Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Keyakinan umat Islam terhadap kehidupan akhirat tak lepas dari gambaran hari perhitungan dan proses penyeberangan jembatan Shiratal Mustaqim, sebuah jembatan yang diyakini membentang di atas neraka Jahannam. Gambaran mengerikan tentang jembatan ini termaktub dalam berbagai hadits, melukiskan ujian berat yang harus dilalui setiap jiwa manusia, baik yang beriman maupun yang berdosa, dari umat Nabi Muhammad SAW. Deskripsi yang beragam dalam hadits-hadits tersebut, justru semakin memperkuat gambaran betapa dahsyatnya ujian ini dan betapa pentingnya persiapan diri sebelum menghadap Sang Khalik.
Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang Shiratal Mustaqim menunjukkan keseragaman dalam menggambarkan betapa sempit dan rawannya jembatan ini. Imam Muslim, melalui riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, menyatakan bahwa Rasulullah SAW menggambarkan Shiratal Mustaqim “lebih tipis dari sehelai rambut dan setajam pedang.” Gambaran ini diperkuat oleh Ibnu Mas’ud RA yang melukiskan jembatan tersebut sebagai jalan lurus yang melintasi neraka, “berbentuk seperti pedang yang tajam, licin, dan dapat mematahkan.” Lebih mengerikan lagi, di atas jembatan tersebut terdapat “besi-besi tajam dari neraka yang mencakar dan mencengkeram siapa saja yang dikehendaki.” Kecepatan penyeberangan pun bervariasi, dari secepat kilat, kecepatan angin, laju kuda, hingga berjalan kaki bahkan merangkak, menunjukkan perbedaan amal dan takdir masing-masing individu. (HR Thabrani dan Baihaqi)
Riwayat lain dari Aisyah RA menguatkan gambaran mengerikan tersebut. Rasulullah SAW, menurut Aisyah, mengatakan bahwa jembatan itu “lebih tipis dari rambut dan setajam pedang, dengan besi dan pagar runcing di atasnya.” Semua, tanpa terkecuali, harus melaluinya. Kecepatan penyeberangan, seperti yang dikisahkan dalam riwayat Abu Sa’id, beragam; ada yang secepat kilat, secepat kedipan mata, secepat angin, atau secepat kuda. Dalam suasana mencekam tersebut, malaikat pun ikut serta memanjatkan doa, “Ya Allah, selamatkan!” Namun, kenyataannya tak semua berhasil melewati ujian ini. Sebagian berhasil mencapai keselamatan, sementara yang lain dikoyak atau terjatuh ke dalam neraka yang menyala-nyala. (HR Ahmad)
Ubaid bin Umair RA juga meriwayatkan hadits yang senada. Rasulullah SAW menggambarkan Shiratal Mustaqim sebagai jembatan di atas neraka yang “setajam pedang dengan besi dan pagar runcing di kedua sisinya.” Besi-besi runcing ini, menurut hadits tersebut, mampu mengoyak tubuh manusia. Rasulullah SAW bahkan bersumpah bahwa “sejumlah besar manusia akan tersangkut oleh kait-kait besar tersebut,” sementara malaikat terus berdoa memohon keselamatan bagi mereka. (HR Baihaqi dan Ibnu Abi Ad-Dunya)
Hadits dari Abu Hurairah RA menambahkan dimensi lain pada gambaran Shiratal Mustaqim. Rasulullah SAW bersabda, “Setelah Shiratal Mustaqim dibentangkan di atas neraka, aku akan menjadi rasul pertama yang melintasinya, diikuti umatku.” Suasana yang digambarkan sangat mencekam, hingga “tidak seorang pun berbicara kecuali para rasul yang memanjatkan doa, ‘Ya Allah, selamatkan!’” Neraka, menurut hadits ini, dipenuhi dengan “besi-besi runcing seperti duri As-Sa’dan, yang akan menyambar manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari berbagai hadits tersebut, tergambar betapa beratnya ujian yang akan dihadapi setiap manusia di akhirat. Jembatan Shiratal Mustaqim bukan sekadar jembatan biasa, melainkan ujian yang menguji keimanan dan amal perbuatan seseorang selama hidupnya di dunia. Ketebalan yang lebih tipis dari sehelai rambut dan ketajamannya seperti pedang, dipadukan dengan besi-besi runcing dan pagar yang mengancam, menunjukkan betapa rawannya jembatan tersebut. Kecepatan penyeberangan yang bervariasi menunjukkan perbedaan kualitas amal dan keimanan masing-masing individu.
Buku Ensiklopedia Akhirat: Mizan, Catatan Amal, Shirath, dan Macam-macam Syafaat karya Mahir Ahmad Ash Syufiy memberikan tambahan wawasan. Buku ini menjelaskan bahwa jembatan Shiratal Mustaqim “membentang di berbagai sisi neraka.” Suasana yang digambarkan sangat mencekam, hingga “tidak ada yang berbicara, kecuali para rasul yang berdoa untuk keselamatan umat mereka.” Hal ini, menurut buku tersebut, menunjukkan kasih sayang para rasul kepada umatnya.
Gambaran Shiratal Mustaqim dalam berbagai hadits bukanlah untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai pengingat akan pentingnya mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat. Hadits-hadits tersebut mengajarkan pentingnya beriman kepada Allah SWT, menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan senantiasa beramal saleh. Kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal. Oleh karena itu, persiapan diri yang matang sangatlah penting untuk menghadapi ujian di akhirat, termasuk melewati jembatan Shiratal Mustaqim.
Perbedaan detail dalam berbagai hadits tentang Shiratal Mustaqim tidak mengurangi keabsahannya. Justru, perbedaan tersebut menunjukkan betapa dahsyatnya ujian tersebut dan betapa beragamnya cara Allah SWT menguji hamba-Nya. Yang terpenting adalah memahami pesan moral di balik hadits-hadits tersebut, yaitu pentingnya beriman, beramal saleh, dan bertawakal kepada Allah SWT.
Kesimpulannya, gambaran Shiratal Mustaqim dalam hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menunjukkan betapa pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Jembatan yang sempit, tajam, dan penuh dengan bahaya ini merupakan ujian berat yang harus dilalui setiap manusia. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan keimanan dan amal saleh kita, sehingga kelak kita dapat melewati jembatan Shiratal Mustaqim dengan selamat dan mendapatkan ridho Allah SWT. Wallahu a’lam bishawab.