Jakarta – Di era modern yang serba instan, tuntutan akan kecantikan dan penampilan prima semakin menggema. Industri kecantikan pun berlomba-lomba menawarkan berbagai inovasi, salah satunya adalah sulam alis. Prosedur semi-permanen ini menjanjikan alis yang tebal, rapi, dan sempurna, membuatnya menjadi primadona di kalangan wanita. Namun, di tengah gemerlap tren kecantikan, penting bagi umat Islam untuk menyaringnya melalui kaca mata syariat. Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana hukum sulam alis dalam Islam? Kajian mendalam diperlukan untuk memahami kompleksitas isu ini.
Sulam alis, secara teknis, merupakan proses penanaman pigmen warna ke lapisan dermis kulit di area alis. Tujuannya jelas: memodifikasi bentuk dan warna alis untuk meningkatkan penampilan. Namun, modifikasi tubuh, khususnya yang bersifat permanen atau semi-permanen, menimbulkan perdebatan fikih yang cukup kompleks. Pandangan ulama berbeda-beda, sebagian besar berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar Islam yang menekankan keseimbangan antara tuntutan duniawi dan akhirat.
Salah satu landasan utama dalam membahas hukum sulam alis adalah prinsip menjaga keutuhan ciptaan Allah SWT. Al-Quran surat At-Tin ayat 4 dengan tegas menyatakan, “laqad khalaqnal-insana fi ahsanitaqwim,” yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Ayat ini seringkali diinterpretasikan sebagai larangan untuk mengubah ciptaan Allah secara sembarangan. Namun, interpretasi ini memerlukan konteks dan penafsiran yang lebih rinci.
Lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui laman resminya, menjelaskan bahwa perubahan terhadap ciptaan Allah diperbolehkan jika bertujuan untuk kemaslahatan dan kebutuhan yang mendesak. Contohnya, perbaikan bibir sumbing untuk memudahkan berbicara, atau pemasangan gigi palsu untuk membantu proses makan dan berbicara. Dalam kasus ini, modifikasi tubuh bertujuan untuk memperbaiki fungsi organ dan meningkatkan kualitas hidup, bukan sekadar untuk estetika.
Sulam alis, berbeda dengan contoh di atas. Meskipun dapat meningkatkan kepercayaan diri dan penampilan, tujuan utamanya bukanlah untuk memperbaiki fungsi organ tubuh. Modifikasi ini semata-mata didorong oleh keinginan untuk memenuhi standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, sulam alis dapat diinterpretasikan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap karunia Allah SWT, sekaligus kurang bersyukur atas ciptaan-Nya yang sempurna. Hal ini tentu bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan.
Selain aspek rasa syukur, prosedur sulam alis juga menimbulkan beberapa pertimbangan lain. Proses sulam alis melibatkan penusukan jarum ke kulit, yang berpotensi menimbulkan risiko infeksi dan masalah kesehatan lainnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 195 yang berbunyi, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” Ayat ini dapat dimaknai sebagai larangan untuk melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri, termasuk tindakan yang berpotensi menimbulkan risiko kesehatan.
Lebih lanjut, pigmen yang digunakan dalam sulam alis juga perlu diperhatikan. Beberapa pigmen mengandung bahan kimia yang belum tentu halal dan suci. Penggunaan bahan yang najis (tidak suci) pada tubuh jelas dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, penting untuk memastikan kehalalan dan kesucian bahan-bahan yang digunakan dalam prosedur sulam alis.
Perlu juga dibedakan antara sulam alis dengan tindakan lain yang berkaitan dengan perawatan alis, seperti mencabut atau mencukur alis. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menyebutkan, “Telah dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya, wanita yang mencabut alis dan yang minta untuk dicabut alisnya, wanita yang mentato dan yang minta untuk ditato, tanpa ada penyakit.” Hadits ini menunjukkan bahwa mencabut atau mencukur alis tanpa alasan yang dibenarkan, hanya untuk tujuan estetika, merupakan tindakan yang tercela dan bahkan dilaknat.
Namun, perlu ditekankan bahwa hadits tersebut memiliki pengecualian. Jika mencabut atau mencukur alis dilakukan karena alasan medis, seperti adanya rambut yang tumbuh tidak teratur atau kondisi medis lainnya yang mengganggu, maka hal tersebut diperbolehkan. Intinya, tujuan tindakan tersebut haruslah untuk kesehatan dan kenyamanan, bukan semata-mata untuk mempercantik diri.
Kesimpulannya, hukum sulam alis dalam Islam masih menjadi perdebatan dan memerlukan kajian lebih mendalam. Meskipun tidak ada larangan eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah, tindakan ini dapat menimbulkan beberapa pertimbangan fikih yang perlu dipertimbangkan. Dari sudut pandang kehati-hatian, sulam alis lebih cenderung dihukumi makruh (tidak dianjurkan) karena berpotensi melanggar prinsip menjaga keutuhan ciptaan Allah, risiko kesehatan, dan penggunaan bahan yang belum tentu halal.
Umat Islam dianjurkan untuk senantiasa berhati-hati dan bijak dalam memilih perawatan kecantikan. Prioritaskan perawatan yang aman, halal, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kecantikan sejati bukanlah sekadar penampilan fisik yang sempurna, melainkan kecantikan hati dan akhlak yang mulia. Lebih baik berfokus pada peningkatan kualitas diri secara menyeluruh, baik lahir maupun batin, daripada terjebak dalam tuntutan estetika yang berlebihan dan berpotensi menimbulkan masalah. Konsultasi dengan ulama atau ahli fikih yang terpercaya sangat disarankan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Ingatlah bahwa menjaga kesucian dan keutuhan tubuh merupakan amanah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.