Jakarta – Sifat serakah, atau tamak, merupakan penyakit hati yang amat dibenci Allah SWT. Ajaran Islam secara tegas memperingatkan bahaya dari sifat ini, yang tak hanya menghancurkan kehidupan duniawi, namun juga mengancam keselamatan akhirat. Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta, niscaya ia akan menginginkan lembah ketiga. Dan tidak ada yang dapat memenuhi perut anak Adam kecuali tanah (kematian). Sesungguhnya Allah menerima taubat orang yang bertaubat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menjadi pengingat yang kuat akan keterbatasan dunia dan pentingnya menjaga diri dari jeratan keserakahan. Hadis ini secara gamblang menggambarkan bagaimana nafsu manusia yang tak terpuaskan akan selalu mendambakan lebih, sebuah siklus yang tak akan pernah berhenti hingga kematian tiba. Tanah, dalam konteks hadis ini, melambangkan kematian sebagai satu-satunya kepastian yang mampu mengakhiri dahaga duniawi yang tak pernah terobati. Pesan yang terkandung di dalamnya adalah ajakan untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan dan menghindari sifat tamak yang hanya akan membawa derita.
Kisah Nabi Isa AS dan tiga orang serakah, sebagaimana dikisahkan dalam kitab Qashash al-Anbiya’ karya al-Tsa’labi dan dirangkum dalam buku Kumpulan Kisah Teladan oleh Prof. Dr. H.M. Hasballah Thaib, MA, merupakan ilustrasi yang kuat mengenai bahaya keserakahan. Kisah ini bukan sekadar cerita, melainkan sebuah metafora yang sarat makna, mengungkapkan realitas pahit tentang bagaimana cinta dunia yang berlebihan dapat menghancurkan jiwa dan merenggut kehidupan.
Kisah bermula dengan seorang pemuda yang ingin berteman dengan Nabi Isa AS. Keinginan pemuda ini untuk selalu berada di sisi Nabi Isa AS, pada awalnya, tampak sebagai sebuah ketaatan dan kecintaan pada ajaran agama. Namun, di balik niat tersebut, tersimpan benih-benih keserakahan yang tersembunyi. Permintaan pemuda tersebut dikabulkan Nabi Isa AS, menunjukkan kesabaran dan kasih sayang Nabi dalam membimbing umatnya. Namun, jalan panjang yang mereka tempuh bersama justru menjadi panggung bagi terungkapnya sifat buruk pemuda tersebut.
Perjalanan mereka diawali dengan bekal tiga potong roti. Nabi Isa AS dan pemuda tersebut masing-masing memakan satu potong, sementara satu potong lagi disimpan. Saat Nabi Isa AS pergi ke sungai untuk minum, kesempatan itu dimanfaatkan pemuda tersebut untuk mencuri sepotong roti yang tersisa. Aksi pencurian ini, meskipun tampak sepele, merupakan indikasi awal dari sifat serakah yang membayangi hati pemuda tersebut. Pertanyaan Nabi Isa AS, "Siapakah yang mengambil sepotong roti itu?", dijawab dengan penyangkalan pemuda tersebut. Kebohongan ini menunjukkan betapa dalam dan terselubungnya sifat serakah yang telah mengakar dalam dirinya.
Perjalanan mereka berlanjut. Mereka bertemu seekor rusa dengan dua anaknya. Nabi Isa AS, dengan kuasa Allah SWT, menyembelih salah satu anak rusa dan memanggangnya untuk dimakan bersama. Setelah makan, Nabi Isa AS memohon kepada Allah SWT untuk menghidupkan kembali anak rusa tersebut. Mukjizat ini, yang menunjukkan kekuasaan dan rahmat Allah SWT, diharapkan dapat menyadarkan pemuda tersebut akan kesalahannya. Namun, pemuda itu tetap bersikukuh menyangkal perbuatannya.
Selanjutnya, mereka tiba di tepi sungai. Nabi Isa AS, dengan kuasa Allah SWT, membawa pemuda tersebut berjalan di atas air hingga ke seberang. Mukjizat ini, yang menunjukkan kebesaran Allah SWT, kembali menjadi kesempatan bagi Nabi Isa AS untuk menanyai pemuda tersebut. Namun, jawaban pemuda tersebut tetap sama: "Aku tidak tahu."
