Jakarta, 20 Februari 2025 – Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah untuk mengakomodasi penggunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dalam membiayai operasional petugas haji. Usulan ini disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag, Hilman Latief, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) Komisi VIII DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (20/2/2025). RDP tersebut juga disiarkan secara daring.
Hilman Latief secara tegas menyatakan perlunya penambahan klausul dalam revisi UU Haji yang secara eksplisit mengizinkan alokasi dana BPIH untuk mendukung operasional petugas haji. Menurutnya, mekanisme pendanaan saat ini, yang sebagian besar bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlalu kaku dan kurang fleksibel dalam merespon kebutuhan operasional yang dinamis. "Meskipun penggunaan dana BPIH untuk operasional petugas haji perlu diatur dalam RUU, prinsip efektifitas, efisiensi, dan ekonomis harus tetap diutamakan," tegas Hilman.
Ketidakfleksibilan pendanaan dari APBN, menurut Hilman, telah menjadi kendala utama bagi Ditjen PHU Kemenag dalam menyusun rencana anggaran penyelenggaraan ibadah haji. Keterbatasan ini seringkali menghambat upaya Kemenag dalam memastikan kelancaran penyelenggaraan ibadah haji, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan operasional petugas yang jumlahnya cukup besar dan tersebar di berbagai lokasi di Arab Saudi.
Lebih lanjut, Hilman memaparkan beberapa kendala lain yang dihadapi Kemenag dalam pengelolaan anggaran haji. Ia menunjuk pada kurangnya program khusus dalam anggaran penyelenggaraan ibadah haji, yang mengakibatkan minimnya peningkatan anggaran dari tahun ke tahun. "Ketiadaan program khusus ini membuat alokasi anggaran tidak mengalami peningkatan yang signifikan, sehingga sulit untuk mengakomodasi kebutuhan yang terus berkembang," jelasnya.
Kendala lain yang dihadapi adalah belum adanya pemisahan yang jelas dan terukur pada komponen BPIH. Hilman menekankan perlunya transparansi dan kejelasan dalam pembagian komponen BPIH yang bersumber dari berbagai sumber, termasuk APBN, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih), nilai manfaat, efisiensi, dan sumber lain yang sah. Kurangnya kejelasan ini, menurutnya, menyulitkan perencanaan dan penganggaran yang efektif dan efisien.
Selain kendala internal, Hilman juga menyoroti tantangan eksternal yang berasal dari kebijakan pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Ia menjelaskan bahwa seringkali muncul kebijakan baru dari pemerintah Saudi yang harus segera diterapkan, baik untuk jemaah haji maupun petugas haji. "Kebijakan-kebijakan mendadak ini seringkali menimbulkan kendala operasional yang signifikan," ujar Hilman. Ia menambahkan bahwa sifat mendadak dari kebijakan tersebut membuat Kemenag kesulitan untuk melakukan penyesuaian anggaran dan logistik secara tepat waktu. Hal ini semakin memperkuat argumen perlunya fleksibilitas dalam penggunaan dana BPIH untuk operasional petugas.
Hilman, yang telah menjabat sebagai Dirjen PHU sejak tahun 2021, menekankan bahwa kendala-kendala yang diuraikannya tersebut bukan sekadar masalah administratif, melainkan berdampak langsung pada kualitas penyelenggaraan ibadah haji. Ia berharap Komisi VIII DPR RI dapat mempertimbangkan usulan Kemenag tersebut dan memasukkannya ke dalam revisi RUU Haji. Dengan adanya alokasi dana BPIH untuk operasional petugas, Kemenag berharap dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan memastikan kelancaran penyelenggaraan ibadah haji bagi seluruh jemaah Indonesia.
Usulan ini, jika disetujui, akan membawa perubahan signifikan dalam pengelolaan dana BPIH. Selama ini, BPIH lebih difokuskan pada pembiayaan langsung jemaah haji, seperti tiket pesawat, akomodasi, konsumsi, dan biaya visa. Dengan adanya alokasi khusus untuk operasional petugas, maka akan ada jaminan ketersediaan dana untuk berbagai kebutuhan operasional, seperti pelatihan petugas, pengadaan peralatan, transportasi, komunikasi, dan penanganan situasi darurat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dan efektivitas kinerja petugas haji dalam memberikan pelayanan terbaik kepada jemaah.
Namun, usulan ini juga perlu dikaji secara cermat untuk menghindari potensi penyalahgunaan dana. Mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang ketat perlu diimplementasikan untuk memastikan dana BPIH yang dialokasikan untuk operasional petugas digunakan secara transparan dan bertanggung jawab. Sistem pelaporan yang terintegrasi dan audit berkala dapat menjadi langkah preventif untuk mencegah potensi penyimpangan.
Lebih jauh, perlu ada kajian mendalam mengenai proporsi dana BPIH yang akan dialokasikan untuk operasional petugas. Besaran alokasi tersebut harus dihitung secara teliti dan proporsional, dengan mempertimbangkan kebutuhan riil dan menghindari pembengkakan biaya. Kajian ini perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk ahli keuangan, pakar haji, dan perwakilan jemaah haji.
Secara keseluruhan, usulan Kemenag ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. Dengan adanya fleksibilitas dalam penggunaan dana BPIH, Kemenag diharapkan dapat lebih responsif terhadap kebutuhan operasional dan tantangan yang muncul, baik dari internal maupun eksternal. Namun, implementasi usulan ini harus diiringi dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan perencanaan yang matang untuk memastikan penggunaan dana yang efektif, efisien, dan transparan. Proses revisi RUU Haji ini diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang komprehensif dan mampu menjawab tantangan penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang. Perhatian terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana BPIH menjadi kunci keberhasilan revisi UU Haji ini. Semoga revisi UU Haji ini dapat menghasilkan sistem yang lebih baik dan berkeadilan bagi seluruh jemaah Indonesia.