Ibadah haji, rukun Islam kelima, melampaui sekadar ritual tahunan. Ia merupakan perjalanan spiritual yang mendalam, sebuah perjumpaan intim antara hamba dan Tuhannya, yang menguji keikhlasan, kesabaran, dan ketundukan jiwa. Jutaan umat Muslim dari penjuru dunia setiap tahunnya berbondong-bondong menuju Tanah Suci, meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan duniawi, mengenakan kain ihram yang sederhana, menyatukan diri dalam satu kesadaran kolektif: menjawab panggilan Ilahi. Perjalanan ini bukan hanya fisik menuju Mekkah dan Madinah, melainkan juga perjalanan batin yang mentransformasikan diri, sebuah proses pengosongan diri untuk mencapai kedekatan sejati dengan Sang Pencipta.
Haji berakar dalam sejarah yang kaya dan sakral. Kisah Nabi Ibrahim AS yang rela mengorbankan putranya Ismail atas perintah Allah SWT, menjadi landasan utama ibadah ini. Ketaatan dan keikhlasannya yang luar biasa menjadi teladan bagi seluruh umat Muslim. Begitu pula dengan kisah Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim AS, yang dengan gigih mencari air di antara bukit Shafa dan Marwah, menunjukkan keteguhan iman dan ketabahan yang luar biasa dalam menghadapi cobaan. Pembangunan Ka’bah, rumah suci pertama yang dibangun untuk menyembah Allah SWT, semakin memperkuat makna spiritual perjalanan haji. Dengan melaksanakan haji, kita tidak hanya mengenang sejarah ini, tetapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Ibadah haji merupakan manifestasi dramatis dari tauhid, yaitu keesaan Allah SWT. Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS merupakan ujian tauhid yang monumental: apakah kecintaan kepada anak melebihi kecintaan kepada Allah SWT? Demikian pula dengan perjuangan Siti Hajar, yang merupakan ujian keyakinan: apakah seseorang akan tetap berikhtiar meskipun harapan tampak suram? Haji mengajarkan kita untuk melepaskan ego, mempercayai kuasa Allah SWT, dan terus melangkah menuju-Nya.
Ihram: Simbol Pengosongan Diri
Dalam era modern yang penuh dengan penilaian materialistik, di mana status sosial, jabatan, dan popularitas di media sosial seringkali menjadi ukuran keberhasilan, ihram hadir sebagai simbol pembebasan dari identitas artifisial. Dua helai kain putih tanpa jahitan, tanpa aksesori, tanpa merek, melambangkan kesetaraan di hadapan Allah SWT. Di Tanah Suci, seorang raja dan seorang buruh migran berdiri berdampingan, sama-sama memohon ampun, sama-sama tunduk di hadapan Sang Pencipta. Pengalaman ini meruntuhkan ego, menyingkirkan kesombongan, dan mengajak kita merenungkan jati diri sejati: seorang hamba yang lemah di hadapan Tuhannya.
Wukuf di Arafah: Puncak Perjumpaan Ruhani
Wukuf di Arafah merupakan inti dari ibadah haji. Rasulullah SAW bersabda, "Al-Hajju ‘Arafah"—haji adalah Arafah. Di padang Arafah, intensitas perjumpaan antara hamba dan Tuhan mencapai puncaknya. Di tengah keheningan dan kesucian Arafah, doa-doa khusyuk terpanjat, penyesalan atas dosa-dosa terucap, dan tekad untuk bertaubat semakin kuat. Di sinilah ruh manusia seolah-olah "bertemu" dengan Allah SWT.
Para ulama sufi menyamakan Arafah dengan bayangan hari kiamat. Di Arafah, kita berdiri tanpa kekuasaan, tanpa harta, tanpa penolong selain amal dan rahmat Allah SWT. Kesadaran akan kefanaan ini membersihkan hati, mengembalikan jiwa kepada fitrahnya yang suci.
