Penggunaan kulit hewan dalam berbagai produk manufaktur telah lazim dilakukan manusia sejak zaman dahulu. Namun, status kesucian dan kehalalannya seringkali menimbulkan pertanyaan, terutama mengingat tidak semua hewan yang kulitnya digunakan tergolong halal dalam pandangan Islam. Perbedaan status kehalalan hewan sumber kulit, mulai dari hewan halal yang disembelih sesuai syariat hingga hewan haram seperti bangkai atau hewan buas, membutuhkan kajian mendalam untuk menentukan hukum penggunaan produk-produk berbahan dasar kulit tersebut. Artikel ini akan mengkaji secara komprehensif hukum penggunaan barang-bahan yang terbuat dari kulit hewan berdasarkan perspektif fikih Islam, merujuk pada dalil-dalil naqli dan pendapat para ulama.
Dasar Hukum dan Kaidah Fikih:
Hukum asal dalam Islam adalah kebolehan (mubah). Kaidah fikih al-ashlu fi al-asyya’i al-ibahah (sesuatu itu pada dasarnya halal) menjadi landasan utama dalam membahas permasalahan ini. Selama suatu benda memberikan manfaat dan tidak mengandung bahaya atau mudharat, maka penggunaannya diperbolehkan. Kulit hewan, sebagai bahan baku yang bermanfaat dalam berbagai aspek kehidupan, pada dasarnya termasuk kategori ini. Namun, kehalalannya bergantung pada beberapa faktor penting, terutama asal-usul hewan dan proses pengolahan kulit tersebut.
Penggunaan Kulit Hewan Halal:
Kulit hewan yang berasal dari hewan halal dan disembelih sesuai syariat Islam, seperti sapi, kambing, unta, dan domba, dianggap suci dan penggunaannya diperbolehkan tanpa syarat. Tidak diperlukan proses khusus selain proses penyamakan yang umum dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan daya tahan kulit. Proses penyamakan ini bertujuan untuk menghilangkan bau, mencegah pembusukan, dan menjadikan kulit lebih awet dan layak pakai.
Penggunaan Kulit Bangkai Hewan Halal:
Status kulit bangkai hewan halal (seperti sapi, kambing, unta, yang mati tanpa disembelih) menjadi lebih kompleks. Meskipun hewannya sendiri halal dikonsumsi, status bangkainya menjadi najis. Namun, para ulama sepakat bahwa setelah melalui proses penyamakan yang memadai, kulit bangkai tersebut menjadi suci dan penggunaannya dibolehkan. Pendapat ini didukung oleh beberapa hadits Nabi Muhammad SAW.
Hadits riwayat Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 838) menyebutkan, "Jika kulit bangkai telah disamak, hukumnya telah suci." Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4128) dan An-Nasa’i (no. 4248) menceritakan kisah Rasulullah SAW yang memerintahkan pengambilan kulit kambing yang mati, serta menjelaskan bahwa kulit tersebut akan disucikan melalui proses penyamakan. Hadits-hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa proses penyamakan mampu menghilangkan najis pada kulit bangkai hewan halal, sehingga menjadikannya suci dan layak digunakan.
Penggunaan Kulit Bangkai Hewan Haram (Selain Anjing dan Babi):
Permasalahan menjadi lebih rumit ketika membahas penggunaan kulit bangkai hewan yang haram dikonsumsi, kecuali anjing dan babi. Hewan-hewan seperti rubah, buaya, ular berbisa, dan beberapa jenis hewan buas lainnya termasuk dalam kategori ini. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai status kesucian kulit hewan-hewan ini setelah disamak.