Di sebuah hutan, Nabi Isa AS menunjukkan mukjizat lainnya. Beliau mengubah segumpal tanah dan kerikil menjadi emas dengan izin Allah SWT. Emas tersebut dibagi menjadi tiga bagian: sebagian untuk Nabi Isa AS, sebagian untuk pemuda tersebut, dan sebagian lagi untuk orang yang mengambil roti. Mendengar pembagian ini, pemuda tersebut akhirnya mengakui perbuatannya. Namun, bukan penyesalan yang terpancar dari pengakuannya, melainkan keserakahan yang semakin menjadi-jadi. Nabi Isa AS, melihat sifat pemuda itu yang tak kunjung berubah, memberikan seluruh emas tersebut kepadanya.
Keputusan Nabi Isa AS untuk memberikan seluruh emas kepada pemuda tersebut bukanlah sebuah penghargaan atas keserakahan, melainkan sebuah ujian dan pelajaran. Nabi Isa AS membiarkan pemuda tersebut menghadapi konsekuensi dari perbuatannya sendiri. Setelah Nabi Isa AS meninggalkannya, dua orang datang dan ingin merebut harta kekayaan pemuda tersebut. Pemuda tersebut mengusulkan pembagian harta menjadi tiga bagian. Namun, ketiga orang tersebut, termasuk pemuda yang awalnya serakah, terjerat dalam lingkaran tipu daya dan keserakahan masing-masing.
Orang yang pergi ke pasar berniat meracuni makanan agar kedua temannya mati dan ia bisa mengambil semua harta. Sementara itu, dua orang yang menunggu di hutan berencana membunuh orang yang pergi ke pasar agar harta tersebut menjadi milik mereka berdua. Ironisnya, ketiga orang tersebut, yang didorong oleh keserakahan, akhirnya mati karena rencana jahat mereka sendiri. Harta yang mereka rebutkan dengan penuh tipu daya dan kekerasan tetap tertinggal di hutan, tanpa pemilik. Mereka mati di sekeliling harta yang menjadi sumber perselisihan dan kematian mereka.
Nabi Isa AS, melihat kejadian tersebut, mengajarkan kepada para pengikutnya sebuah pelajaran berharga: dunia ini penuh tipu daya. Keserakahan, jika dibiarkan, akan menjerumuskan manusia ke dalam jurang kehancuran. Kisah ini menjadi peringatan keras bagi setiap individu untuk senantiasa menjaga hati dari godaan dunia dan menghindari sifat serakah yang hanya akan membawa malapetaka.
Kisah ini mengandung beberapa pesan moral yang mendalam. Pertama, keserakahan adalah penyakit hati yang merusak. Ia membutakan akal dan mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Kedua, dunia dan segala isinya bersifat fana. Kejaran harta dan kekayaan yang tak terpuaskan hanya akan membawa kekecewaan dan kesengsaraan. Ketiga, taubat dan pertobatan selalu terbuka bagi siapa saja yang menyesali perbuatannya. Namun, taubat harus disertai dengan perubahan perilaku yang nyata dan konsisten. Keempat, Allah SWT Maha Kuasa dan Maha Adil. Keadilan-Nya akan terwujud pada waktu dan tempat yang tepat. Kelima, kehidupan dunia hanyalah sementara, sedangkan kehidupan akhirat adalah abadi. Oleh karena itu, kita harus senantiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan akhirat dengan beramal saleh dan menjauhi segala perbuatan dosa, termasuk keserakahan.
Kesimpulannya, kisah Nabi Isa AS dan tiga orang serakah ini merupakan cerminan nyata tentang bahaya keserakahan. Kisah ini mengajak kita untuk merenungkan kembali sikap dan perilaku kita dalam menghadapi kehidupan duniawi. Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua agar senantiasa bersyukur atas nikmat Allah SWT dan menghindari sifat serakah yang hanya akan membawa kehancuran. Wallahu a’lam bishawab.