Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Ayat suci Al-Baqarah ayat 212 dengan gamblang melukiskan realitas getir kehidupan: dunia yang dihiasi indah bagi orang-orang kafir, menjadikan mereka lalai dan bahkan menghina mereka yang beriman. Syekh Nawawi al-Bantani, dalam penafsirannya, mengungkapkan bagaimana kemewahan duniawi membutakan hati, membuat manusia lupa akan akhirat. Keindahan dunia yang semu ini, menurut beliau, hanya bersifat sementara. Keadilan Ilahi akan terungkap di hari kiamat, di mana orang-orang bertakwa akan dimuliakan dan menempati derajat yang lebih tinggi daripada mereka yang terlena oleh gemerlap dunia.
Ayat tersebut, yang berbunyi, "Kehidupan dunia dijadikan terasa indah dalam pandangan orang-orang yang kufur dan mereka (terus) menghina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu berada di atas mereka pada hari Kiamat. Allah memberi rezeki kepada orang yang Dia kehendaki tanpa perhitungan," mengungkapkan inti permasalahan. Orang-orang kafir Mekah, terlena oleh kenikmatan duniawi, berlomba-lomba mengejar kesenangan sesaat hingga melupakan kehidupan akhirat. Mereka menghina orang-orang beriman yang hidup sederhana, seperti Bilal dan Suhaib, karena kemiskinan mereka. Ironisnya, kehidupan surgawi kelak akan menjadi milik orang-orang bertakwa, sementara mereka yang terlena akan menghadapi siksa neraka. Allah SWT, dalam keadilan-Nya, memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, baik di dunia maupun di akhirat, tanpa perhitungan.
Peringatan ini relevan dengan realitas kehidupan umat Islam kontemporer. Godaan duniawi, dengan segala bentuknya, memang sangat melenakan. Sebuah kisah analogis menggambarkan hal ini: sebuah keluarga miskin yang ditemukan oleh seorang dermawan kaya raya. Mereka diberi rumah megah, kebutuhan hidup tercukupi, dan bantuan berkelanjutan. Namun, kemewahan tersebut justru membuat mereka lupa akan kebaikan sang dermawan, bahkan mengingkarinya dengan sikap angkuh. Sang dermawan, akhirnya, menarik kembali bantuannya, bukan karena kejam, melainkan untuk mengingatkan mereka akan pentingnya rasa syukur dan kesadaran akan asal usul nikmat yang mereka terima. Lebih jauh lagi, sang dermawan menolak untuk mengusir tetangga-tetangga keluarga tersebut yang telah susah payah membangun rumah mereka sendiri, menunjukkan keadilan dan penghargaan terhadap usaha dan jerih payah orang lain.
Kisah ini menjadi cermin bagi umat Islam saat ini. Banyak yang terlena oleh kenikmatan duniawi, lupa akan Sang Pemberi Nikmat, Allah SWT, dan lalai dalam menjalankan ibadah. Sejarah telah membuktikan, dan bukti-bukti empiris menguatkan, bahwa kebangkitan umat Islam dari keterbelakangan dan kemunduran menuju puncak peradaban hanya dapat dicapai dengan kembali kepada ajaran Islam, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
Umar bin Khattab ra., dalam kebijaksanaannya, mengingatkan Abu Ubaidah ra. saat memasuki pinggiran kota Syam (Damaskus), "Kita adalah umat yang dimuliakan bersama Islam. Jika kita berusaha menggapai kemudian dengan selain yang ditetapkan untuk kita, niscaya Allah SWT. menghinakan kita." Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya ketaatan dan keteguhan dalam berpegang teguh pada ajaran Islam sebagai kunci kemuliaan. Senada dengan itu, Ibnu Khaldun juga menegaskan, "Bangsa Arab tidak akan kuat kecuali bersatu di bawah panji agama dan pengaruh besar agama." Kedua pernyataan tersebut menekankan peran sentral agama dalam membangun kekuatan dan peradaban suatu bangsa.
Sayangnya, jebakan kenikmatan duniawi telah menjerat banyak orang, termasuk para pejabat, kepala daerah, bahkan hingga level menteri. Kasus dugaan penyelewengan CSR dari Otoritas Moneter kepada anggota legislatif, meskipun masih dalam proses penyelidikan, telah menimbulkan kekecewaan dan kemarahan publik. Kejadian ini, apapun alasannya, telah melukai hati rakyat dan menunjukkan bagaimana sebagian individu yang mengaku beragama Islam justru menodai keyakinan mereka sendiri. Hal ini menjadi bukti nyata betapa bahayanya keterlenaan duniawi dan betapa pentingnya menjaga integritas dan amanah.
Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk menjadi hamba Allah SWT yang saleh, memanfaatkan kenikmatan dunia sebagai sarana untuk mencapai kehidupan akhirat yang lebih baik. Kemewahan dunia tidak boleh menyebabkan keterlenaan dan terpedaya oleh bujuk rayu setan. Waktu harus didedikasikan untuk beramal saleh, dan semakin besar nikmat yang diterima, semakin besar pula rasa syukur kepada Allah SWT. Setiap hari harus dijalani dengan munajat dan syukur atas segala karunia-Nya. Semoga Allah SWT memberikan bimbingan dan keteguhan iman kepada kita semua agar terhindar dari godaan duniawi yang menyesatkan.
Kesimpulannya, keterlenaan duniawi merupakan ancaman serius bagi kehidupan beriman. Keindahan dunia yang semu hanya bersifat sementara, sedangkan kehidupan akhiratlah yang abadi. Oleh karena itu, kita perlu senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, menjaga integritas, dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah SWT berikan. Semoga kita semua dapat terhindar dari jebakan duniawi dan meraih ridho Allah SWT di dunia dan akhirat. Peringatan ini bukan sekadar ajakan moral, melainkan sebuah kebutuhan mendesak bagi kehidupan umat Islam yang lebih baik dan bermartabat. Hanya dengan kembali kepada ajaran Islam yang kaffah, kita dapat membangun peradaban yang adil, makmur, dan diridhoi Allah SWT.