Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Wudhu, sebagai salah satu rukun sah salat, menjadi perhatian utama bagi umat Muslim. Kebersihan diri sebelum menunaikan ibadah shalat merupakan kewajiban yang ditekankan dalam ajaran Islam. Hadits riwayat Ibnu Umar RA, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menegaskan pentingnya kesucian ini: "Allah tidak menerima salat seseorang tanpa bersuci dan tidak menerima sedekah dari hasil ghulul." Hadits ini menggarisbawahi betapa krusialnya wudhu yang sesuai syariat dalam menjamin kesempurnaan ibadah. Hadits lain dari Abu Sa’id Al-Khudri, yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, menyatakan, "Kunci salat adalah bersuci, tahrim (pembuka)nya adalah takbir dan tahlil (penutup)nya adalah salam." Kedua hadits ini secara tegas menempatkan wudhu sebagai fondasi utama dalam pelaksanaan salat.
Wudhu, sebagai bagian dari thaharah (bersuci), mengharuskan penggunaan air yang suci dan mensucikan. Dalam konteks ini, pemahaman mengenai jenis air yang diperbolehkan menjadi penting. Mengacu pada berbagai kitab fikih, seperti "125 Masalah Thaharah" karya Muhammad Anis Sumaji, air mutlak didefinisikan sebagai air yang secara zatnya suci dan mampu menyucikan. Kriteria ini mencakup berbagai sumber air, antara lain air hujan, air sumur, air sungai, air laut, air salju, dan air kolam.
Pertanyaan mengenai penggunaan air mineral dalam wudhu kerap muncul di tengah masyarakat. Air mineral, yang umum dikonsumsi sehari-hari, sesungguhnya termasuk dalam kategori air mutlak. Buku "125 Masalah Thaharah" menjelaskan bahwa air mineral pada dasarnya adalah air biasa yang telah melalui proses pengolahan, seperti penyinaran dengan ozon atau ultraviolet. Proses ini bertujuan untuk membebaskan air dari bakteri dan kontaminan lainnya, sehingga aman untuk dikonsumsi.
Berbagai merek air mineral yang beredar di pasaran umumnya bersumber dari air tanah, mata air pegunungan, air hujan, atau bahkan air laut yang telah melalui proses penyaringan dan penjernihan hingga menjadi air tawar. Proses pengolahan ini, selama tidak melibatkan pencampuran zat najis, tidak mengubah hukum asal air tersebut. Air mineral tetap tergolong air mutlak, suci dan mensucikan, sesuai dengan hukum asal air.
Pandangan ini sejalan dengan ayat suci Al-Quran, Surat Al-Anfal ayat 11, yang menyebutkan tentang turunnya hujan sebagai rahmat Allah untuk mensucikan dan menghilangkan gangguan syaitan. Ayat ini secara implisit menunjukkan kesucian air hujan, yang kemudian dapat dianalogikan dengan air mineral yang pada dasarnya berasal dari sumber-sumber air yang suci. Meskipun telah melalui proses pengolahan, esensi air mineral tetaplah air, yang secara fitrahnya suci dan mensucikan.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ustadz Abdul Somad dalam buku "Ustadz Abdul Somad Menjawab". Beliau menyatakan bahwa air mineral dapat digunakan untuk wudhu selama tidak mengalami perubahan warna, rasa, dan bau. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan sifat air yang signifikan dapat mempengaruhi hukum kesuciannya. Namun, proses pengolahan air mineral yang umum dilakukan tidak sampai mengubah sifat-sifat dasar air tersebut.
Jumlah Air yang Diperlukan untuk Wudhu
Selain jenis air, jumlah air yang digunakan untuk wudhu juga menjadi pertimbangan penting. Berbeda dengan sumber air yang melimpah, air mineral umumnya tersedia dalam kemasan dengan volume terbatas. Namun, hal ini tidak menjadi penghalang dalam pelaksanaan wudhu yang sah. Syariat Islam tidak mensyaratkan penggunaan air dalam jumlah yang berlebihan.
Hadits riwayat Anas bin Malik RA, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, menyebutkan bahwa Rasulullah SAW berwudhu dengan satu mud air. Satu mud setara dengan sekitar 625 mililiter. Jumlah ini cukup untuk memenuhi syarat sah wudhu. Hadits ini menunjukkan kesederhanaan dan efisiensi dalam penggunaan air yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan untuk mandi wajib, Rasulullah SAW hanya menggunakan empat mudd (sekitar 2,5 liter) air.
Hadits lain dari Abdullah bin Umar RA, yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, menceritakan kisah Rasulullah SAW yang menegur Sa’ad karena terlalu boros dalam berwudhu. Rasulullah SAW bersabda, "Alangkah borosnya wudhumu itu hai Sa’ad." Sa’ad bertanya, "Apakah di dalam berwudhu ada pemborosan?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya, meskipun kamu berada di sungai yang mengalir." Hadits ini menekankan pentingnya efisiensi dan menghindari pemborosan air, meskipun sumber air melimpah.
Kesimpulannya, penggunaan air mineral untuk wudhu diperbolehkan dalam syariat Islam, selama air tersebut tidak berubah warna, rasa, dan baunya secara signifikan. Proses pengolahan yang umum dilakukan pada air mineral tidak mengubah hukum asal air sebagai air mutlak yang suci dan mensucikan. Jumlah air yang dibutuhkan untuk wudhu juga tidak perlu berlebihan, cukup dengan sekitar 625 mililiter, sesuai dengan contoh yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Penting untuk selalu mengutamakan efisiensi dan menghindari pemborosan air dalam setiap aktivitas, termasuk berwudhu, sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan kesederhanaan dan kehematan. Dengan demikian, umat Muslim dapat menunaikan ibadah wudhu dengan tenang dan terbebas dari keraguan, menggunakan air mineral yang mudah diakses di kehidupan modern. Yang terpenting adalah niat yang ikhlas dan kesungguhan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan syariat.