Jakarta – Rencana kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) untuk mengambil alih Jalur Gaza telah memicu gelombang kecaman keras dari berbagai negara di dunia. Usulan yang dilontarkan dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, ini dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional dan potensi pemicu konflik besar, bahkan genosida. Pernyataan Presiden AS yang menyebutkan kemungkinan pemindahan sementara warga Palestina dari Gaza, kemudian diikuti dengan rencana pembangunan kembali wilayah tersebut sebagai "Riviera of Middle East" di bawah kendali AS, telah memicu kecurigaan kuat akan adanya agenda terselubung berupa pembersihan etnis.
Reaksi internasional terhadap rencana ambisius ini begitu beragam namun seragam dalam penolakannya. Dari negara-negara Arab hingga kekuatan global seperti Rusia dan China, kecaman mengalir deras, mengecam keras rencana tersebut sebagai tindakan ilegal, tidak manusiawi, dan berbahaya bagi stabilitas regional.
Hamas: Penolakan Tegas dan Peringatan Keras
Gerakan perlawanan Palestina, Hamas, langsung memberikan respons yang tegas dan keras terhadap rencana AS tersebut. Sami Abu Zuhri, pejabat senior Hamas, menyebut seruan untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza sebagai upaya pengusiran etnis, sebuah tindakan yang tidak dapat ditoleransi. "Pernyataan Trump tentang keinginannya untuk menguasai Gaza adalah konyol dan tidak masuk akal," tegas Abu Zuhri. Ia memperingatkan bahwa ide tersebut berpotensi memicu kerusuhan besar di wilayah tersebut, menekankan penolakan mutlak warga Gaza terhadap rencana tersebut.
Izzat al-Risheq, pejabat senior Hamas lainnya, menambahkan bahwa rencana AS tersebut hanya akan memperburuk situasi yang sudah rapuh. Ia menyoroti ketidakpahaman mendalam AS terhadap realitas Palestina dan menegaskan bahwa Gaza bukanlah tanah milik bersama yang dapat diperjualbelikan. Al-Risheq juga menyoroti kecenderungan AS yang dianggapnya berat sebelah, yang terus berpihak pada Israel dan mengabaikan hak-hak sah rakyat Palestina.
PBB: Desakan Pemulangan dan Penolakan Penggusuran
Riyad Mansour, pemimpin delegasi Palestina untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengecam rencana AS tersebut dengan lantang. Ia menekankan hak warga Palestina untuk kembali ke rumah mereka di wilayah yang kini menjadi Israel, mengatakan, "Bagi mereka yang ingin mengirim orang-orang Palestina ke ‘tempat yang baik’, izinkan mereka untuk kembali ke rumah asal mereka di tempat yang sekarang yang menjadi Israel." Mansour menegaskan keinginan rakyat Palestina untuk membangun kembali Gaza, karena di sanalah tempat mereka berada, tempat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan sejarah mereka.
Dunia Arab Bersatu dalam Kecaman
Negara-negara Arab menunjukkan solidaritas yang kuat dalam penolakan terhadap rencana AS. Mesir, melalui Menteri Luar Negeri Badr Abdelatty, dalam pembicaraan dengan Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa, menekankan pentingnya melanjutkan proyek pemulihan di Gaza tanpa melibatkan pemindahan warga Palestina. Arab Saudi, dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri, menegaskan penolakan tegas terhadap segala upaya penggusuran warga Palestina dari tanah mereka, menyebutnya sebagai hal yang tidak dapat dinegosiasikan. Pernyataan tersebut juga menegaskan kembali penolakan terhadap pelanggaran hak-hak rakyat Palestina, termasuk kebijakan pemukiman Israel dan aneksasi tanah Palestina. Yordania, melalui Pengadilan Kerajaan, menyampaikan penolakan Raja Abdullah II terhadap perluasan permukiman Israel dan upaya perampasan tanah serta penggusuran warga Palestina.
Iran dan Negara-negara Lain Mengutuk Rencana AS
Iran, melalui seorang pejabat senior, menyatakan penolakan tegas terhadap pengusiran warga Palestina. Council on American-Islamic Relations (CAIR), sebuah kelompok advokasi Muslim di AS, menyatakan bahwa Gaza adalah milik rakyat Palestina, bukan Amerika Serikat, dan menyebut rencana pengusiran warga Palestina sebagai hal yang mustahil dan tidak dapat diterima. CAIR memperingatkan bahwa pengusiran paksa akan memicu konflik yang meluas dan menghancurkan hukum internasional.
Rusia, melalui Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov, mengkritik rencana Israel untuk mengambil alih kendali penuh atas Tepi Barat dan upaya penggusuran warga Palestina dari Gaza, menyebutnya sebagai praktik hukuman kolektif yang ditolak Rusia. China, melalui Kementerian Luar Negeri, menyatakan penentangannya terhadap pemindahan paksa warga Gaza dan menyerukan gencatan senjata serta penyelesaian politik berdasarkan solusi dua negara.
Jerman, Prancis, Spanyol, Irlandia, Inggris, Brasil, dan Australia, semuanya menyatakan penolakan keras terhadap rencana AS tersebut. Mereka menekankan hak warga Palestina untuk tetap tinggal di Gaza, mengutuk rencana tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional, dan menegaskan dukungan mereka terhadap solusi dua negara yang memungkinkan Palestina dan Israel hidup berdampingan secara damai dan aman. Pernyataan-pernyataan tersebut menekankan bahwa rencana AS tersebut tidak hanya melanggar hukum internasional tetapi juga akan memicu konflik, ketidakstabilan regional, dan penderitaan besar bagi rakyat Palestina. Mereka menyerukan solusi yang adil dan berkelanjutan yang menghormati hak-hak rakyat Palestina dan menjamin keamanan bagi semua pihak.
Kesimpulannya, rencana AS untuk mengambil alih Gaza telah memicu reaksi internasional yang sangat negatif dan meluas. Kecaman keras dari berbagai negara, baik negara-negara Arab, kekuatan global, maupun organisasi internasional, menunjukkan penolakan global terhadap rencana tersebut. Rencana ini tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional tetapi juga sebagai ancaman serius terhadap perdamaian dan stabilitas regional. Dunia internasional secara tegas menuntut penghormatan terhadap hak-hak rakyat Palestina dan penyelesaian konflik yang adil dan berkelanjutan berdasarkan solusi dua negara. Masa depan Gaza, menurut konsensus internasional, harus ditentukan oleh rakyat Palestina sendiri, bukan oleh intervensi kekuatan asing yang berpotensi menghancurkan harapan perdamaian dan keadilan di wilayah tersebut.