Yogyakarta, Republika.co.id – KH Chaidar Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, mengungkapkan keprihatinan mendalam atas kebijakan pemerintah yang melegalkan toko minuman keras (miras) di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Keprihatinan ini disampaikan melalui potongan video yang beredar di media sosial pada Jumat (1/11).
"Saya sangat prihatin atas kebijakan pemerintah yang melegalkan Outlet 23," tegas Kiai Chaidar, yang juga menjabat sebagai pengasuh Jam’iyah Ta’lim Wal Mujahadah Padang Jagad. "Kenyataan di masyarakat banyak sekali kejadian-kejadian yang sangat bertentangan dengan moral, etika, dan hukum yang ada. Saya sangat prihatin," lanjutnya dengan nada penuh keprihatinan.
Kiai Chaidar mempertanyakan sikap pemerintah yang dinilai tidak mengambil langkah tegas dan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. "Mengapa pemerintah tidak mengambil sikap dan memberi contoh yang baik untuk masyarakat?" tanyanya dengan nada penuh tanya.
Ia menceritakan pengalamannya pada tanggal 17 September 2024, saat menerima kunjungan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) beserta Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut, Kiai Chaidar menyampaikan keluhannya terkait kebijakan pemerintah yang menerapkan lima hari masuk sekolah.
"Saya juga sudah mengeluhkan kebijakan pemerintah yang menerapkan lima hari masuk sekolah," ungkapnya. "Keadaan di Yogyakarta 80 persen Madrasah Diniyah, Taman Pendidikan Alquran (TPA) yang ada kehabisan murid," tambahnya, menyoroti dampak kebijakan tersebut terhadap lembaga pendidikan agama di Yogyakarta.
Keprihatinan Kiai Chaidar atas legalisasi toko miras di DIY menjadi sorotan publik. Banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, khususnya bagi generasi muda.
Dampak Legalisasi Toko Miras
Legalisasi toko miras di DIY telah memicu perdebatan di tengah masyarakat. Pro dan kontra bergema di berbagai platform media sosial, dengan berbagai argumen yang saling berbenturan.
Pihak yang mendukung legalisasi toko miras berpendapat bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan pendapatan daerah dan menciptakan lapangan kerja baru. Mereka juga berpendapat bahwa dengan legalisasi, pemerintah dapat lebih mudah mengawasi peredaran miras dan mencegah konsumsi miras ilegal yang berpotensi berbahaya.
Namun, pihak yang menentang kebijakan ini berpendapat bahwa legalisasi toko miras dapat meningkatkan konsumsi miras di masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda. Mereka khawatir bahwa hal ini dapat memicu berbagai masalah sosial, seperti meningkatnya angka kriminalitas, kecelakaan lalu lintas, dan gangguan kesehatan.
Selain itu, mereka juga mempertanyakan etika dan moralitas dari kebijakan ini, mengingat bahwa miras merupakan minuman yang dilarang dalam agama Islam.
Tanggapan Pemerintah
Pemerintah DIY belum memberikan tanggapan resmi terkait keprihatinan Kiai Chaidar. Namun, sebelumnya, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, telah menyatakan bahwa kebijakan legalisasi toko miras bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan menciptakan lapangan kerja baru.
Ia juga menegaskan bahwa pemerintah akan terus mengawasi peredaran miras dan mencegah konsumsi miras ilegal.
Peran Masyarakat
Di tengah perdebatan ini, peran masyarakat sangat penting dalam mengawal kebijakan legalisasi toko miras. Masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam memberikan masukan dan kritik konstruktif kepada pemerintah, serta ikut serta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan dampak negatif dari konsumsi miras.
Lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan tokoh agama juga memiliki peran penting dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya konsumsi miras. Mereka dapat memberikan informasi yang akurat dan mudah dipahami tentang dampak negatif miras terhadap kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Kesimpulan
Legalisasi toko miras di DIY merupakan kebijakan yang kontroversial dan memicu perdebatan di tengah masyarakat. Keprihatinan Kiai Chaidar menjadi cerminan dari kekhawatiran banyak pihak terhadap potensi dampak negatif dari kebijakan ini.