Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, menempati posisi yang sangat mulia. Kehormatan dan kesuciannya menuntut adab dan tata cara khusus dalam berinteraksi, termasuk sebelum membacanya. Berwudhu sebelum membaca Al-Qur’an merupakan salah satu adab yang dianjurkan, bahkan dianggap sebagai bagian integral dari penghormatan terhadap Kalamullah. Hadits dari Nu’man bin Basyir yang diriwayatkan oleh Baihaqi menyebutkan, "Sebaik-baiknya ibadah umatku adalah membaca Al-Qur’an," menunjukkan betapa pentingnya aktivitas ini dalam Islam. Namun, pertanyaan seputar hukum membaca Al-Qur’an tanpa wudhu tetap menjadi perdebatan yang memerlukan penelusuran mendalam.
Kitab Kitabul-Aadab karya Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syalhub, yang diterjemahkan oleh Azhar Khalid dan Muh Hidayat, menekankan pentingnya bersuci sebelum menyentuh dan membaca Al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada kesucian Al-Qur’an sebagai kitab suci, sehingga umat Islam yang hendak membacanya harus dalam keadaan suci. Ayat Al-Waqi’ah ayat 79, "لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ" (Laa yamassuhu illaa al-muthahharun) – yang artinya "Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan" – seringkali dijadikan rujukan utama dalam pembahasan ini. Namun, tafsir dan pemahaman terhadap ayat ini menjadi titik krusial perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Perbedaan pendapat tersebut muncul dalam interpretasi ayat Al-Waqi’ah ayat 79. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tersebut merujuk pada Lauh Mahfuzh, kitab asli yang tersimpan di langit, yang hanya dapat disentuh oleh malaikat. Pendapat ini dianut oleh sejumlah ulama terkemuka seperti Ibnu Abbas, Asy-Sya’biy, Adh-Dhahhak, Zaid bin Ali, Al-Muayyad Billah, Daud, Ibnu Hazm, dan Hammad bin Sulaiman. Mereka berpendapat bahwa ayat tersebut tidak secara langsung melarang orang yang tidak berwudhu untuk menyentuh mushaf Al-Qur’an.
Di sisi lain, sebagian besar ulama dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), sebagaimana dikutip dari Panduan Lengkap Ibadah karya Muhammad Bagir, menyatakan bahwa memegang atau membawa mushaf Al-Qur’an hanya diperbolehkan dalam keadaan berwudhu, kecuali dalam keadaan darurat. Pendapat ini didasarkan pada interpretasi ayat Al-Waqi’ah ayat 79 yang dikaitkan dengan kesucian yang dibutuhkan untuk menyentuh kitab suci.
Ibnu Taimiyah, ulama terkemuka lainnya, menawarkan pandangan yang lebih moderat. Sebagaimana dikutip dari laman Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ibnu Taimiyah memperbolehkan membaca Al-Qur’an tanpa wudhu, dengan catatan pembaca tidak secara langsung menyentuh mushaf Al-Qur’an. Dengan kata lain, membaca Al-Qur’an dari media lain atau hafalan dibolehkan meskipun dalam keadaan tidak berwudhu.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Buya Yahya. Dalam tayangan di kanal YouTube Al-Bahjah TV, Buya Yahya menjelaskan perbedaan antara hadats besar (junub) dan hadats kecil. Membaca Al-Qur’an dalam keadaan junub jelas dilarang. Namun, bagi yang mengalami hadats kecil (tanpa wudhu), membaca Al-Qur’an diperbolehkan, asalkan tidak menyentuh mushaf Al-Qur’an. Beliau menekankan pentingnya membedakan antara membaca dan menyentuh mushaf Al-Qur’an.
Ustazah Aryani, ahli fiqih yang turut memberikan penjelasan dalam kajian Khazanah TRANS7, menguatkan pendapat ini. Beliau menjelaskan bahwa membaca Al-Qur’an tanpa wudhu diperbolehkan jika dilakukan dengan cara menghafal (dari hafalan) atau membaca Al-Qur’an yang dipegang oleh orang lain. Dengan demikian, fokus larangan menyentuh mushaf Al-Qur’an bagi yang berhadats, bukan pada aktivitas membaca itu sendiri.
Perkembangan teknologi juga menghadirkan dimensi baru dalam perdebatan ini. Pertanyaan mengenai hukum menyentuh Al-Qur’an digital melalui ponsel tanpa wudhu pun muncul. Secara umum, pendapat yang berkembang adalah bahwa larangan menyentuh Al-Qur’an bagi yang berhadats berlaku khusus pada mushaf Al-Qur’an fisik, bukan pada Al-Qur’an digital. Hal ini didasarkan pada perbedaan substansi antara mushaf fisik dan representasi digitalnya.
Kesimpulannya, perdebatan seputar hukum membaca Al-Qur’an tanpa wudhu menunjukkan keragaman interpretasi dalam memahami ayat Al-Waqi’ah ayat 79 dan hadits-hadits terkait. Meskipun sebagian ulama menekankan pentingnya wudhu sebelum menyentuh mushaf Al-Qur’an, pendapat lain memperbolehkan membaca Al-Qur’an tanpa wudhu selama tidak menyentuh mushaf secara langsung, baik melalui hafalan, membaca dari media lain, atau melalui Al-Qur’an digital. Perbedaan pendapat ini menunjukkan pentingnya memahami konteks dan nuansa dalam memahami hukum Islam, serta perlunya menghormati perbedaan pendapat di kalangan ulama. Yang terpenting adalah menjaga kesucian hati dan niat dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, sebagaimana ajaran Islam menekankan pentingnya akhlak dan adab dalam setiap tindakan. Bagi yang ragu, konsultasi dengan ulama atau ahli fiqih yang terpercaya sangat dianjurkan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Terakhir, menjaga kesucian diri dan menghormati kesucian Al-Qur’an tetap menjadi prinsip utama dalam beribadah.