Bulan Syaban, bulan yang mulia di antara Rajab dan Ramadan, kerap diwarnai dengan amalan sunnah puasa. Rasulullah SAW sendiri dikenal memperbanyak puasa sunnah di bulan ini, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits shahih. Aisyah RA meriwayatkan, "Nabi SAW tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Syaban. Nabi SAW biasa berpuasa pada bulan Syaban seluruhnya." (HR Bukhari). Hadits lain dari Ummu Salamah juga menguatkan hal ini: "Nabi SAW dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Syaban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadan." (HR Abu Daud dan Nasai). Teladan Rasulullah SAW ini menjadi pendorong bagi umat Islam untuk mencontoh keutamaan berpuasa di bulan Syaban. Namun, perlu dipahami bahwa terdapat perbedaan pendapat dan pertimbangan syariat terkait puasa di akhir bulan Syaban, khususnya menjelang Ramadan.
Praktik berpuasa di bulan Syaban, meskipun dianjurkan, harus dijalankan dengan pemahaman yang komprehensif terhadap hukum Islam. Bukan sekadar mengikuti amalan tanpa memahami konteks dan batasannya. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah larangan berpuasa di penghujung Syaban, tepatnya satu atau dua hari sebelum masuknya bulan Ramadan. Hal ini bukan berarti sepenuhnya melarang puasa di akhir Syaban, melainkan menekankan pentingnya kehati-hatian agar tidak terjadi tumpang tindih antara puasa sunnah Syaban dengan puasa wajib Ramadan.
Buku "Memantaskan Diri Menyambut Bulan Ramadhan: Panduan Lengkap Menyambut Bulan Ramadhan dari Sebelum Ramadhan Sampai Setelahnya" karya Abu Maryam Kautsar Amru menjelaskan pandangan sebagian ulama yang kurang menganjurkan puasa di tanggal 29 atau 30 Syaban, kecuali bagi mereka yang telah terbiasa berpuasa secara rutin. Alasan utama larangan ini adalah untuk menghindari kemungkinan tercampurnya niat puasa sunnah dengan puasa wajib Ramadan. Bayangkan skenario di mana seseorang berpuasa pada tanggal 29 Syaban, namun ternyata hilal telah terlihat dan Ramadan telah dimulai. Dalam kondisi tersebut, puasa yang dilakukannya menjadi tidak sah sebagai puasa sunnah Syaban, dan juga belum memenuhi syarat sebagai puasa Ramadan karena niatnya yang keliru.
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA menegaskan hal ini: "Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadan kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa, maka bolehlah ia berpuasa." (HR Muslim dan Bukhari). Hadits lain dari Rasulullah SAW juga menyebutkan: "Jika telah memasuki setengah akhir bulan Syaban, maka janganlah berpuasa sehingga datang bulan Ramadan." (HR Ibnu Majah). Kedua hadits ini memberikan panduan yang jelas tentang pentingnya kehati-hatian dalam berpuasa di penghujung Syaban.
Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan adalah konsep "hari syak". Seperti dijelaskan dalam buku "Tuntunan Ibadah Ramadan dan Hari Raya" karya R. Syamsul B, hari syak merujuk pada tanggal 30 Syaban, di mana masih ada keraguan mengenai masuknya bulan Ramadan. Pada hari ini, belum ada kepastian mengenai terlihatnya hilal, penanda awal bulan Ramadan. Oleh karena itu, berpuasa pada hari syak memiliki potensi untuk keliru, baik sebagai puasa sunnah Syaban maupun puasa wajib Ramadan.
Hadits riwayat Amar bin Yasar RA dari Rasulullah SAW menjelaskan larangan berpuasa pada hari syak: "Barang siapa berpuasa pada hari yang manusia meragukannya (hari syak), maka dia telah bermaksiat terhadap Abul Qasim (Rasulullah) SAW." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Hadits ini menekankan bahwa berpuasa pada hari yang masih diragukan statusnya sebagai Syaban atau Ramadan merupakan tindakan yang tidak dianjurkan dan bahkan bisa dianggap bermaksiat.
Kesimpulannya, berpuasa di bulan Syaban merupakan amalan sunnah yang dianjurkan, mengikuti teladan Rasulullah SAW. Namun, perlu adanya kehati-hatian dan pemahaman yang mendalam terhadap hukum Islam, khususnya mengenai larangan berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadan, serta perhatian terhadap konsep "hari syak". Larangan ini bukan untuk membatasi amalan sunnah, melainkan untuk mencegah kesalahan dan kekhilafan dalam menjalankan ibadah puasa, menjaga kesucian ibadah puasa Ramadan, dan menghindari potensi pelanggaran syariat. Umat Islam dianjurkan untuk senantiasa mencari informasi yang akurat dan memahami konteks hadits serta fatwa ulama yang kredibel sebelum menjalankan amalan keagamaan. Wallahu a’lam bishawab. (Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi dan tidak dimaksudkan sebagai fatwa keagamaan). Konsultasi dengan ulama atau ahli agama yang terpercaya sangat disarankan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan akurat.