Jakarta – Istidraj, sebuah ujian dari Allah SWT yang datang dalam bentuk harta, jabatan, dan berbagai kenikmatan duniawi, seringkali menjadi jebakan bagi manusia. Rezeki yang disangka sebagai berkah, justru menjadi istidraj, sebuah ujian yang terselubung dalam manisnya kenikmatan duniawi.
Istidraj, yang secara bahasa berarti "tangga", "meningkat", atau "bertahap", merujuk pada pemberian nikmat duniawi yang diberikan Allah kepada seseorang secara perlahan-lahan, tanpa disertai peningkatan keimanan dan ketakwaan. Seseorang yang diuji dengan istidraj akan merasa dirinya mendapat rezeki karena kemuliaan dari Allah, tanpa menyadari bahwa Allah sedang murka dan ingin menghinakannya secara perlahan.
Ilusi ini membuat orang yang diuji dengan istidraj semakin terlena dalam maksiat, melupakan ibadah, dan menjauh dari Allah. Pada akhirnya, Allah akan mencabut kesenangan duniawi itu dan meninggalkan penyesalan yang terlambat.
Kisah Istidraj dalam Al-Quran dan Hadits
Sejarah Islam mencatat kisah-kisah nyata istidraj, seperti Fir’aun yang mendapatkan kenikmatan duniawi namun menolak beriman, hingga akhirnya binasa tenggelam di lautan. Kisah Qarun, yang kaya raya namun kikir, juga menjadi contoh nyata istidraj, di mana kekayaannya justru menjadi penyebab kebinasaannya.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat ‘Uqbah bin Amir RA, "Apabila engkau melihat Allah memberi karunia dunia kepada seorang hamba sesuai dengan yang ia inginkan, sementara ia tenggelam dalam kemaksiatan, maka ketahuilah itu hanya istidraj dari-Nya." (HR Ahmad).
Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 44 juga menjelaskan tentang istidraj: "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa."
Surat Ali Imran ayat 178 juga menegaskan tentang istidraj: "Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan."
Tanda-Tanda Istidraj
Membedakan istidraj dari rezeki yang datang dari kebaikan Allah bukanlah hal mudah. Namun, terdapat beberapa tanda yang dapat menjadi petunjuk:
-
Kenikmatan Duniawi Beriringan dengan Penurunan Keimanan: Tanda pertama istidraj adalah ketika seseorang mendapatkan kenikmatan duniawi, namun keimanan dan ketakwaannya justru menurun.
-
Kekikiran yang Semakin Parah: Surat Al-Humazah ayat 1-3 menggambarkan orang yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, merasa bahwa hartanya dapat mengekalkannya. Hal ini menjadi tanda istidraj, di mana seseorang semakin kikir dan terikat pada harta, meskipun Allah terus menambah kekayaannya.
-
Kebahagiaan dalam Kemaksiatan: Seorang mukmin seharusnya merasa sedih atas maksiat yang pernah dilakukan. Namun, jika seseorang merasa bahagia dan tenang dalam melakukan kemaksiatan, maka hal itu bisa menjadi tanda istidraj. Ali bin Abi Thalib RA mengingatkan, "Hai anak Adam, ingat dan waspadalah bila kau melihat Rabbmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepada-Nya."
-
Kesombongan Atas Kenikmatan Duniawi: Sombong atas harta, jabatan, dan kenikmatan duniawi merupakan tanda istidraj. Seseorang yang terjebak dalam istidraj akan merasa bahwa semua yang dia peroleh adalah hasil usahanya sendiri, melupakan bahwa semua itu adalah pemberian Allah SWT.
-
Jarang Sakit atau Tertimpa Musibah: Orang yang diuji dengan istidraj seringkali jarang sakit atau tertimpa musibah, meskipun sering berbuat maksiat dan lalai terhadap Allah. Padahal, Allah SWT sering menguji hamba-Nya dengan sakit dan musibah untuk mengingatkan mereka agar kembali kepada-Nya.
-
Hati yang Mati: Istidraj akan menimpa orang yang hatinya telah mati. Mereka tidak merasa sedih karena meninggalkan ibadah dan tidak menyesal atas kemaksiatan yang dilakukan. Hal ini bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman" (HR Tirmidzi).
Menghindari Istidraj
Sebagai orang beriman, kita harus senantiasa waspada dan berusaha menghindari istidraj. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan:
-
Meningkatkan Keimanan dan Ketakwaan: Keimanan dan ketakwaan adalah benteng utama untuk menghindari istidraj. Dengan meningkatkan keimanan, seseorang akan lebih menyadari bahwa nikmat duniawi hanyalah ujian dan tidak boleh membuat kita terlena.
-
Menjauhi Maksiat: Kemaksiatan merupakan jalan menuju istidraj. Dengan menjauhi maksiat, seseorang akan terhindar dari dosa dan lebih dekat kepada Allah SWT.
-
Mensyukuri Nikmat: Mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT merupakan cara untuk menghindarkan diri dari kesombongan dan kekikiran. Dengan mensyukuri nikmat, seseorang akan lebih rendah hati dan tidak terlena dalam kenikmatan duniawi.
-
Selalu Berdzikir dan Berdoa: Berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT akan membantu kita untuk selalu mengingat-Nya dan memohon perlindungan dari istidraj.
-
Meminta Petunjuk dan Perlindungan Allah: Meminta petunjuk dan perlindungan Allah SWT merupakan hal yang sangat penting untuk menghindari istidraj.
Kesimpulan
Kenikmatan duniawi bukanlah ukuran kasih sayang Allah SWT. Istidraj merupakan ujian yang terselubung dalam manisnya kenikmatan duniawi, yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kemaksiatan dan kebinasaan. Dengan meningkatkan keimanan dan ketakwaan, menjauhi maksiat, mensyukuri nikmat, serta selalu berdzikir dan berdoa, kita dapat memohon perlindungan Allah SWT dari istidraj dan meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.