ERAMADANI.COM, JAKARTA – Konflik yang menimpa masyarakat etnis Rohingnya di daerah negara Myanmar dan sekitarnya belum usai.
Baru-baru ini terendus indikasi yang mengaitkan pengusaha-pengusaha besar terlibat dalam pelanggaran HAM berkepanjangan tersebut.
Yaitu sejumlah pengusaha yang membiayai pengadaan senjata kepada militer meski telah di nyatakan sebagai pelanggaran HAM.
PBB pun meminta adanya sanksi ekonomi terhadap perubahan-perusahaan tersebut.
Temuan PBB Atas Pelanggaran HAM Rohingnya
Dilansir dari Detik.com, Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, yang saat ini memimpin Komisi Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serukan sanksi ekonomi bagi sejumlah pengusaha yang terindikasi “berhubungan” dengan militer Myanmar.
Hal ini diserukan setelah temuan terkait dugaan keterlibatan sejumlah pebisnis dalam mendukung pendanaan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia di negara itu.
Komisi pencari fakta merilis laporan yang merinci bagaimana bisnis yang dijalankan oleh tentara Myanmar, atau yang dikenal sebagai Tatmadaw, memberikan dukungan keuangan untuk operasi militer.
Diantara operasi tersebut ialah tindak pemaksaan para Muslim Rohingya keluar dari negara bagian Rakhine.
Laporan ini berfokus terutama pada dua kegiatan utama konglomerat yang didominasi oleh militer, yaitu Myanmar Economic Holdings Ltd. (MEHL) dan Myanmar Economic Corp (MEC).
“Untuk kali pertama, laporan ini terbit dengan adanya gambaran yang jelas terkait keterlibatan perusahaan tertentu dari Eropa dan Asia.”
“Itu memperjelas bahwa adanya hubungan dan adanya pelanggaran terhadap perjanjian dan norma-norma PBB,” ujar Marzuki Darusman dalam sebuah wawancara, Ahad (04/08/2019) lalu.
Pihak juru bicara militer tidak merespon panggilan telepon kantor berita Reuters
Sedangkan Zaw Htay, juru bicara pemerintahan sipil di bawah pimpinan Aung San Suu Kyi tidak dapat dihubungi.
Dikatakan sejumlah 59 perusahaan asing dari Prancis, Belgia, Swiss dan Hong Kong jalin kerja sama usaha dengan perusahaan yang punya keterkaitan dengan militer.
Usahanya mulai dari industri penambangan batu giok dan rubi hingga ke sektor pariwisata dan industri farmasi.
“Pemasukan yang berasal dari bisnis militer ini memperkuat otonomi Tatmadaw dari pengawasan sipil yang dipilih melalui pemilu”.
“Mereka menyediakan bantuan keuangan bagi operasional Tatmadaw yang bersifat melanggar HAM dan hukum-hukum internasional,” ujar Marzuki.
Dua konglomerasi ini dimiliki dan dijalankan di bawah pengaruh beberapa petinggi militer, termasuk diantaranya Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan Jenderal Soe Win.
Puncak Gunung Es Kasus
Menurut laporan itu, setidaknya ada 14 perusahaan asing dari tujuh negara, termasuk Cina, India dan Israel, yang telah seediakan jet tempur, kendaraan tempur lapis baja, kapal perang, rudal dan peluncur rudal ke Myanmar sejak 2016.
Ini tetap dilakukan meskipun telah ada laporan pelanggaran hak asasi manusia. Di antara para pemasok senjata yang berhasil diidentifikasi, 12 perusahaan merupakan badan usaha milik negara.
“Angka-angka ini benar-benar puncak gunung es,” kata Christopher Sidoti, anggota tim pencari fakta PBB kepada wartawan di Jakarta.
Namun Sidoti menolak menyebutkan tepatnya nama negara tempat perusahaan itu berada.
“Mungkin salah satu temuan yang paling mengganggu dalam laporan kami adalah cara yang digunakan pihak militer.”
“Yaitu secara aktif meminta sumbangan dari para perusahaan untuk mendukung upaya-upaya pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine,” ujarnya.
Tim pencari fakta ini dibentuk setelah adanya tindakan brutal pada tahun 2017 yang memaksa 700.000 Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Sejumlah penelitian internasional telah menunjukkan terjadinya pembunuhan, pemerkosaan hingga penyiksaan kepada warga Rohingya oleh pasukan keamanan Myanmar.
Laporan ini pun desak PBB dan negara-negara anggotanya untuk segera berlakukan sanksi yang telah ditargetkan terhadap perusahaan yang dijalankan oleh militer ini.
Selain itu, mereka juga mereka juga mendorong kalangan pengusaha untuk berbisnis dengan perusahaan yang tidak terafiliasi dengan pihak militer.
Dalam dekade terakhir, Myanmar beralih dari rezim militer menjadi pemerintahan sipil yang didominasi oleh militer.
Negara ini tumbuh menjadi salah satu wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia Tenggara.
Negara dengan penduduk lebih dari 60 juta orang itu lama terisolasi dan memiliki potensi besar.
Namun segala capaian tersebut bukan milik seluruh rakyat Myanmar. krisis Rohingya dan etnis minoritas lainnya bahkan telah menimbulkan kekhawatiran bagi para investor.