Jakarta, 7 Februari 2025 – Pernyataan kontroversial Presiden AS Donald Trump yang menyatakan niat Amerika Serikat untuk mengambil alih Jalur Gaza dan merelokasi penduduk Palestina menuai kecaman keras dari berbagai penjuru dunia. Salah satu suara terkuat penolakan datang dari Pangeran Al-Faisal, tokoh berpengaruh dari Arab Saudi dan mantan duta besar negara tersebut untuk Washington. Dalam wawancara eksklusif dengan Christiane Amanpour di CNN International, Pangeran Al-Faisal mengecam keras rencana ambisius Trump tersebut, menyebutnya sebagai “fantasi” dan “usulan pembersihan etnis” yang tak termaafkan di abad ke-21.
Wawancara tersebut, yang disiarkan pada Jumat, 7 Februari 2025, mengungkapkan kemarahan dan keprihatinan mendalam Pangeran Al-Faisal terhadap pernyataan Trump yang disampaikan dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Selasa, 4 Februari 2025. Dalam konferensi pers tersebut, Trump secara mengejutkan mengumumkan rencana untuk merelokasi sekitar dua juta warga Palestina di Gaza dan membangun apa yang disebutnya sebagai "Reviera of Middle East" di wilayah tersebut. Pernyataan ini langsung memicu gelombang protes dan kecaman internasional yang meluas.
Pangeran Al-Faisal, dengan nada tegas dan lugas, menolak berkomentar secara panjang lebar mengenai detail rencana Trump. Namun, ia dengan jelas menyatakan penolakannya yang mutlak terhadap gagasan tersebut. "Apa yang keluar dari mulut Tuan Trump tidak dapat dicerna," ujarnya, menunjukkan betapa mengejutkannya dan tidak terimanya pernyataan tersebut bagi kalangan internasional. Ia menekankan bahwa rencana tersebut bukan hanya tidak masuk akal, tetapi juga merupakan tindakan yang sangat berbahaya dan berpotensi memicu konflik berskala besar.
"Saya dengan hormat menolak untuk berkomentar dengan bahasa yang tidak sopan," tegas Pangeran Al-Faisal. "Ini adalah fantasi untuk berpikir bahwa pembersihan etnis di abad ke-21 dapat dimaafkan oleh komunitas dunia yang tetap tinggal diam dan tidak menanggapinya." Pernyataan ini secara implisit mengkritik sikap diam atau bahkan dukungan terselubung dari beberapa negara terhadap rencana kontroversial Trump.
Lebih lanjut, Pangeran Al-Faisal secara gamblang menuding kebijakan AS sebagai akar permasalahan konflik Israel-Palestina. Ia menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina merupakan konsekuensi dari kebijakan Amerika Serikat. "Semua hal ini merupakan kebijakan Amerika hingga kata-kata terakhir yang dipilih Trump untuk digunakan dalam mengklaim bahwa ia ingin memperbaiki keadaan, padahal sebenarnya hal itu akan mengubah keadaan menjadi lebih banyak konflik dan pertumpahan darah," jelas mantan kepala intelijen Arab Saudi ini. Pernyataan ini menunjukkan kecaman yang terarah bukan hanya pada Trump secara pribadi, tetapi juga pada kebijakan luar negeri AS yang selama ini dinilai memihak Israel.
Pangeran Al-Faisal juga memberikan peringatan keras kepada Trump jika ia berencana mengunjungi Arab Saudi. "Jika ia benar-benar datang (ke Arab Saudi), ia akan mendapat teguran dari para pemimpin di sini tentang ketidakbijaksanaan dari apa yang ia usulkan dan ketidakadilan yang nyata dan nyata yang benar-benar ditandai dan sepenuhnya ditempatkan dalam usulan pembersihan etnis ini tidak hanya dari Gaza tetapi juga apa yang terjadi di Tepi Barat," tegasnya. Peringatan ini menunjukkan betapa seriusnya penolakan terhadap rencana Trump di kalangan kepemimpinan Arab Saudi, dan betapa besarnya potensi dampak negatif rencana tersebut terhadap hubungan AS-Arab Saudi.
Pernyataan Trump sendiri telah memicu kecaman internasional yang meluas. Rencana untuk merelokasi jutaan warga Palestina dan membangun "Reviera of Middle East" dianggap sebagai ide yang tidak realistis, tidak manusiawi, dan berpotensi memicu konflik besar. Banyak pemimpin dunia dan organisasi internasional telah mengecam rencana tersebut sebagai pelanggaran HAM dan sebagai ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas regional.
Ancaman konflik berskala besar bukanlah hal yang berlebihan. Rencana Trump ini berpotensi memicu reaksi keras dari kelompok-kelompok Palestina dan negara-negara Arab. Pemindahan paksa jutaan warga Palestina akan menciptakan krisis kemanusiaan yang besar dan memicu gelombang migrasi besar-besaran, yang dapat menimbulkan ketidakstabilan di kawasan tersebut. Selain itu, rencana ini juga dapat meningkatkan ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab, yang dapat memicu konflik bersenjata.
Lebih jauh lagi, rencana ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen AS terhadap hukum internasional dan prinsip-prinsip dasar HAM. Pemindahan paksa penduduk merupakan pelanggaran berat hukum internasional, dan rencana Trump ini menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia dan kedaulatan negara Palestina.
Pernyataan Pangeran Al-Faisal merupakan indikator kuat dari penolakan luas terhadap rencana Trump di dunia Arab. Arab Saudi, sebagai negara dengan pengaruh besar di dunia Arab dan Islam, penolakannya terhadap rencana ini dapat mempengaruhi sikap negara-negara Arab lainnya. Hal ini dapat memperumit upaya AS untuk mendapatkan dukungan internasional untuk rencana tersebut.
Kesimpulannya, pernyataan Pangeran Al-Faisal mewakili suara kuat penolakan terhadap rencana kontroversial Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza. Rencana tersebut, yang dianggap sebagai "fantasi pembersihan etnis" oleh Pangeran Al-Faisal, mengancam stabilitas regional, melanggar hukum internasional, dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang besar. Kecaman keras dari tokoh berpengaruh seperti Pangeran Al-Faisal menunjukkan betapa seriusnya penolakan internasional terhadap rencana tersebut dan betapa besarnya potensi dampak negatifnya terhadap perdamaian dan stabilitas dunia. Peristiwa ini menandai babak baru dalam konflik Israel-Palestina yang penuh dengan ketidakpastian dan potensi eskalasi konflik. Dunia internasional kini menantikan respon lebih lanjut dari berbagai pihak dan langkah-langkah konkret untuk mencegah terwujudnya rencana kontroversial tersebut.