Madinah, suatu masa di masa kenabian. Di sudut pasar yang ramai, seorang pengemis buta Yahudi menjalani kehidupannya dengan penuh kebencian. Setiap hari, ia melontarkan hinaan dan cacian kepada Nabi Muhammad SAW, menuding beliau sebagai pembohong, tukang sihir, bahkan memperingatkan orang-orang untuk menjauhi beliau. Kata-kata penuh racun itu terlontar tanpa henti, sebuah gambaran nyata dari kebencian yang membutakan nurani. Namun, di balik dinding kebencian itu, sebuah kisah kasih sayang yang luar biasa tengah terukir.
Kisah ini, sebagaimana terungkap dalam buku "Jubah Kanjeng Nabi: Kisah Menakjubkan Para Ulama yang Berjumpa Nabi" karya A. Yusrianto Elga dan Nor Fadhilah, mengungkap dimensi kemuliaan akhlak Rasulullah SAW yang tak tertandingi. Meskipun menjadi sasaran hinaan dan fitnah setiap hari, Nabi Muhammad SAW tak pernah sekalipun membalasnya dengan amarah atau dendam. Sebaliknya, setiap pagi, beliau menyisihkan waktu berharga untuk menyuapi pengemis buta itu.
Bukan sekadar memberi makan, Rasulullah SAW memperlihatkan kasih sayang yang begitu mendalam. Beliau dengan telaten menghaluskan makanan terlebih dahulu sebelum menyuapkannya kepada pengemis tersebut. Tindakan ini, yang dilakukan secara rutin dan tanpa diketahui pengemis buta itu, merupakan bukti nyata dari kesabaran dan keikhlasan beliau yang luar biasa. Ia adalah manifestasi dari ajaran Islam yang menekankan pentingnya memaafkan dan berbuat baik kepada sesama, bahkan kepada mereka yang memusuhi.
Kehidupan Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai hadits, merupakan teladan sempurna bagi seluruh umat manusia. Hadits dari Aisyah RA, misalnya, menyatakan, "Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah memukul seorang wanita dan tidak pernah memukul seorang pelayan. Beliau juga sama sekali tidak pernah memukul sesuatu dengan tangan beliau, kecuali ketika sedang berjihad di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Beliau pun tidak membalas jika dirinya disakiti orang, kecuali jika kesucian Allah SWT dilanggar, maka beliau pun membalaskannya." (HR Muslim). Hadits ini menggarisbawahi sifat penyayang, sabar, dan pemaaf Rasulullah SAW yang menjadi ciri khas kepribadian beliau.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tugas menyuapi pengemis buta itu diambil alih oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, menceritakan tentang kebiasaan mulia sang Nabi kepada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menyuapi pengemis itu, sebuah momen mengharukan pun terjadi. Pengemis buta itu menyadari bahwa sosok yang selama ini menyuapinya bukanlah orang yang sama.
"Siapakah engkau?" tanya pengemis buta itu dengan rasa penasaran.
"Aku orang biasa," jawab Abu Bakar dengan rendah hati.
Namun, pengemis buta itu tetap merasa ada yang berbeda. Ia berkata, "Bukan. Pasti engkau bukan orang yang biasa mendatangiku. Apabila ia datang, tak usah tangan ini memegang dan tak usah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku. Dan, ia terlebih dahulu menghaluskan makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku."
Perkataan pengemis buta itu membuat Abu Bakar terharu hingga meneteskan air mata. Ia pun mengungkapkan kebenaran, bahwa selama ini Rasulullah SAW-lah yang setiap pagi menyuapi pengemis tersebut. Mendengar pengakuan Abu Bakar, pengemis buta itu pun tak kuasa menahan tangis. Rasa penyesalan mendalam menyelimuti hatinya. Selama ini, ia telah menghina, memfitnah, dan mencaci maki Rasulullah SAW, namun beliau tetap memperlakukannya dengan penuh kasih sayang dan kebaikan.
"Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan tiap pagi. Ia begitu mulia," ujar pengemis buta itu dengan suara bergetar.
Peristiwa ini menjadi titik balik dalam kehidupan pengemis buta tersebut. Di hadapan Abu Bakar, ia mengucapkan dua kalimat syahadat, menyatakan keislamannya dan meninggalkan kebencian yang selama ini membelenggu dirinya. Pertobatannya merupakan bukti nyata dari kekuatan kasih sayang dan akhlak mulia Rasulullah SAW yang mampu meluluhkan hati yang paling keras sekalipun.
Kisah ini bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi sebuah pelajaran berharga bagi umat manusia di sepanjang zaman. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya memaafkan, berbuat baik tanpa pamrih, dan mengutamakan kasih sayang dalam setiap tindakan. Rasulullah SAW, dengan akhlak mulia yang tak tertandingi, menunjukkan bagaimana cara menghadapi kebencian dengan kebaikan, bagaimana cara membalas kejahatan dengan kasih sayang. Sikap beliau menjadi contoh ideal bagi kita untuk membangun kehidupan yang lebih damai, toleran, dan penuh cinta kasih.
Lebih dari itu, kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya melihat kebaikan di balik setiap individu, meskipun mereka tampak penuh dengan kebencian dan permusuhan. Rasulullah SAW tidak melihat pengemis buta itu sebagai musuh, tetapi sebagai manusia yang membutuhkan kasih sayang dan bimbingan. Beliau tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi dengan kebaikan yang tulus dan ikhlas.
Dalam konteks dunia yang semakin terpolarisasi dan penuh konflik, kisah ini menjadi sebuah oase harapan. Ia menunjukkan bahwa kasih sayang dan kebaikan mampu mencairkan es kebencian dan membuka jalan menuju perdamaian. Sikap Rasulullah SAW terhadap pengemis buta Yahudi tersebut merupakan teladan yang harus kita teladani dalam kehidupan sehari-hari, dalam berinteraksi dengan sesama, dan dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Sebagai penutup, kisah ini mengajak kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Kebaikan, kesabaran, dan pemaafan adalah kunci untuk membangun peradaban yang lebih baik. Semoga kisah Rasulullah SAW dan pengemis buta Yahudi ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu berbuat baik dan menyebarkan kasih sayang kepada sesama, tanpa memandang latar belakang, agama, atau status sosial mereka. Semoga kita dapat meneladani akhlak mulia Rasulullah SAW dan menjadi manusia yang lebih baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Semoga Allah SWT selalu meridhoi kita semua.