Melempar Jumrah: Perlawanan Terhadap Nafsu
Melempar jumrah, ritual melempar batu ke tiga pilar yang melambangkan setan, bukan sekadar simbol. Ia merupakan ritual perlawanan terhadap nafsu dan godaan syaitan, baik dari luar maupun dari dalam diri. Di era modern, godaan syaitan datang dalam bentuk yang lebih halus: popularitas yang menipu, konsumsi berlebihan, dan ambisi tanpa arah. Melempar jumrah menjadi pengingat bagi setiap Muslim untuk aktif melawan bisikan-bisikan destruktif yang dapat menyesatkan.
Thawaf: Pusat Kehidupan Berada pada Allah SWT
Thawaf, mengitari Ka’bah tujuh kali, melambangkan perputaran hidup di sekitar Allah SWT. Dalam thawaf, manusia bergerak harmonis, tanpa saling bertabrakan, karena pusatnya sudah jelas: Allah SWT. Thawaf mengingatkan kita bahwa hidup harus berpusat pada Allah SWT. Jika Allah SWT menjadi pusat kehidupan, maka segala hal lainnya akan menemukan tempatnya yang semestinya, dan hidup akan menjadi lebih terarah dan tertib.
Transformasi Jiwa Pasca Haji
Ibadah haji bukan hanya sekadar pengalaman yang dikenang, tetapi juga transformasi yang dibawa pulang. Ia bukan klimaks kehidupan beragama, melainkan awal dari fase baru yang lebih sadar, lebih lembut, dan lebih tunduk kepada Allah SWT. Dalam tradisi sufi, ada ungkapan, "Man ‘arafa, ‘afa"—siapa yang mengenal (Allah SWT), maka ia akan berhenti dari dosa. Haji seharusnya melahirkan pengenalan yang mendalam akan kebesaran Allah SWT. Pulang dari haji, seseorang diharapkan menjadi pribadi yang lebih dalam jiwanya, lebih jernih niatnya, dan lebih lapang hatinya.
Haji: Miniatur Kehidupan
Ibadah haji merupakan miniatur kehidupan itu sendiri. Dimulai dengan niat yang tulus, diikuti dengan perjuangan, ujian, air mata, kebersamaan, dan akhirnya kembali ke rumah. Seperti kehidupan, haji adalah perjalanan dari Allah SWT, bersama Allah SWT, dan kembali kepada Allah SWT. Haji mengajarkan kita untuk menjalani hidup dengan ringan: hanya membawa yang perlu, hanya berkata yang baik, hanya melihat yang benar. Ia mengajarkan bahwa hidup ini adalah perjalanan suci, dan setiap kita adalah musafir yang akan kembali kepada-Nya.
Sebagai penulis yang berkesempatan menunaikan ibadah haji tahun ini, perjalanan ini menjadi puncak kerinduan kepada Allah SWT dan sekaligus ziarah kepada Nabi Muhammad SAW. Banyak kisah spiritual yang memperkaya pengalaman pribadi, termasuk cerita dari para jemaah lainnya. Ibadah haji mencerminkan kebeningan hati masing-masing, bagaimana kita mendekatkan diri dan berdialog dengan Allah SWT.
Penulis juga menyaksikan kerja keras penyelenggara ibadah haji, khususnya Kementerian Agama, dalam melayani para jemaah. Kendala-kendala teknis yang dihadapi diatasi dengan solusi yang tepat, serta adaptasi terhadap peraturan pemerintah Arab Saudi. Semoga penyelenggaraan haji dari tahun ke tahun semakin membaik.
Ibadah haji bukanlah sekadar kewajiban kelima dalam rukun Islam, tetapi panggilan untuk menyucikan jiwa, menata ulang orientasi hidup, dan mempersiapkan diri untuk perjumpaan abadi dengan Allah SWT.
(Dr. Hasan Chabibie)
(Staf Ahli Bidang Penguatan Ekosistem Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek; Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Depok)