ERAMADANI.COM – Isu mengenai feodalisme di pesantren sudah lama menjadi bahan diskusi publik. Namun, topik ini kembali mencuat setelah Trans7 melalui program Xpose Uncensored menayangkan narasi yang dianggap provokatif. Tayangan tersebut menyoroti perilaku santri terhadap kiai—seperti menunduk ketika bersalaman, membantu membersihkan rumah tanpa bayaran, dan memberi amplop tanda terima kasih—seolah sebagai bentuk pengabdian yang berlebihan. Pertanyaannya kemudian muncul: apakah pesantren benar merupakan institusi feodal modern? Dan bagaimana Pancasila dapat menjadi penengah dalam polemik ini?
Esensi Hubungan Kiai dan Santri
Feodalisme menggambarkan sistem kekuasaan yang menempatkan segelintir orang di atas kelompok lain dengan unsur paksaan dan ketakutan. Pola itu tidak berlaku di pesantren. Kiai berperan sebagai guru dan pembimbing spiritual, bukan penguasa. Santri menghormati kiai karena ilmu, keteladanan, dan kepribadiannya. Hubungan antara keduanya berdiri di atas dasar moral dan keikhlasan, bukan tekanan. Karena itu, menyebut pesantren sebagai lembaga feodal berarti mengabaikan nilai-nilai yang membentuknya.
Adab Santri: Bentuk Penghormatan, Bukan Kepatuhan Buta
Tradisi pesantren berakar pada ajaran Islam yang menempatkan adab di atas ilmu. Menundukkan badan, mencium tangan, atau membantu kiai merupakan bentuk penghormatan terhadap guru, bukan tanda ketundukan sosial. Kebiasaan ini lahir dari nilai religius yang diwariskan sejak masa Nabi. Menganggap tradisi tersebut sebagai feodalisme berarti menolak warisan spiritual dan budaya yang telah dijaga turun-temurun.
Pengabdian dan Pendidikan Moral
Pengabdian di pesantren adalah bagian dari proses pendidikan moral. Santri belajar kesabaran, ketulusan, dan tanggung jawab melalui tindakan nyata. Kiai membimbing mereka dengan kasih sayang dan keteladanan, bukan kekuasaan. Selama hubungan antara keduanya dilandasi kerelaan dan tidak menimbulkan kerugian, nilai kemanusiaan justru tumbuh di sana. Hubungan itu mencerminkan sikap saling menghargai dan meneladani yang menjadi inti pendidikan Islam.
Etika Media di Era Digital
Melansir dari kompasiana.com, Penyebaran isu feodalisme di pesantren memperlihatkan lemahnya kontrol etika media. Trans7 seharusnya meneliti lebih dalam sebelum menayangkan konten sensitif. Di era digital, opini publik terbentuk dengan cepat, sehingga kesalahan kecil bisa menimbulkan dampak besar. Tanggung jawab media bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menjaga akurasi, konteks, dan keseimbangan berita. Media harus menjadi sarana edukasi, bukan provokasi.
Pancasila Sebagai Kompas Moral
Pancasila memberikan panduan etika dalam berpikir dan bertindak.
1. Sila pertama mengajarkan penghormatan terhadap ajaran dan budaya keagamaan, termasuk pesantren.
2. Sila kedua menekankan kemanusiaan dan ajakan untuk memahami sebelum menghakimi.
3. Sila keempat mengingatkan agar kebebasan berpendapat dilakukan dengan musyawarah dan tanggung jawab sosial.
Kesimpulan
Kritik terhadap pesantren boleh disampaikan, tetapi harus didasarkan pada pemahaman yang benar serta disampaikan dengan etika. Dengan menjadikan Pancasila sebagai kompas moral, masyarakat dapat menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan penghormatan terhadap nilai-nilai tradisi, agama, dan budaya bangsa.




