabi-nabi lain yang mungkin lebih fokus pada aspek peperangan atau kepemimpinan, kisah Nabi Shaleh AS lebih menekankan pada aspek sosial dan spiritual, menggambarkan dinamika kompleks antara dakwah, mukjizat, dan respon masyarakat yang beragam.
Kaum Tsamud, sebagaimana dikisahkan dalam berbagai literatur keagamaan, termasuk tafsir Ibnu Katsir yang diterjemahkan oleh Umar Mujtahid dkk., merupakan masyarakat yang hidup makmur di Hijir, sebuah wilayah antara Hijaz dan Tabuk. Kemakmuran mereka, yang dikaruniai Allah SWT, tergambar dalam ayat Al-A’raf (7:73-74): "(Dan Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih. Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”
Ayat ini menunjukkan dua hal penting: kemakmuran material kaum Tsamud dan peringatan Allah SWT agar mereka mensyukuri nikmat dan tidak menyia-nyiakannya dengan kesombongan dan penyembahan selain-Nya. Kemakmuran tersebut, ironisnya, justru menjadi faktor penghambat terbukanya hati mereka terhadap dakwah Nabi Shaleh AS. Mereka tenggelam dalam kemewahan duniawi, lupa akan Sang Pemberi nikmat, dan terjerat dalam kesombongan dan keangkuhan.
Dakwah Nabi Shaleh AS sendiri digambarkan sebagai pendekatan yang lembut dan penuh hikmah. Ia tidak menggunakan kekerasan atau ancaman, melainkan mengajak kaumnya dengan kalimat-kalimat yang penuh kasih sayang, mengingatkan mereka akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT, serta bahaya menyekutukan-Nya. Namun, usaha beliau tidak disambut dengan baik. Kaum Tsamud, bukan hanya menolak ajakan beliau, melainkan menuduhnya dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar.
Salah satu tuduhan yang dilontarkan adalah tuduhan sihir. Interpretasi terhadap tuduhan ini beragam. Ada yang memaknai secara harfiah, yakni menganggap Nabi Shaleh AS dituduh menggunakan sihir untuk mempengaruhi pikiran mereka. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa tuduhan tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap kebenaran yang diungkapkan Nabi Shaleh AS, di mana mereka menganggap kemampuan Nabi Shaleh AS melihat atau mengetahui masa depan sebagai sesuatu yang berasal dari kekuatan gaib yang negatif. Intinya, tuduhan ini menunjukkan keengganan mereka untuk menerima dakwah Nabi Shaleh AS dengan hati yang terbuka.
Untuk membuktikan kebenaran dakwahnya, Nabi Shaleh AS dihadapkan pada tantangan yang sangat berat dari kaum Tsamud. Mereka meminta suatu mukjizat yang mustahil secara manusia, yaitu mengeluarkan unta betina yang hamil dari dalam batu. Tantangan ini bukan hanya menuntut kekuatan fisik yang luar biasa, tetapi juga kekuatan spiritual yang sangat tinggi untuk menghubungkan dunia gaib dengan dunia nyata. Lebih dari itu, mereka juga menetapkan spesifikasi unta tersebut dengan sangat detail, menunjukkan niat mereka untuk mencari celah dan menolak mukjizat apapun yang diberikan.
Dengan iman dan tawakkal yang kuat kepada Allah SWT, Nabi Shaleh AS berdoa dan memohon pertolongan. Ia yakin bahwa Allah SWT mampu melakukan apa saja, dan mukjizat ini hanya untuk membuktikan kebenaran dakwahnya dan menunjukkan kekuasaan Allah SWT yang maha besar. Doa beliau diijabah. Sebuah bongkahan batu besar terbelah, dan muncullah seekor unta betina yang besar dan hamil, persis seperti yang dijelaskan oleh kaum Tsamud.
Mukjizat ini seharusnya cukup untuk membuka hati kaum Tsamud. Namun, kenyataannya tidak sedemikian. Hanya sebagian kecil dari mereka yang beriman dan menerima Nabi Shaleh AS sebagai utusan Allah SWT. Sebagian besar tetap menolak dan bertahan pada kekafiran mereka. Sikap mereka ini menunjukkan bahwa iman bukan hanya masalah melihat mukjizat, tetapi juga masalah kehendak dan ketundukan hati kepada Allah SWT.
Keengganan mereka menerima kebenaran berujung pada azab Allah SWT. Seperti yang dijelaskan dalam surah Hud (11:65): "Mereka lalu menyembelih unta itu. Maka, dia (Saleh) berkata, "Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan." Setelah janji tiga hari itu berlalu, azab Allah SWT turun atas mereka dalam bentuk guntur yang dahsyat, menghancurkan mereka dan tempat tinggal mereka. Hanya orang-orang yang beriman kepada Nabi Shaleh AS yang diselamatkan oleh Allah SWT.
Kisah Nabi Shaleh AS dan kaum Tsamud memberikan pelajaran yang berharga bagi umat manusia di sepanjang masa. Mukjizat bisa menjadi bukti kebenaran, tetapi iman itu sendiri adalah suatu pilihan hati. Keengganan menerima kebenaran dan kesombongan akan mengakibatkan kehancuran. Sebaliknya, keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT akan menyelamatkan dari siksa dan memberikan kedamaian di dunia dan akhirat.
Lebih dari itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa dakwah itu sendiri merupakan proses yang panjang dan menantang. Tidak selalu dakwah disambut dengan baik, bahkan seringkali dihadapi dengan penolakan dan perlawanan. Namun, seorang da’i harus tetap istiqomah dan teguh dalam menjalankan tugasnya, karena tugas utama adalah menyampaikan pesan Allah SWT, bukan untuk memaksa orang lain beriman. Hasil akhir dakwah itu hak preogratif Allah SWT.
Kesimpulannya, kisah Nabi Shaleh AS bukan sekadar cerita sejarah masa lalu, tetapi juga merupakan cerminan dari realitas kehidupan manusia sekarang. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya mensyukuri nikmat Allah SWT, menghindari kesombongan dan keangkuhan, serta menerima kebenaran dengan hati yang terbuka. Lebih dari itu, kisah ini juga menginspirasi kita untuk tetap istiqomah dalam berdakwah, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan dan perlawanan. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah Nabi Shaleh AS dan menjadikan kisah ini sebagai pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahu a’lam bisshawab.