Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, tokoh monumental dalam sejarah Islam yang dikenal sebagai Hujjatul Islam, bukanlah sosok yang kebal dari ujian Ilahi. Bahkan, ia pernah mengalami cobaan berat yang nyaris meruntuhkan fisik dan spiritualitasnya, sebuah pengalaman yang dikisahkannya sendiri dengan jujur dan menyayat hati. Kisah ini, yang terungkap dalam berbagai sumber seperti Yanaabi’u Ar-Rajaa’: 60 Sunnah Rabbaniyah Wabisarah Ilahiyah karya Khalid Abu Syadi (terjemahan Misbahul Munir) dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal, menawarkan renungan mendalam tentang kekuatan iman di tengah badai kehidupan.
Ujian yang menimpa Imam Al-Ghazali dimulai pada bulan Rajab 488 H, dan berlangsung selama enam bulan penuh. Bukan sekadar ujian biasa, melainkan badai yang mengguncang seluruh sendi kehidupannya, mengancam keseimbangan antara syahwat duniawi dan tuntutan spiritual. Dalam kata-kata Al-Ghazali sendiri, ia terombang-ambing antara dua kutub yang saling berlawanan, sebuah pergulatan batin yang intens dan hampir tak tertahankan. Ia menggambarkannya sebagai situasi yang telah melampaui batas kendali, sebuah titik di mana manusia merasa benar-benar tak berdaya di hadapan kuasa Ilahi.
Puncak dari ujian ini adalah hilangnya kemampuan berbicara, sebuah musibah yang amat menyakitkan bagi seorang ulama yang hidupnya didedikasikan untuk mengajar dan menyebarkan ilmu. Lisannya seakan terkunci, mencegahnya menyampaikan ilmu pengetahuan yang selama ini menjadi nafas hidupnya. Bayangkan betapa beratnya cobaan ini bagi seorang yang hidupnya bergantung pada kemampuan berkomunikasi, seorang yang terbiasa menyampaikan khotbah-khotbah yang menggetarkan jiwa dan mengajarkan ilmu agama kepada para muridnya.
Meskipun lisannya terkunci, semangat Al-Ghazali untuk berdakwah tetap menyala. Ia mencoba memaksakan diri untuk mengajar, terdorong oleh rasa simpati kepada para murid dan keinginan untuk memenuhi harapan mereka. Namun, usaha tersebut sia-sia. Lisannya tetap membisu, mengingatkannya akan keterbatasan manusia dan kebesaran kuasa Allah SWT. Kegagalan ini bukan hanya sebuah pukulan bagi ego, tetapi juga sebuah ujian yang menguji keikhlasan dan kesabarannya.
Kegagalan demi kegagalan yang dialaminya semakin menghancurkan rasa percaya dirinya. Ia merasa tak berdaya, kehilangan seluruh kemampuannya, terhempas ke dasar jurang keputusasaan. Di titik terendah inilah, Al-Ghazali kembali kepada Allah SWT, berdoa dengan sepenuh hati, layaknya seorang yang benar-benar terdesak dan tak memiliki pilihan lain selain berserah diri kepada Sang Pencipta. Dalam keterdesakan inilah, ia menemukan kekuatan sejati yang mampu membawanya melewati badai ujian.
Doa yang lahir dari lubuk hati yang terluka dan jiwa yang terpuruk itu dikabulkan. Allah SWT memberikan jalan keluar dari kesulitan yang menimpanya. Lebih dari sekadar mengembalikan kemampuan berbicara, ujian ini telah mengubah Al-Ghazali secara mendalam. Ia menemukan sebuah kenikmatan spiritual yang tak ternilai, yakni kenikmatan berpaling dari kehidupan duniawi yang fana. Kehidupan yang sebelumnya dipenuhi dengan ambisi dan keinginan duniawi, kini terasa hampa dan tak berarti dibandingkan dengan keindahan spiritual yang baru ditemukannya.
Setelah melewati ujian berat tersebut, Al-Ghazali menuturkan bahwa hatinya menjadi lebih mudah untuk berpaling dari kedudukan, harta, keturunan, dan pengikut. Ia menyadari bahwa semua itu hanyalah sementara, sementara kenikmatan spiritual yang didapatnya jauh lebih abadi dan berharga. Pengalaman ini mengubah perspektifnya tentang hidup, mengarahkannya pada pemahaman yang lebih dalam tentang makna hidup dan tujuan sebenarnya manusia di dunia.
Dalam Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Al-Ghazali menegaskan bahwa tidak ada yang menyelamatkannya dari godaan syahwat dan syubhat kecuali doa yang dipanjatkannya dalam keadaan terdesak. Ini menggarisbawahi pentingnya kedekatan dengan Allah SWT dalam menghadapi cobaan hidup. Keterdesakan, yang seringkali dianggap sebagai sesuatu yang negatif, justru menjadi kunci bagi Al-Ghazali untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi.
Pandangan serupa juga ditemukan dalam kitab Al-Hikam Al-‘Atha’yyah, yang menekankan keutamaan orang yang terdesak. Kitab ini menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang mendatangkan kebaikan lebih cepat daripada keterdesakan, dan tidak ada yang lebih cepat mendatangkan karunia daripada sikap merendah dan fakir. Keterdesakan, dalam konteks ini, bukan sekadar penderitaan fisik atau materi, tetapi juga sebuah kondisi spiritual di mana seseorang merasa benar-benar membutuhkan pertolongan Allah SWT.
Penulis Yanaabi’u Ar-Rajaa’ menambahkan bahwa keterdesakan adalah harta yang dikaruniakan Allah SWT kepada hamba-Nya. Kesulitan, bagi orang-orang mukmin, bukanlah sebuah hukuman, tetapi justru kunci untuk meraih karunia dan rahmat Ilahi yang berlimpah. Ini adalah perspektif yang perlu direnungkan, yakni mengubah cara pandang kita terhadap kesulitan dan cobaan hidup. Alih-alih melihatnya sebagai sesuatu yang negatif, kita perlu memandangnya sebagai peluang untuk tumbuh secara spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kisah Imam Al-Ghazali ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Ia mengingatkan kita bahwa ujian dan cobaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahkan bagi tokoh-tokoh besar sekalipun. Namun, ujian tersebut bukanlah untuk menghancurkan, melainkan untuk menguji keimanan, kesabaran, dan kedekatan kita dengan Allah SWT. Dalam keterdesakan, kita menemukan kekuatan yang tak terduga, kekuatan yang mampu membawa kita melewati badai kehidupan dan mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi. Kisah ini juga mengajarkan kita untuk selalu rendah hati, mengakui keterbatasan diri, dan senantiasa bergantung kepada Allah SWT dalam setiap langkah kehidupan. Wallahu a’lam.