Islam, agama yang mengajarkan kasih sayang kepada seluruh makhluk ciptaan Allah SWT, termasuk hewan dan tumbuhan, menunjukkan pengecualian dalam hal perlakuan terhadap dua jenis ular spesifik. Hadits Rasulullah SAW secara tegas memerintahkan pembunuhan terhadap ular-ular tersebut, sebuah perintah yang memicu perdebatan dan interpretasi beragam di kalangan umat Islam hingga saat ini. Pemahaman yang komprehensif terhadap hukum ini memerlukan analisis mendalam terhadap redaksi hadits, konteks historis, dan berbagai pandangan ulama.
Hadits yang menjadi rujukan utama terkait larangan ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Redaksi hadits tersebut secara ringkas menyebutkan: "Bunuhlah ular, dan bunuhlah ular yang di punggungnya ada dua garis putih, dan ular pendek. Karena kedua ular itu menghapus (membutakan) pandangan dan menggugurkan kandungan." (HR Bukhari). Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, yang menyebutkan sabda Nabi SAW: "Bunuhlah ular dan anjing. Apalagi ular yang di punggungnya ada dua garis putih serta ular yang ekornya buntung. Sebab, kedua jenis ular itu bisa membutakan mata dan menggugurkan kandungan." (HR Muslim).
Kedua hadits tersebut mengidentifikasi dua jenis ular yang menjadi sasaran perintah pembunuhan: ular dengan dua garis putih di punggungnya (disebut dzu ath-thifyatain) dan ular pendek atau buntung (al-abtar). Kitab Al-Lu’lu’ wal Marjan karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, yang diterjemahkan oleh Ahmad Fadhil, menjelaskan lebih lanjut mengenai ciri-ciri ular tersebut. Ular dzu ath-thifyatain dengan jelas diidentifikasi dari dua garis putih di punggungnya. Sementara itu, al-abtar, menurut An-Nadhr bin Syimail, berwarna biru dan memiliki ekor yang pendek, kurang dari satu hasta (sekitar 45 cm atau kurang).
Alasan Pembunuhan: Ancaman Kesehatan dan Keselamatan
Alasan utama yang dikemukakan dalam hadits untuk membenarkan pembunuhan kedua jenis ular tersebut adalah potensi bahaya yang ditimbulkannya terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Hadits menyebutkan kemampuan ular-ular ini untuk "menghapus pandangan" (membutakan mata) dan "menggugurkan kandungan." Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Mukhtashar Shahih Muslim, mengutip pendapat Az-Zuhri, menjelaskan bahwa kemampuan tersebut berkaitan dengan racun atau bisa ular yang mematikan. Bisa ular memang diketahui dapat menyebabkan kebutaan, gangguan sistem saraf, dan bahkan kematian jika tidak ditangani dengan tepat. Potensi keguguran kandungan, menurut beberapa interpretasi, tidak hanya disebabkan oleh bisa ular secara langsung, tetapi juga karena reaksi psikologis wanita hamil yang mengalami ketakutan saat melihat ular tersebut. Ketakutan yang ekstrem dapat memicu reaksi fisiologis yang berdampak buruk pada kehamilan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa interpretasi terhadap hadits ini beragam. Beberapa ulama berpendapat bahwa perintah pembunuhan hanya berlaku untuk dua jenis ular spesifik yang disebutkan dalam hadits, bukan semua jenis ular. Perintah ini perlu dipahami dalam konteks zaman Rasulullah SAW, di mana pengetahuan tentang jenis-jenis ular dan bahayanya masih terbatas. Di era modern, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, identifikasi dan klasifikasi ular jauh lebih akurat. Oleh karena itu, penerapan hadits ini perlu disesuaikan dengan konteks kekinian dan pengetahuan ilmiah terkini. Umat Islam dianjurkan untuk berhati-hati dan bijak dalam menafsirkan dan mengaplikasikan hadits ini, menghindari tindakan yang dapat merugikan keseimbangan ekosistem.
Larangan Membunuh Ular di Rumah: Perspektif Lain
Di sisi lain, terdapat hadits yang melarang pembunuhan ular di dalam rumah. Hadits ini, seperti yang dijelaskan oleh Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar dalam Alam al-Malaikah al-Abrar & Alam al-Jinn wa asy-Syayathin, mengungkapkan kekhawatiran bahwa ular tersebut mungkin merupakan jin yang telah memeluk Islam dan berubah wujud. Kepercayaan terhadap kemampuan jin untuk berubah bentuk menjadi hewan, termasuk ular, merupakan bagian dari kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam dan masih diyakini oleh sebagian umat Islam hingga saat ini. Hadits ini menekankan pentingnya memberikan peringatan sebanyak tiga kali sebelum membunuh ular yang ditemukan di rumah. Jika ular tersebut tetap berada di rumah setelah diberi peringatan, maka diperbolehkan untuk membunuhnya karena dianggap sebagai ancaman. Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri RA yang diriwayatkan oleh Muslim mendukung pandangan ini: "Sesungguhnya ada sekelompok jin di Madinah yang telah masuk Islam. Maka, barang siapa melihat salah satu dari para ‘awamir (jin penghuni rumah; berwujud ular), berilah peringatan sebanyak tiga kali, jika setelah itu masih kelihatan (ular) hendaklah ia membunuhnya, karena itu adalah setan." (HR Muslim).
Namun, perlu dicatat bahwa beberapa ulama berpendapat bahwa hadits ini hanya berlaku untuk ular yang ditemukan di Madinah pada masa Rasulullah SAW, bukan untuk semua wilayah dan kondisi. Perbedaan interpretasi ini menunjukkan kompleksitas dan nuansa dalam memahami hukum Islam terkait hewan, khususnya ular.
Kesimpulan: Keseimbangan antara Hukum dan Etika Lingkungan
Perintah membunuh dua jenis ular spesifik dalam hadits perlu diinterpretasikan secara bijak dan proporsional. Meskipun hadits tersebut memberikan dasar hukum untuk membunuh ular yang dianggap berbahaya, penting untuk mempertimbangkan konteks historis, pengetahuan ilmiah terkini, dan prinsip-prinsip etika lingkungan. Pembunuhan ular tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan tanpa alasan yang jelas. Identifikasi yang akurat terhadap jenis ular dan potensi bahayanya menjadi sangat penting sebelum mengambil tindakan. Di era modern, upaya pencegahan dan pengendalian hama yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan perlu diprioritaskan, sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan keseimbangan dan pelestarian alam. Penggunaan metode-metode alternatif, seperti evakuasi ular ke habitat yang sesuai, dapat menjadi pilihan yang lebih bijaksana dibandingkan dengan pembunuhan langsung. Pada akhirnya, pemahaman yang komprehensif dan berimbang terhadap hadits terkait pembunuhan ular memerlukan pertimbangan yang matang dari berbagai aspek, menghindari interpretasi yang sempit dan merugikan. Konsultasi dengan ulama yang berkompeten dan ahli herpetologi dapat membantu dalam mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab.