Jakarta – Surah Al-Hujurat ayat 13, sebuah ayat yang sarat makna dan relevansi hingga kini, mengungkapkan esensi kemuliaan sejati manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Ayat ini dengan tegas membantah segala bentuk superioritas yang diklaim berdasarkan faktor-faktor duniawi seperti suku, bangsa, dan warna kulit. Lebih dari sekadar pernyataan teologis, ayat ini merupakan landasan moral yang fundamental bagi terciptanya peradaban yang adil dan bermartabat.
Ayat tersebut, dalam bahasa Arab, berbunyi: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ."
Terjemahannya yang umum digunakan adalah: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti."
Ayat ini, secara eksplisit, menolak segala bentuk diskriminasi dan superioritas yang dibangun atas dasar perbedaan fisik atau asal-usul. Allah SWT, Sang Pencipta, menciptakan manusia dengan beragam latar belakang suku, bangsa, dan warna kulit, bukan untuk menciptakan hierarki sosial, melainkan untuk tujuan yang lebih luhur: saling mengenal dan menghargai perbedaan. Keberagaman ini, bukan sebagai sumber konflik, melainkan sebagai potensi untuk memperkaya pengalaman hidup dan memperkuat ikatan kemanusiaan.
Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menjelaskan bahwa penciptaan manusia dari Adam dan Hawa, kemudian dibagi menjadi berbagai bangsa dan suku, bertujuan untuk membangun interaksi dan pemahaman antar manusia. Perbedaan tersebut, bukanlah untuk menjustifikasi sikap superioritas atau inferioritas, melainkan sebagai wahana untuk saling mengenal dan belajar satu sama lain. Kemenag RI menekankan bahwa Allah SWT tidak menyukai sikap sombong yang dipertontonkan atas dasar keturunan, pangkat, atau kekayaan. Kemuliaan sejati, menurut tafsir ini, hanya diukur berdasarkan tingkat ketakwaan seseorang kepada Allah SWT.
Pandangan ini sejalan dengan realitas sosial yang seringkali diwarnai oleh diskriminasi. Manusia cenderung menilai kemuliaan seseorang berdasarkan status sosial, kekayaan, atau afiliasi kelompoknya. Namun, Surah Al-Hujurat ayat 13 menawarkan perspektif yang berbeda, sebuah perspektif yang transenden dan universal. Kemuliaan yang dibicarakan bukanlah kemuliaan duniawi yang bersifat sementara dan relatif, melainkan kemuliaan di sisi Allah SWT, yang bersifat abadi dan mutlak.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, menguatkan pemahaman ini. Hadits tersebut menceritakan peristiwa Rasulullah SAW yang melakukan tawaf dengan menggunakan unta yang telinganya tidak sempurna. Peristiwa ini, yang menggambarkan kesederhanaan dan kerendahan hati Rasulullah SAW, menunjukkan bahwa kemuliaan sejati tidak terkait dengan atribut fisik atau materi. Rasulullah SAW, dalam hadits tersebut, menegaskan bahwa manusia terbagi menjadi dua: orang yang berbuat kebajikan, bertakwa, dan mulia di sisi Tuhannya; dan orang yang durhaka, celaka, dan hina di sisi Tuhannya. Hadits ini kemudian dikaitkan dengan Surah Al-Hujurat ayat 13, menegaskan kembali bahwa takwa merupakan tolak ukur kemuliaan sejati.
Buya Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, memberikan penafsiran yang mendalam terhadap ayat ini. Beliau menjelaskan bahwa ayat tersebut menggambarkan realitas manusia yang sejak awal diciptakan dari percampuran laki-laki dan perempuan, melalui proses perkawinan. Buya Hamka juga menekankan pentingnya sikap saling menghormati dan menghargai antar manusia, terlepas dari perbedaan ras, kebangsaan, atau latar belakang lainnya. Sikap mengolok-olok, menghina, atau merendahkan orang lain karena perbedaan, menurut Buya Hamka, merupakan sikap yang bertentangan dengan ajaran Islam. Orang yang beriman, seharusnya lebih fokus pada kekurangan dirinya sendiri daripada mencari-cari kekurangan orang lain.
Analisis lebih lanjut terhadap ayat ini menunjukkan bahwa konsep "taqwa" (ketakwaan) bukan sekadar menjalankan ibadah ritual semata, melainkan merupakan manifestasi dari ketaatan kepada Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan. Takwa meliputi kejujuran, keadilan, kebaikan, dan kesalehan sosial. Seseorang yang bertakwa akan senantiasa berusaha untuk menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, baik dalam urusan pribadi maupun publik. Takwa juga meliputi sikap rendah hati, tidak sombong, dan menghindari sikap menghina atau merendahkan orang lain.
Dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang pesat, Surah Al-Hujurat ayat 13 memiliki relevansi yang sangat penting. Di era dimana informasi berkembang dengan cepat dan mudah tersebar, risiko terjadinya konflik antar kelompok dan diskriminasi semakin tinggi. Ayat ini mengajak umat manusia untuk menghindari perilaku yang dapat memicu konflik dan menekankan pentingnya saling menghargai perbedaan.
Pesan utama dari Surah Al-Hujurat ayat 13 adalah pentingnya mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan di atas segala bentuk perbedaan. Kemuliaan sejati tidak diukur dari faktor-faktor duniawi yang sementara, melainkan dari tingkat ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Ayat ini merupakan seruan untuk membangun peradaban yang adil, bermartabat, dan berlandaskan pada nilai-nilai ketakwaan dan kemanusiaan. Penerapan nilai-nilai dalam ayat ini sangat penting untuk mencegah munculnya berbagai bentuk diskriminasi dan menciptakan masyarakat yang harmonis dan toleran. Implementasinya dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan kesadaran dan komitmen dari setiap individu untuk senantiasa bertakwa kepada Allah SWT dan memperlakukan sesama manusia dengan adil dan penuh hormat. Hanya dengan demikian, cita-cita peradaban yang bermartabat dan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dapat terwujud.