Praktik keagamaan, khususnya ibadah salat, senantiasa memerlukan pemahaman yang mendalam akan detail-detailnya. Salah satu hal yang seringkali menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Muslim adalah hukum melipat baju atau celana saat melaksanakan salat. Meskipun tampak sepele, tindakan ini ternyata memiliki landasan hukum yang bersumber dari hadits Nabi Muhammad SAW dan penafsiran para ulama. Artikel ini akan mengkaji secara komprehensif aspek hukum melipat pakaian saat salat, merujuk pada hadits shahih serta pendapat para ahli fikih.
Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim tentang Larangan Melipat Pakaian:
Salah satu hadits yang paling sering dikutip mengenai larangan melipat atau menggulung pakaian selama salat diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dua Imam hadits yang sangat diakui keilmuannya. Hadits tersebut secara ringkas menyebutkan larangan tersebut dalam konteks tuntunan tata cara salat yang sempurna. Meskipun teks Arab aslinya tidak tersedia di sini, inti hadits tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Nabi Muhammad SAW bersabda, bahwa beliau diperintahkan untuk sujud dengan tujuh anggota tubuh tertentu: dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung kaki. Selanjutnya, hadits tersebut secara tegas melarang penggulungan atau pengumpulan pakaian, serta melarang menahan rambut.
Hadits ini, dengan keotentikannya yang diakui secara luas, menjadi dasar hukum larangan melipat pakaian saat salat. Namun, penting untuk memahami konteks dan implikasinya secara lebih detail. Bukan hanya sekedar melipat, hadits ini juga mencakup tindakan-tindakan lain yang dapat mengganggu kekhusyukan dan kesempurnaan salat, seperti menahan rambut agar tidak menutupi wajah.
Interpretasi Ulama dan Tingkat Kekuatan Hukum:
Imam An-Nawawi, dalam kitab Syarah Shahih Muslim (4/209), menjelaskan konsensus ulama mengenai larangan salat dalam kondisi sebagian pakaian terlipat, baik lengan baju, celana, maupun bagian pakaian lainnya yang tergulung. Beliau juga menyinggung larangan menjalin rambut atau membiarkan rambut terbalik di bawah penutup kepala. Menurut Imam An-Nawawi, semua tindakan tersebut hukumnya makruh tanzih.
Istilah "makruh tanzih" merupakan terminologi fikih yang menunjukkan suatu tindakan yang tidak haram atau terlarang secara mutlak, tetapi dianjurkan untuk dihindari karena dinilai kurang sempurna atau dapat mengurangi nilai ibadah. Makruh tanzih memiliki bobot hukum yang lebih ringan dibandingkan dengan "makruh tahrimi," yang mendekati larangan.
Dengan demikian, melipat pakaian saat salat menurut pandangan mayoritas ulama tidak membatalkan salat, namun tetap dianjurkan untuk dihindari. Salat tetap sah, tetapi tindakan tersebut dianggap kurang sempurna dan dapat mengurangi kekhusyukan. Hal ini sejalan dengan tujuan salat itu sendiri, yaitu menghubungkan diri dengan Allah SWT dengan penuh khusyuk dan ketenangan. Melipat pakaian dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan mengalihkan konsentrasi, sehingga mengurangi kualitas ibadah.
Lebih dari Sekedar Pakaian: Kesucian dan Kesempurnaan Ibadah:
Memahami hadits dan pandangan ulama di atas, perlu dipahami bahwa larangan melipat pakaian bukan hanya sekadar aturan teknis, melainkan bagian integral dari kesempurnaan dan kesucian ibadah salat. Pakaian yang rapi dan nyaman menunjukkan kesiapan dan penghormatan terhadap Allah SWT. Salat yang dikerjakan dengan pakaian yang tertata akan lebih menunjang kekhusyukan dan konsentrasi selama beribadah.
Penting untuk diingat bahwa ajaran Islam senantiasa menekankan kesempurnaan dalam beribadah. Meskipun salat dengan pakaian terlipat tetap sah, menghindari tindakan tersebut merupakan manifestasi kesungguhan dan kesempurnaan dalam menjalankan ibadah. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang mengajarkan untuk senantiasa berusaha menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya.
Adab-Adab Lain dalam Memakai Pakaian Salat:
Selain larangan melipat pakaian, ada sejumlah adab lain yang perlu diperhatikan dalam berpakaian saat salat, antara lain:
-
Menutup Aurat: Menutup aurat merupakan syarat sah salat. Batasan aurat berbeda antara laki-laki dan perempuan. Untuk laki-laki, umumnya dibatasi dari pusar hingga lutut, sedangkan untuk perempuan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Pendapat ini didasarkan pada berbagai hadits dan ijma’ ulama. Namun, perlu diingat bahwa pendapat ulama mengenai batasan aurat memiliki beberapa perbedaan, sehingga disarankan untuk merujuk pada pendapat ulama yang terpercaya dan sesuai dengan mazhab yang dianut.
-
Pakaian yang Bersih dan Menutupi Tubuh: Pakaian yang digunakan untuk salat harus bersih dari najis dan menutupi seluruh tubuh sesuai dengan batasan aurat. Pakaian yang sobek atau robek sebaiknya dihindari karena dapat mengurangi kekhusyukan dan kesempurnaan salat. Meskipun tidak membatalkan salat, memakai pakaian yang bersih dan menutupi tubuh merupakan bagian dari adab dan kesempurnaan ibadah.
-
Pakaian yang Layak dan Menunjukkan Kesederhanaan: Islam menganjurkan untuk memakai pakaian yang layak dan menunjukkan kesederhanaan saat salat. Hindari pakaian yang terlalu mewah atau mencolok karena dapat mengurangi fokus dan kekhusyukan dalam ibadah. Pakaian yang sederhana dan bersih lebih menunjukkan kesungguhan dan ketulusan hati dalam beribadah.
-
Pakaian yang Tidak Transparan: Pakaian yang digunakan untuk salat harus tidak transparan atau menampakkan bagian tubuh yang harus ditutupi. Hal ini merupakan bagian dari menjaga kesucian dan kehormatan diri saat beribadah.
Kesimpulan:
Melipat pakaian saat salat hukumnya makruh tanzih, artinya tidak membatalkan salat, namun dianjurkan untuk dihindari. Larangan ini berdasarkan hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim, serta ijma’ ulama. Menghindari melipat pakaian merupakan bagian dari upaya untuk menjalankan salat dengan sempurna dan khusyuk, sejalan dengan tujuan ibadah itu sendiri. Lebih luas lagi, memperhatikan pakaian saat salat merupakan manifestasi kesucian, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap Allah SWT. Oleh karena itu, umat Muslim dianjurkan untuk selalu berupaya menjalankan ibadah salat dengan sempurna dan memperhatikan semua adab yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Wallahu a’lam bisshawab.