Jakarta – Hari Kiamat, sebuah peristiwa maha dahsyat yang mengakhiri perjalanan dunia fana, akan disusul oleh momen yang tak kalah penting: Yaumul Hisab. Momen ini, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits, merupakan proses perhitungan amal perbuatan manusia secara detail dan adil. Setiap tindakan, sekecil apapun, akan ditimbang dengan keadilan Ilahi. Firman Allah SWT dalam surah Al-Anbiya ayat 47 menegaskan hal ini: "(Dan) Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit pun; dan jika hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan."
Ayat ini menggarisbawahi prinsip keadilan dan ketelitian yang akan diterapkan dalam Yaumul Hisab. Tidak ada satu pun amal, betapa kecilnya, yang akan luput dari perhitungan. Baik amal kebaikan maupun keburukan, semuanya akan dicatat dan dipertimbangkan dalam penentuan nasib manusia di akhirat. Proses ini menekankan pentingnya setiap individu untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan.
Di tengah kompleksitas perhitungan amal yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, terdapat satu amalan yang menempati posisi sentral dan menjadi fokus utama dalam proses hisab: salat. Salat, sebagai tiang agama Islam, bukan hanya sekadar ibadah ritual, melainkan juga cerminan keimanan dan ketaatan seorang hamba kepada Sang Pencipta. Kualitas salat seseorang, menurut berbagai riwayat dan penafsiran, akan menjadi penentu awal dalam menentukan keberhasilan atau kegagalannya di Yaumul Hisab.
Buku "Panduan Shalat Lengkap" karya Said bin Ali bin Wahaf al-Qahthani, mengutip sebuah riwayat yang menjelaskan urgensi salat dalam konteks Yaumul Hisab. Riwayat tersebut, yang sanadnya telah dikaji oleh para ulama hadits, menyatakan bahwa salat merupakan amalan pertama yang akan dihisab. Kebenaran dan kevalidan riwayat ini telah diteliti oleh para ahli hadits, dengan beberapa ulama bahkan mengklasifikasikannya sebagai hadits shahih. Hal ini semakin memperkuat kedudukan salat sebagai pilar utama dalam kehidupan seorang muslim dan penentu awal dalam perhitungan amal di akhirat.
Riwayat tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa jika salat seseorang baik dan terlaksana dengan sempurna, maka ia telah meraih keberuntungan dan kesuksesan di akhirat. Sebaliknya, jika salat tersebut cacat atau bahkan ditinggalkan, maka ia akan mengalami kegagalan dan kerugian yang besar. Ini bukan sekadar penilaian atas ibadah ritual semata, melainkan juga refleksi dari kualitas keimanan dan ketaatannya kepada Allah SWT.
Lebih jauh lagi, riwayat tersebut menjelaskan keadilan dan rahmat Allah SWT. Jika terdapat kekurangan dalam pelaksanaan salat wajib, Allah SWT akan melihat apakah hamba-Nya tersebut memiliki salat sunnah sebagai pengganti. Salat sunnah, sebagai amalan tambahan, dapat menjadi penebus kekurangan dalam salat wajib. Ini menunjukkan betapa besarnya rahmat Allah SWT yang memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk memperbaiki kekurangan dan meningkatkan kualitas amal ibadahnya. Kebaikan dari amalan sunnah dapat menutupi kekurangan dalam amalan wajib, sehingga amal kebaikan bertambah dan kejelekan terhapus.
Konsep ini menekankan pentingnya keseimbangan antara amalan wajib dan sunnah. Tidak cukup hanya menjalankan amalan wajib secara minimal, tetapi juga perlu memperbanyak amalan sunnah sebagai bentuk ketaatan dan pengabdian yang lebih sempurna kepada Allah SWT. Amalan sunnah bukan sekadar pelengkap, melainkan juga sebagai bukti kesungguhan dan keikhlasan dalam beribadah. Dengan demikian, setiap muslim didorong untuk senantiasa berupaya meningkatkan kualitas salat dan memperbanyak amalan sunnah untuk meraih ridho dan rahmat Allah SWT.
Pentingnya menjaga salat juga dijelaskan dalam berbagai sumber keagamaan lainnya. Buku "Ulumul Hadits" karya Wahyu Khafidah dan tim, misalnya, menjelaskan kewajiban salat bagi setiap muslim yang telah baligh. Salat lima waktu, yang telah diatur waktunya secara detail, merupakan rukun Islam yang fundamental dan menjadi kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi. Ketetapan waktu salat yang terbagi dalam lima waktu menunjukkan pentingnya menjaga hubungan konsisten dengan Allah SWT sepanjang hari.
Salat, sebagai amalan pertama yang dihisab, menjadi penentu kualitas amal lainnya. Kualitas salat yang baik akan berdampak positif terhadap penilaian amal lainnya, sementara salat yang buruk akan berdampak sebaliknya. Menjaga salat berarti menjaga hubungan yang erat dengan Allah SWT, yang menjadi dasar keberhasilan hidup di dunia dan akhirat. Salat bukan hanya sekadar ibadah ritual, melainkan juga merupakan pondasi utama keimanan seorang muslim.
Hadits dari Mu’adz bin Jabal yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah, menegaskan hal ini dengan menyatakan bahwa inti segala perkara adalah Islam, dan tiangnya adalah salat. Hadits ini secara tegas menempatkan salat sebagai pilar utama dalam agama Islam. Dengan menjaga salat, seseorang tidak hanya menjalankan kewajiban utama, tetapi juga memperkokoh keseluruhan praktik keagamaannya. Salat menjadi kunci utama dalam membangun hubungan yang kuat dengan Allah SWT dan meraih keberhasilan di dunia dan akhirat.
Kesimpulannya, Yaumul Hisab merupakan momen perhitungan amal yang sangat penting bagi setiap manusia. Salat, sebagai amalan pertama yang dihisab, memiliki peran krusial dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang di akhirat. Oleh karena itu, menjaga kualitas salat dan memperbanyak amalan sunnah merupakan langkah penting dalam mempersiapkan diri menghadapi Yaumul Hisab dan meraih ridho Allah SWT. Semoga uraian ini dapat menjadi renungan dan motivasi bagi kita semua untuk senantiasa meningkatkan kualitas ibadah dan ketaatan kita kepada Allah SWT. Wallahu a’lam bishawab.