Jakarta – Pertanyaan mengenai hukum memakan darah ayam yang digoreng, atau bahkan olahan darah hewan lainnya, kerap muncul dalam konteks fikih kuliner. Di beberapa daerah Indonesia, makanan yang terbuat dari darah hewan, yang dikenal sebagai "marus" atau "saren", cukup populer. Namun, bagaimana pandangan Islam mengenai konsumsi darah yang telah diolah? Apakah dibolehkan atau diharamkan? Artikel ini akan membahas hukum memakan darah hewan dalam Islam, dengan fokus pada kasus darah ayam yang digoreng, untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif.
Larangan Memakan Darah Hewan dalam Al-Quran dan Hadits
Dalam pandangan Islam, hukum memakan darah hewan secara tegas dinyatakan haram. Hal ini tertuang dalam firman Allah SWT dalam surah An-Nahl ayat 115:
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini dengan jelas melarang konsumsi darah yang mengalir, yang keluar dari tubuh hewan saat proses penyembelihan atau setelahnya.
Surah Al-An’am ayat 145 juga menegaskan larangan ini:
"Katakanlah, "Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa pun yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak melebihi (batas darurat), maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Marus: Darah yang Mengental dan Membeku
Di Indonesia, marus merupakan olahan darah hewan yang umum dijumpai. Proses pembuatan marus melibatkan perebusan darah hewan hingga mengental dan membeku, menyerupai tekstur dan bentuk limpa. Meskipun tampilannya berubah setelah diolah, marus tetaplah darah yang mengalami proses pembekuan.
Hukum Makan Marus: Tetap Haram
Berdasarkan hukum Islam, mengonsumsi marus tetap dikategorikan haram. Darah yang dibekukan ini tetap dianggap najis, meskipun telah mengalami perubahan bentuk.
Pengecualian: Hati dan Limpa
Islam hanya membolehkan konsumsi dua jenis darah yang dibekukan, yaitu hati dan limpa. Rasulullah SAW secara khusus menghalalkan konsumsi kedua organ ini, meskipun keduanya pada dasarnya adalah bagian dari darah.
Alasan di balik pengecualian ini terletak pada sifat dan status hati dan limpa yang berbeda dengan darah lainnya. Kedua organ ini memang sudah dari asalnya terbentuk seperti itu, sehingga konsumsi hati dan limpa tidak melanggar prinsip syariat.
Rasulullah SAW bersabda:
"Dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah. Bangkai ikan dan belalang. Hati dan limpa." (HR al-Baihaqi)
Darah Ayam yang Digoreng: Sebuah Kajian Lebih Dekat
Hukum memakan darah ayam yang digoreng perlu dicermati dari jenis darah yang dimaksud. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, darah yang mengalir, seperti darah yang keluar dari leher ayam saat disembelih, dianggap najis dan haram untuk dikonsumsi.
Namun, mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan pendapat terkuat dari mazhab Syafi’i memberikan pengecualian terhadap darah yang tersisa, tertinggal atau tidak mengalir langsung dari tubuh hewan.
Darah yang Sedikit dan Tidak Mengalir: Dimaafkan
Menurut pandangan ulama, darah yang sedikit dan tidak mengalir, dapat dianggap dimaafkan (tidak najis) dan boleh dimakan, mengingat jumlahnya yang sangat kecil serta bercampur dalam makanan.
Dasar hukum ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah binti Abu Bakar RA:
Aisyah RA menyebutkan bahwa pada masa Rasulullah SAW, terkadang dari daging yang dimasak masih keluar darah berwarna kekuningan, namun Rasulullah SAW tidak melarang untuk mengonsumsinya.
Aisyah RA berkata:
"Kami memasak daging pada masa Rasulullah SAW, di mana dari daging yang dimasak itu keluar darah yang kekuning-kuningan. Lalu Rasulullah SAW memakannya dan tidak melarangnya. Pendapat yang dipegangi adalah pendapat yang pertama (darah tersebut najis) karena darah itu mengalir. Namun tidak pula boleh menafikan makna sunnah di atas (di mana Nabi memakannya dan tidak melarangnya) karena hal semacam itu termasuk kategori yang dimaafkan. Jadi, sesungguhnya sesuatu yang dimaafkan tidak termasuk najis". (HR Ahmad)
Berdasarkan penafsiran ini, para ulama menyimpulkan bahwa darah yang mengalir tetap haram, sementara darah yang sedikit dan tidak mengalir boleh dikonsumsi karena dianggap tidak najis.
Darah yang Tertinggal di Tempat Penyembelihan atau Alat Masak: Dimaafkan
Ibnu Juraij dalam kitab Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq menyatakan:
"Yang mengalir adalah yang ditumpahkan. Sementara darah yang ada di dalam urat tidak apa-apa."
Abu Mijlaz juga menyatakan bahwa darah yang tertinggal di tempat penyembelihan atau yang menempel pada alat masak tidak dianggap najis dan dimaafkan. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Aisyah RA sebelumnya.
Kesimpulan: Hukum Makan Darah Ayam yang Digoreng
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum memakan darah ayam yang digoreng tergantung pada jenis darah yang dimaksud. Jika darahnya dalam jumlah besar dan mengalir, maka tetap diharamkan. Namun, jika darahnya hanya sedikit dan muncul setelah proses memasak atau menggoreng, maka hal tersebut dimaafkan dalam hukum Islam.
Pentingnya Kehati-hatian dan Mencari Informasi
Meskipun ada pengecualian untuk darah yang sedikit dan tidak mengalir, penting untuk tetap berhati-hati dalam mengonsumsi makanan yang mengandung darah.
Saran terbaik adalah untuk menghindari konsumsi darah hewan secara keseluruhan, kecuali hati dan limpa yang telah dihalalkan oleh Rasulullah SAW.
Jika ragu, sebaiknya konsultasikan dengan ulama atau ahli fikih untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detail dan akurat.
Semoga penjelasan ini bermanfaat dan dapat membantu dalam memahami hukum memakan darah hewan dalam Islam.