Hukum memelihara anjing dalam Islam merupakan isu yang kerap memicu perdebatan di kalangan umat Muslim. Perbedaan interpretasi terhadap hadits Nabi Muhammad SAW dan pandangan beragam di antara para ulama dari berbagai mazhab telah menciptakan kerancuan pemahaman. Artikel ini akan mengupas tuntas hukum memelihara anjing, merujuk pada hadits shahih, pendapat ulama terkemuka, serta konteks historis dan sosial yang relevan, untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan seimbang.
Hadits sebagai Landasan Hukum:
Salah satu rujukan utama dalam membahas hukum memelihara anjing adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadits ini menekankan pengurangan pahala bagi mereka yang memelihara anjing tanpa alasan syar’i. Redaksi hadits tersebut, meskipun bervariasi dalam beberapa riwayat, secara umum bermakna bahwa memelihara anjing selain untuk tujuan-tujuan tertentu akan mengurangi pahala pemiliknya setiap hari. Rumusan yang sering dikutip adalah: "Barang siapa yang memelihara anjing, kecuali untuk menjaga ternak, berburu, atau menjaga pertanian, maka setiap harinya akan berkurang pahalanya dua qirath."
Interpretasi terhadap hadits ini menjadi kunci perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan tersebut tidak hanya terletak pada pemahaman makna "pengurangan pahala," tetapi juga pada penafsiran jenis-jenis pengecualian yang dibenarkan. Apakah pengecualian hanya terbatas pada tiga yang disebutkan dalam hadits (menjaga ternak, berburu, dan menjaga pertanian), atau apakah mencakup tujuan-tujuan lain yang memiliki kemaslahatan serupa? Pertanyaan ini menjadi titik sentral perdebatan.
Kenajisan Anjing dan Implikasinya:
Selain hadits mengenai pengurangan pahala, aspek kenajisan anjing juga menjadi pertimbangan penting. Air liur anjing secara umum dianggap najis mughallazah (najis berat) dalam sebagian besar pandangan fikih. Hal ini menimbulkan tantangan bagi mereka yang memelihara anjing, khususnya dalam menjaga kebersihan dan kesucian diri dan lingkungan. Keharusan membersihkan diri dan benda yang terkena najis anjing menjadi beban tambahan yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, memelihara anjing tidak hanya terkait dengan aspek hukumnya semata, tetapi juga dengan aspek praktis dalam menjalankan ibadah dan menjaga kesucian.
Pandangan Ulama dari Berbagai Mazhab:
Perbedaan pendapat mengenai hukum memelihara anjing terlihat jelas dalam pandangan ulama dari berbagai mazhab. Berikut ini akan diuraikan pandangan dari dua mazhab yang paling berpengaruh:
1. Mazhab Syafi’i:
Mazhab Syafi’i, salah satu mazhab yang paling banyak pengikutnya, cenderung berhati-hati dalam hal memelihara anjing. Imam Nawawi, ulama besar mazhab Syafi’i, dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, menjelaskan bahwa memelihara anjing tanpa keperluan khusus dianggap haram. Namun, terdapat pengecualian yang dibenarkan, yaitu untuk tujuan berburu, menjaga ternak, dan menjaga pertanian. Terkait dengan memelihara anjing untuk tujuan lain, seperti menjaga rumah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi’i.
Sebagian ulama Syafi’i berpendapat bahwa memelihara anjing untuk tujuan selain tiga yang disebutkan dalam hadits tetap dilarang, karena hadits tersebut secara tegas melarang kecuali untuk tiga tujuan tersebut. Pendapat ini menekankan pada literalitas hadits. Namun, sebagian ulama lain berpendapat bahwa diperbolehkan memelihara anjing untuk tujuan lain yang memiliki kemaslahatan yang sejalan dengan tiga tujuan yang disebutkan dalam hadits. Pendapat ini menggunakan analogi (qiyas) dan berfokus pada hikmah di balik hadits tersebut, yaitu adanya keperluan khusus yang membenarkan pemeliharaan anjing. Perbedaan pendapat ini menunjukkan adanya ruang interpretasi dalam mazhab Syafi’i sendiri.
2. Mazhab Maliki:
Mazhab Maliki memiliki pandangan yang relatif lebih longgar dibandingkan dengan Mazhab Syafi’i. Imam Malik, pendiri mazhab ini, dijelaskan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar, menyatakan bahwa memelihara anjing dibolehkan untuk berbagai keperluan, termasuk menjaga ternak, berburu, dan pertanian. Namun, terdapat juga pendapat lain dalam mazhab Maliki yang hanya membolehkan memelihara anjing untuk berburu dan menjaga ternak, merujuk pada pendapat sahabat Ibnu Umar dan beberapa hadits lain.
Ibnu Abdil Barr juga menjelaskan bahwa larangan memelihara anjing dalam hadits tidak selalu bermakna haram, melainkan lebih kepada makruh (dibenci). Pengurangan pahala yang disebutkan dalam hadits dianggap sebagai peringatan dan bukan sebagai larangan mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa mazhab Maliki lebih menekankan pada konteks dan hikmah di balik hadits, dibandingkan dengan pendekatan literal semata.
Kesimpulan dan Rekomendasi:
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum memelihara anjing dalam Islam bukanlah suatu hal yang sederhana dan memiliki berbagai interpretasi. Tidak ada konsensus tunggal di kalangan ulama. Perbedaan pendapat tersebut muncul karena perbedaan pendekatan dalam menafsirkan hadits dan mengaplikasikan kaidah-kaidah fikih. Mazhab Syafi’i cenderung lebih ketat, sementara Mazhab Maliki lebih fleksibel.
Bagi seorang muslim yang ingin memelihara anjing, penting untuk memahami berbagai pendapat ulama dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan pemahaman dan keyakinannya. Namun, yang terpenting adalah senantiasa berhati-hati dan menghindari hal-hal yang dapat mengurangi pahala. Jika memelihara anjing, pastikan tujuannya jelas dan sesuai dengan syariat, seperti untuk menjaga ternak, berburu, atau menjaga pertanian. Selain itu, perlu dijaga kebersihan dan kesucian diri dan lingkungan dari najis anjing.
Penting untuk diingat bahwa pemahaman dan penerapan hukum Islam harus selalu didasarkan pada pemahaman yang komprehensif dan rujukan kepada sumber-sumber yang sahih. Konsultasi dengan ulama yang berkompeten sangat dianjurkan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detail dan sesuai dengan konteks masing-masing individu. Menghindari sikap ekstrim dan saling menghujat antar sesama muslim dalam perbedaan pendapat terkait hal ini juga sangat penting untuk menjaga ukhuwah Islamiyah. Yang terpenting adalah menjaga niat yang baik dan senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.