Jakarta – Kematian merupakan realita tak terbantahkan bagi setiap manusia. Proses pembusukan dan penguraian jasad menjadi bagian tak terpisahkan dari siklus kehidupan di bumi. Namun, ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam sejumlah hadis, menyingkap pengecualian unik: keabadian jasad para Nabi. Fenomena ini, yang berada di luar hukum alamiah pembusukan, menjadi perenungan mendalam tentang keistimewaan dan kedudukan para utusan Allah SWT.
Salah satu hadis yang menguatkan keyakinan ini terdapat dalam kitab Riyadhus Shalihin karya Imam an-Nawawi. Hadis riwayat Aus bin Aus RA tersebut menyebutkan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi (teks Arab asli telah diberikan dalam berita sumber, dan karena keterbatasan kemampuan saya dalam menulis teks Arab, saya tidak akan mengulanginya di sini. Namun, saya akan memberikan terjemahan yang lebih detail dan kontekstual): "Sesungguhnya hari Jumat adalah hari yang paling mulia bagi kalian. Oleh karena itu, perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu, karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku."
Para sahabat, dengan rasa ingin tahu yang tinggi, kemudian mengajukan pertanyaan yang mendasar: "Ya Rasulullah, bagaimana shalawat kami dapat sampai kepada Anda, sementara jasad Anda telah hancur di dalam tanah?" Pertanyaan ini menyentuh inti persoalan: proses pembusukan jasad yang merupakan hukum alamiah. Jawaban Rasulullah SAW pun menjadi kunci pemahaman atas keabadian jasad para Nabi: "Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi."
Terjemahan hadis ini, meski ringkas, menyimpan makna yang dalam dan penuh hikmah. Ungkapan "Allah mengharamkan bumi memakan jasad para Nabi" bukanlah sekadar pernyataan literal, melainkan simbolis dari keistimewaan dan kemuliaan yang dianugerahkan Allah SWT kepada para Nabi-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa jasad para Nabi tidak mengalami proses pembusukan seperti manusia pada umumnya, melainkan tetap utuh hingga hari kiamat. Penjelasan ini bukan untuk diartikan secara harfiah, tetapi sebagai gambaran keagungan dan kemuliaan kedudukan para Nabi di sisi Allah SWT.
Imam Abu Dawud, dalam kitab Shalawat bab Keutamaan Hari Jumat dan Malam Jumat, juga meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang shahih. Hal ini semakin memperkuat keabsahan dan kredibilitas hadis tersebut. Lebih lanjut, pensyarah kitab Riyadhus Shalihin, Musthafa Dib al-Bugha dkk., menjelaskan bahwa hadis ini mengandung mutiara hikmah yang menunjukkan bahwa jasad para Nabi tetap berada dalam kondisi seperti saat mereka wafat. Tidak ada proses pembusukan yang terjadi. Ini merupakan bentuk penghormatan dan pengakuan atas jasa dan pengorbanan mereka dalam menyebarkan risalah Allah SWT.
Pernyataan ini bukan tanpa konteks. Hadis ini harus dikaji dan dipahami dalam kerangka pemahaman keimanan yang menyeluruh. Ia tidak dimaksudkan untuk menafikan hukum-hukum alamiah, melainkan untuk menunjukkan kekuasaan dan keagungan Allah SWT yang melampaui batas-batas pemahaman manusia. Keabadian jasad Nabi bukanlah suatu fenomena yang dapat dijelaskan secara ilmiah, melainkan merupakan bagian dari mukjizat dan karunia ilahi.
Selain hadis tersebut, terdapat pula hadis lain yang menjelaskan tentang keistimewaan Nabi Muhammad SAW pada hari kiamat. Ibnu Katsir, dalam kitabnya An-Nihayah (yang diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal dan Imron Hasan), mencatat hadis riwayat Abu Hurairah RA yang menyebutkan sabda Rasulullah SAW (teks Arab asli telah diberikan dalam berita sumber, dan saya tidak akan mengulanginya di sini. Namun, saya akan memberikan terjemahan yang lebih detail dan kontekstual): "Aku adalah pemimpin anak cucu Adam di hari kiamat, orang yang pertama kali dikeluarkan dari kuburnya, orang yang pertama kali memberi syafaat, dan orang yang pertama kali diterima syafaatnya."
Hadis ini menggambarkan kedudukan Nabi Muhammad SAW yang sangat mulia dan terhormat di hari kiamat. Beliau adalah pemimpin umat manusia, yang pertama kali dibangkitkan dari kubur, dan yang pertama kali memberikan syafaat serta syafaatnya diterima oleh Allah SWT. Hal ini menunjukkan keutamaan dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kebangkitan Nabi Muhammad SAW akan menjadi tanda dimulainya hari kiamat.
Hadis serupa juga terdapat dalam Shahih Muslim, dengan redaksi yang sedikit berbeda namun memiliki makna yang sama. Perbedaan redaksi ini menunjukkan kekayaan dan keragaman dalam meriwayatkan hadis, namun inti pesan tetap sama: keistimewaan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat di hari kiamat dan yang pertama dibangkitkan. Dalam hadis Shahih Muslim ini, terdapat tambahan detail tentang pengalaman Nabi Muhammad SAW saat melihat Nabi Musa di hari kiamat. Detail ini memperkaya pemahaman kita tentang peristiwa hari kiamat, namun tetap harus diinterpretasikan dalam konteks keimanan dan tidak secara harfiah.
Berbagai hadis lain juga menggambarkan kondisi manusia saat dibangkitkan di hari kiamat, seperti kondisi tanpa alas kaki, telanjang, dan tidak dikhitan. Namun, hadis-hadis ini juga menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS adalah orang pertama yang diberi pakaian. Deskripsi-deskripsi ini, meskipun tampak detail, harus dimaknai secara simbolik dan tidak secara harfiah. Deskripsi ini menggambarkan betapa dahsyatnya hari kiamat dan betapa pentingnya persiapan diri untuk menghadapi hari tersebut.
Kesimpulannya, keyakinan akan keabadian jasad para Nabi merupakan bagian dari ajaran Islam yang bersumber dari hadis-hadis shahih. Hadis-hadis tersebut, meskipun perlu dikaji dan diinterpretasikan dengan pemahaman yang mendalam dan kontekstual, menunjukkan keistimewaan dan kemuliaan para Nabi di sisi Allah SWT. Keabadian jasad ini bukanlah suatu fenomena yang dapat dijelaskan secara ilmiah, melainkan merupakan bagian dari mukjizat dan karunia ilahi yang menunjukkan kekuasaan dan keagungan Allah SWT yang melampaui batas-batas pemahaman manusia. Pemahaman yang komprehensif atas hadis-hadis ini membutuhkan pendekatan yang integratif, menggabungkan pemahaman teks, konteks historis, dan interpretasi teologis yang bijaksana. Wallahu a’lam bishawab.