Jakarta – Surah Al-Baqarah ayat 256, jantung ajaran Islam yang menjamin kebebasan beragama, menjadi sorotan kembali. Ayat ini secara tegas menyatakan penolakan terhadap paksaan dalam memeluk agama Islam, sekaligus menjadi bantahan atas narasi-narasi keliru yang kerap mengaitkan Islam dengan kekerasan dan pemaksaan dalam dakwah. Ayat ini, yang sering dikutip sebagai landasan toleransi beragama dalam Islam, berbunyi:
“لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِعُرْوَةٍ وَثْقَةٍ ۖ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ”
Terjemahannya: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Ayat ini, dengan lugas dan tegas, membantah segala bentuk pemaksaan dalam beragama. Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mengajarkan kasih sayang, toleransi, dan dialog, bukan kekerasan dan intimidasi. Prinsip ini menjadi pondasi utama dalam berdakwah dan berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Penggunaan kekerasan, apalagi dalam konteks penyebaran ajaran agama, merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menjelaskan ayat ini sebagai penegasan atas kebebasan beragama yang mutlak. Tidak hanya menolak paksaan, tafsir ini juga menekankan pentingnya pendekatan yang bijak dan santun dalam berdakwah. Kemenag RI secara eksplisit menyatakan, "Janganlah kamu menggunakan paksaan apalagi kekerasan dalam berdakwah. Ajaklah manusia ke jalan Allah dengan cara yang terbaik." Ini menunjukkan bahwa dakwah yang efektif dan sesuai ajaran Islam adalah dakwah yang didasarkan pada persuasi, pendidikan, dan teladan, bukan paksaan atau ancaman.
Lebih jauh, tafsir Kemenag RI menggarisbawahi bahwa iman merupakan keyakinan hati yang tidak dapat dipaksakan. Tidak ada manusia yang mampu memaksa hati orang lain untuk mempercayai sesuatu. Iman adalah proses internal yang tumbuh dari pemahaman dan kesadaran individu, bukan hasil dari tekanan eksternal. Oleh karena itu, upaya untuk memaksakan seseorang memeluk agama tertentu, termasuk Islam, adalah tindakan yang sia-sia dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama itu sendiri.
Ayat ini juga menjelaskan tentang "Thaghut". Thaghut merujuk pada segala sesuatu yang disembah selain Allah SWT, termasuk berhala, patung, atau ideologi sesat yang didewakan. Barangsiapa yang meninggalkan penyembahan Thaghut dan beriman kepada Allah SWT, maka ia telah berpegang pada "buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus". Metafora ini menggambarkan kekuatan dan keteguhan iman yang sejati, sebuah keyakinan yang kokoh dan tak tergoyahkan. Iman yang demikian, menurut Tafsir Kemenag RI, adalah iman yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diwujudkan dalam perbuatan. Ketiga aspek ini – aqidah (kepercayaan), kalam (ucapan), dan amal (perbuatan) – harus selaras dan saling menguatkan.
Allah SWT, sebagai Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, senantiasa menyaksikan dan menilai setiap keyakinan, ucapan, dan perbuatan manusia. Keadilan Ilahi akan membalas setiap amal sesuai dengan kadarnya. Ini menekankan pentingnya keikhlasan dan kesungguhan dalam beriman, karena Allah SWT akan menilai amal perbuatan manusia berdasarkan niat dan keikhlasannya.
Pandangan ulama terkemuka, Buya Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, memberikan perspektif yang mendalam tentang ayat ini. Beliau melihat Surah Al-Baqarah ayat 256 sebagai penegasan atas dasar teguh ajaran Islam. Buya Hamka menyoroti upaya musuh Islam yang kerap menyebarkan fitnah dengan menuduh Islam disebarkan dengan kekerasan dan pedang. Ayat ini, menurut Buya Hamka, menjadi bantahan yang tegas terhadap tuduhan tersebut. Islam, menurut tafsir Buya Hamka, tidak pernah dan tidak akan pernah memaksa siapa pun untuk memeluknya. Kebebasan beragama merupakan hak asasi yang dijamin oleh ajaran Islam itu sendiri.
Kesimpulannya, Surah Al-Baqarah ayat 256 merupakan ayat yang sangat penting dalam memahami ajaran Islam yang sesungguhnya. Ayat ini menegaskan kebebasan beragama sebagai prinsip fundamental, menolak segala bentuk paksaan dan kekerasan dalam berdakwah, dan menekankan pentingnya pendekatan yang santun dan bijak dalam menyebarkan ajaran agama. Pemahaman yang benar terhadap ayat ini sangat krusial untuk melawan miskonsepsi dan narasi-narasi negatif yang kerap dialamatkan kepada Islam. Ayat ini menjadi bukti nyata bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam, agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan perdamaian. Penggunaan ayat ini sebagai landasan untuk menghormati kebebasan beragama dan menolak segala bentuk intoleransi menjadi sangat relevan di era modern ini, di mana perbedaan keyakinan dan budaya merupakan hal yang lumrah. Pemahaman yang komprehensif dan mendalam terhadap Surah Al-Baqarah ayat 256 sangat penting untuk membangun kerukunan antar umat beragama dan menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis. Ayat ini bukan hanya sekadar teks suci, tetapi juga pedoman hidup yang mengarahkan manusia menuju jalan yang benar dan lurus. Penerapan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan membangun peradaban yang beradab, bermartabat, dan berkeadilan. Oleh karena itu, pengkajian dan pemahaman yang terus menerus terhadap ayat ini sangat penting untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan mencegah penyimpangan yang dapat menimbulkan konflik dan perselisihan.