Jakarta – Dalam khazanah keilmuan Islam, nama Imam Hanafi begitu masyhur. Kepakarannya dalam fikih dan hadits, serta ketelitiannya dalam menelaah setiap dalil, telah mengukuhkan posisinya sebagai salah satu imam mazhab terkemuka. Namun, di balik reputasi gemilang tersebut, tersimpan kisah inspiratif yang jarang tersorot: pertemuannya dengan seorang tukang cukur di Tanah Suci yang memberikan pelajaran berharga tentang adab, ketaatan, dan kedalaman pemahaman agama yang tak terduga. Kisah ini, yang dikutip dari kitab Siyar A’laam an-Nubala karya Az-Zahabi dan termaktub dalam buku Kumpulan Kisah Teladan susunan Prof. Dr. H.M. Hasballah Thaib, MA, menawarkan renungan mendalam tentang pencarian ilmu dan pengamalan ibadah yang sejati.
Imam Hanafi, seorang tabi’in yang dikenal akan kehati-hatian dan kesantunannya, menempuh perjalanan haji. Dalam perjalanan spiritual yang penuh hikmah ini, ia justru menemukan sebuah pembelajaran yang tak terduga dari seorang individu yang profesinya jauh berbeda dengannya. Pertemuan ini terjadi di saat Imam Hanafi hendak mencukur rambutnya untuk keluar dari ihram, menandai berakhirnya rangkaian ibadah haji. Dengan kerendahan hati yang menjadi ciri khasnya, Imam Hanafi menanyakan tarif jasa cukur kepada sang tukang cukur.
Jawaban yang diberikan tukang cukur tersebut sungguh mengejutkan. Bukannya menyebutkan angka tarif, ia justru memberikan wejangan yang sarat makna: "Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu. Ibadah tidak disyaratkan dengan bayaran. Duduklah dan berikan sekadar kerelaan." Kalimat sederhana ini, dibalut dengan doa tulus, mengungkapkan esensi ibadah yang sejati: ikhlas dan ridha semata-mata karena Allah SWT. Perkataan tukang cukur itu langsung menyentuh hati Imam Hanafi, mengingatkannya akan pentingnya niat dan keikhlasan dalam setiap amal ibadah. Rasa malu pun menyelimuti Imam Hanafi, seorang ulama besar yang justru diingatkan akan hal mendasar dalam agama oleh seorang tukang cukur.
Namun, pelajaran yang diberikan tukang cukur tersebut tidak berhenti sampai di situ. Ia melanjutkan dengan memberikan arahan tentang adab dalam melaksanakan ibadah, detail-detail yang seringkali terlewatkan bahkan oleh mereka yang mendalami ilmu agama. Sang tukang cukur meminta Imam Hanafi untuk menghadap kiblat saat duduk, menunjukkan pentingnya menjaga arah kiblat dalam setiap aktivitas ibadah, bukan hanya saat shalat. Hal ini menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang adab dan kesempurnaan ibadah.
Lebih lanjut, ketika Imam Hanafi meminta agar cukuran dimulai dari sisi kiri, tukang cukur itu dengan bijak mengarahkannya untuk memulai dari sisi kanan. Arah cukuran yang tampaknya sepele ini ternyata memiliki sunnah yang seringkali diabaikan. Ketelitian dan kepatuhan pada sunnah, meski dalam hal sekecil apapun, menjadi poin penting yang diangkat dalam kisah ini. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam hal yang tampak sederhana sekalipun, terdapat hikmah dan pelajaran yang berharga.
Puncak dari pembelajaran ini terjadi saat proses mencukur berlangsung. Tukang cukur tersebut memberikan arahan yang mengejutkan: "Bertakbirlah." Imam Hanafi, yang terbiasa dengan ketelitian dalam ibadah, menjalankan arahan tersebut. Tindakan sederhana ini, diiringi takbir, menunjukkan kesungguhan dan keikhlasan dalam menjalankan setiap tahapan ibadah, sekaligus mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Setelah proses cukur selesai, tukang cukur tersebut kembali memberikan arahan yang penuh hikmah: "Shalatlah dua rakaat terlebih dahulu, baru kemudian pergilah ke mana pun engkau suka." Arahan ini menekankan pentingnya bersyukur dan mendekatkan diri kepada Allah SWT setelah menyelesaikan suatu aktivitas, sekaligus menunjukkan kesempurnaan ibadah yang terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.
Rasa ingin tahu yang besar mendorong Imam Hanafi untuk menanyakan sumber pengetahuan sang tukang cukur. Jawabannya sungguh mengejutkan: "Aku melihat Imam Atho bin Abi Rabah melakukannya dan aku mengikutinya, serta mengarahkan orang lain untuk melakukan hal yang sama." Terungkaplah bahwa tukang cukur tersebut ternyata adalah murid dari Imam Atho bin Abi Rabah, seorang ulama terkemuka di Mekkah yang memiliki otoritas dalam memberikan fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu agama dapat dipelajari dan diwariskan melalui berbagai jalur, tidak terbatas pada lingkungan pendidikan formal.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang kerendahan hati dan keikhlasan dalam menuntut ilmu. Imam Hanafi, seorang ulama besar, tidak ragu untuk belajar dari seorang tukang cukur. Ia menyadari bahwa ilmu dapat bersumber dari mana saja dan siapa saja, tanpa memandang status sosial atau profesi. Kisah ini juga menyoroti pentingnya memperhatikan detail dalam ibadah dan menjalankan sunnah Nabi Muhammad SAW, meski tampak sepele.
Lebih jauh lagi, kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya meneladani para ulama dan tokoh-tokoh agama terdahulu. Tukang cukur tersebut, dengan keteladanannya, mampu mentransfer ilmu dan nilai-nilai agama kepada Imam Hanafi. Hal ini menunjukkan pentingnya peran teladan dalam proses pembelajaran dan transmisi nilai-nilai agama. Keteladanan yang ditunjukkan oleh Imam Atho bin Abi Rabah, yang diamati dan ditiru oleh tukang cukur tersebut, akhirnya berbuah hikmah yang besar bagi Imam Hanafi.
Sebagai penutup, kisah Imam Hanafi dan tukang cukur ini sejalan dengan pesan bijak dari Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauzi rahimahullah: "Tuntutlah ilmu sebanyak-banyaknya karena ia tidak akan membahayakan ibadahmu. Dan beribadahlah sebanyak-banyaknya karena ia tidak akan membahayakan ilmumu." Kedua hal tersebut, ilmu dan ibadah, berjalan beriringan dan saling melengkapi. Ilmu tanpa amal ibadahnya akan sia-sia, dan ibadah tanpa ilmu yang memadai akan rawan kesalahan.
Semoga kisah inspiratif ini menjadi renungan bagi kita semua, untuk senantiasa rendah hati dalam menuntut ilmu, teliti dalam menjalankan ibadah, dan selalu terbuka terhadap sumber-sumber ilmu pengetahuan dari berbagai latar belakang. Karena sesungguhnya, hikmah dan pelajaran berharga dapat datang dari tempat dan orang yang tak terduga, sebagaimana kisah Imam Hanafi dan tukang cukur di Tanah Suci. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari kisah ini untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.