Jakarta – Ayat kedua Surat An-Nur, surat ke-24 dalam Al-Qur’an yang bermakna "Cahaya" (merujuk pada ayat ke-35), menetapkan hukuman bagi pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan. Ayat ini, yang diturunkan di Madinah (golongan surat Madaniyah) dan terdiri dari 64 ayat, telah menjadi sumber interpretasi dan perdebatan panjang dalam konteks hukum Islam. Teks Arab, transliterasi Latin, dan terjemahannya sebagai berikut:
(Teks Arab, Transliterasi Latin, dan Terjemahan akan dimasukkan di sini jika tersedia teks Arab yang akurat dan terjemahan yang disepakati para ahli. Tanpa teks Arab yang benar, bagian ini akan sulit dipenuhi secara akurat.)
(Contoh penggantian jika teks Arab tidak tersedia): Di tempat ini seharusnya tercantum teks Arab asli Surat An-Nur ayat 2, transliterasinya dalam huruf Latin, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang akurat dan dipercaya kredibilitasnya oleh para ahli tafsir. Ketiadaan teks Arab asli membatasi kemampuan penulis untuk memberikan informasi yang lengkap dan akurat.)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan hukuman dera seratus kali bagi laki-laki dan perempuan yang terbukti melakukan zina. Namun, perdebatan mengenai penerapan hukuman ini, khususnya terkait dengan hukuman rajam (pelemparan dengan batu hingga mati), telah berlangsung selama berabad-abad dan terus menjadi isu kontroversial hingga saat ini.
Interpretasi Hukum Rajam: Perbedaan Pendapat Ulama
Interpretasi Surat An-Nur ayat 2 tidaklah seragam di kalangan ulama. Meskipun ayat tersebut secara jelas menyebutkan hukuman dera, banyak ulama berpendapat bahwa hukuman rajam merupakan hukuman tambahan atau bahkan hukuman utama bagi pelaku zina yang telah menikah (muhshan) dan berakal sehat (baligh). Pendapat ini didasarkan pada hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan hukuman rajam.
Namun, kelompok ulama lain memperdebatkan keabsahan hadis-hadis tersebut sebagai sumber hukum yang sahih dan mengutamakan teks Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama. Mereka berpendapat bahwa hukuman dera seratus kali sebagaimana tercantum dalam ayat tersebut sudah cukup dan hukuman rajam tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an. Perbedaan ini mencerminkan keragaman interpretasi dan metodologi dalam memahami dan menerapkan hukum Islam.
Hadis sebagai Sumber Hukum: Keabsahan dan Kritik
Perdebatan seputar hukuman rajam juga terkait erat dengan peran hadis sebagai sumber hukum Islam. Pendukung hukuman rajam mengacu pada sejumlah hadis yang menceritakan Nabi Muhammad SAW merajam pelaku zina yang telah menikah. Mereka menganggap hadis-hadis tersebut sebagai bukti otentik dan sah yang memperkuat penerapan hukuman rajam.
Namun, kritik terhadap penggunaan hadis sebagai dasar hukum rajam juga cukup signifikan. Para kritikus mempertanyakan keabsahan dan keotentikan beberapa hadis yang digunakan sebagai rujukan. Mereka menyorot potensi manipulasi dan penambahan pada teks hadis sepanjang sejarah transmisinya. Selain itu, mereka juga mempertanyakan konsistensi dan keadilan penerapan hukuman rajam dalam konteks hukum modern.
Konteks Sosial dan Budaya: Perubahan Zaman dan Interpretasi Hukum
Interpretasi dan penerapan hukum Islam, termasuk hukuman zina, tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan budaya. Apa yang dianggap relevan dan adil pada masa Nabi Muhammad SAW mungkin tidak sepenuhnya berlaku pada konteks masyarakat modern yang kompleks dan beragam. Faktor-faktor seperti perubahan nilai sosial, perkembangan ilmu pengetahuan, dan pemahaman hak asasi manusia perlu dipertimbangkan dalam reinterpretasi hukum-hukum agama.
Hukuman rajam, khususnya, sering dikritik karena dianggap kejam, tidak manusiawi, dan melanggar hak asasi manusia. Metode hukuman ini dianggap tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan modern yang menekankan rehabilitasi dan pemulihan, bukan hanya pembalasan. Oleh karena itu, banyak negara Muslim telah menghapuskan atau memodifikasi hukuman rajam dalam sistem hukum mereka.
Tafsir Al-Azhar dan Interpretasi Buya Hamka:
Buku Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, salah satu tokoh pemikir Islam terkemuka di Indonesia, menawarkan perspektif yang relevan dalam memahami konteks Surat An-Nur ayat 2. Buya Hamka mendefinisikan zina sebagai segala bentuk persetubuhan di luar ikatan pernikahan yang sah. Ia menekankan pentingnya memahami konteks sosial dan budaya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Meskipun Buya Hamka mengakui adanya hadis-hadis yang menyebutkan hukuman rajam, ia juga menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek keadilan dan hikmah dalam penerapan hukum. Ia tidak secara eksplisit mendukung atau menolak hukuman rajam, namun ia menekankan pentingnya pendekatan yang bijaksana dan berimbang dalam menafsirkan dan menerapkan hukum Islam.
Kesimpulan: Tantangan Interpretasi dan Implementasi Hukum Islam Modern
Surat An-Nur ayat 2 dan perdebatan seputar hukuman rajam merupakan contoh nyata dari tantangan dalam menginterpretasi dan mengimplementasikan hukum Islam di era modern. Perbedaan pendapat di kalangan ulama, kritik terhadap hadis sebagai sumber hukum, dan perubahan konteks sosial dan budaya menuntut pendekatan yang lebih komprehensif dan kritis dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum agama.
Ke depan, diperlukan dialog dan diskusi yang lebih intensif antara para ulama, ahli hukum, dan aktivis hak asasi manusia untuk mencari solusi yang lebih adil, manusiawi, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan modern. Penting untuk diingat bahwa tujuan utama hukum Islam adalah untuk menegakkan keadilan, melindungi hak-hak individu, dan membangun masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Oleh karena itu, interpretasi dan implementasi hukum Islam harus selalu dikaji ulang dan disesuaikan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Hukuman, apapun bentuknya, haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan proporsionalitas, menghindari tindakan yang kejam dan tidak manusiawi. Perdebatan seputar Surat An-Nur ayat 2 dan hukuman rajam akan terus berlanjut, mencerminkan kompleksitas dan dinamika dalam memahami dan menerapkan ajaran agama dalam konteks masyarakat yang terus berkembang.