Namun, pendapat yang lebih kuat, khususnya dari mazhab Hanafi dan Syafi’i, menyatakan bahwa kulit hewan haram tersebut menjadi suci setelah melalui proses penyamakan yang sempurna. Pendapat ini didukung oleh hadits-hadits yang menjelaskan kesucian kulit bangkai setelah disamak, tanpa membedakan secara spesifik jenis hewannya. Hadits riwayat At-Tirmidzi (no. 1728) dan An-Nasa’i (no. 4241) menyatakan, "Kulit bangkai yang telah disamak menjadi suci." Hadits lain dari An-Nasa’i (no. 4243) menjelaskan bahwa proses penyamakan tersebut dianggap setara dengan proses penyembelihan dalam konteks mensucikan kulit.
Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa beberapa hadits juga menyebutkan larangan penggunaan kulit hewan buas sebelum disamak. Hadits riwayat Abu Dawud (no. 4131) menunjukkan larangan tersebut. Namun, para ulama menjelaskan bahwa larangan ini lebih menekankan pada aspek penggunaan kulit yang belum diolah dan mungkin juga terkait dengan konteks sosial, seperti penggunaan kulit hewan buas sebagai simbol kemewahan atau kesombongan. Imam Asy-Syaukani, misalnya, menjelaskan bahwa larangan tersebut bisa berkaitan dengan kulit yang belum disamak atau penggunaan kulit tersebut untuk tujuan yang tidak baik, seperti meniru kebiasaan orang sombong atau para pemboros.
Kulit Anjing dan Babi:
Kulit anjing dan babi, serta turunannya, merupakan pengecualian. Meskipun telah melalui proses penyamakan, kedua jenis kulit ini tetap dihukumi haram dan najis. Hal ini dikarenakan kedua hewan tersebut secara inheren dianggap najis dalam Islam, dan kulitnya tetap membawa sifat najis tersebut meskipun telah diolah. Penggunaan produk-produk yang terbuat dari kulit anjing dan babi, karenanya, diharamkan.
Peran Proses Penyamakan:
Proses penyamakan memegang peranan krusial dalam menentukan status kesucian kulit. Hadits-hadits Nabi SAW menyebutkan penggunaan bahan-bahan alami seperti "syats" dan "qarazh" (daun-daunan tertentu) dalam proses penyamakan. Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir dari istilah-istilah tersebut.
Abu Hanifah menafsirkan "syats" dan "qarazh" sebagai proses pembersihan dan pengeringan kulit dengan bahan-bahan yang mampu membersihkan dan mengeringkan kulit secara efektif. Sementara Imam Syafi’i menafsirkan "syats" dan "qarazh" sebagai proses yang meliputi empat tahapan: pengeringan kotoran luar dan pembasahan bagian dalam kulit; penghilangan bau busuk dan anyir; perubahan nama kulit dari "ihab" (kulit mentah) menjadi "adiim" atau "as-sibt" (kulit yang telah disamak); dan kulit tetap dalam kondisi semula setelah proses penggunaan.
Intinya, proses penyamakan yang memadai harus mampu menghilangkan najis, bau busuk, dan sifat-sifat yang tidak suci dari kulit. Proses ini harus dilakukan dengan bahan-bahan yang halal dan suci.
Kesimpulan:
Penggunaan barang-barang yang terbuat dari kulit hewan dalam perspektif Islam pada dasarnya dibolehkan, kecuali kulit anjing dan babi. Kehalalannya bergantung pada asal-usul hewan dan proses penyamakan. Kulit hewan halal yang disembelih sesuai syariat dibolehkan langsung digunakan. Kulit bangkai hewan halal dan hewan haram (kecuali anjing dan babi) menjadi suci setelah disamak dengan proses yang memadai. Proses penyamakan harus dilakukan secara sempurna untuk menghilangkan najis dan bau yang tidak sedap. MUI dan para ulama menekankan pentingnya memastikan kehalalan dan kesucian seluruh proses, dari asal hewan hingga proses penyamakan dan pengolahan akhir. Konsumen juga perlu waspada dan teliti dalam memilih produk-produk berbahan kulit hewan untuk memastikan kehalalan dan kesuciannya.