Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An Naysaburi, atau yang lebih dikenal sebagai Imam Al-Ghazali, merupakan figur monumental dalam sejarah Islam, khususnya dalam perkembangan tasawuf. Lahir di Ghazaleh, dekat Thus, Iran pada tahun 1059 Masehi, beliau bukan hanya seorang ulama yang menguasai ilmu-ilmu keislaman secara komprehensif – tafsir Al-Qur’an, hadis, kalam, dan filsafat – tetapi juga seorang sufi yang mendalam, yang pemikiran dan ajarannya hingga kini masih relevan dan menginspirasi. Kehidupan dan kiprahnya, yang sarat dengan hikmah, seringkali disampaikan melalui kisah-kisah inspiratif yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu kisah yang begitu bermakna menceritakan dialog interaktif Imam Al-Ghazali dengan murid-muridnya, sebuah sesi pembelajaran yang mengungkap kedalaman spiritual dan pemahaman beliau tentang realitas kehidupan.
Kisah ini, sebagaimana dirangkum dari buku "Kumpulan Kisah Teladan" karya Prof. Dr. H. M. Hasballah Thaib, MA dan H. Zamakhsyari Hasballah, Lc, MA, Ph.D, yang bersumber dari kitab "Qashash wa Ma’ani" karya Ala’ Sadiq, menawarkan sebuah renungan mendalam tentang hakikat kehidupan dan perjalanan spiritual manusia. Dalam pertemuan tersebut, Imam Al-Ghazali mengajukan serangkaian pertanyaan yang tampak sederhana, namun menyimpan makna yang begitu profound dan menantang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan sekadar ujian pengetahuan, melainkan sebuah proses introspeksi diri yang dirancang untuk mengarahkan murid-muridnya pada pemahaman yang lebih utuh tentang diri mereka sendiri dan hubungan mereka dengan Sang Pencipta.
Pertanyaan pertama yang dilontarkan Imam Al-Ghazali adalah: "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?" Murid-muridnya, dengan berbagai latar belakang dan pemahaman, mengajukan jawaban yang beragam, seperti orang tua, guru, teman, dan kerabat. Jawaban-jawaban tersebut, menurut Imam Al-Ghazali, memang benar, mencerminkan hubungan-hubungan penting dalam kehidupan manusia. Namun, beliau menekankan bahwa yang paling dekat dengan manusia adalah kematian. Beliau menguatkan argumennya dengan ayat Al-Qur’an, "Sesungguhnya setiap yang bernyawa pasti akan mati" (QS. Ali Imran: 185). Penjelasan ini bukan untuk menimbulkan ketakutan, melainkan untuk mengingatkan akan kenyataan yang tak terelakkan, sebuah fakta yang harus selalu diingat agar manusia hidup dengan lebih bermakna dan berorientasi pada akhirat.
Selanjutnya, Imam Al-Ghazali melontarkan pertanyaan kedua yang kontras dengan pertanyaan pertama: "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?" Kali ini, jawaban murid-muridnya berkisar pada hal-hal yang bersifat geografis dan astronomis, seperti negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Sekali lagi, Imam Al-Ghazali mengakui kebenaran jawaban tersebut, namun beliau menekankan bahwa yang paling jauh dari manusia adalah masa lalu. Tidak peduli seberapa canggih teknologi yang kita miliki, kita tidak akan pernah bisa kembali ke masa lalu. Oleh karena itu, beliau mengajarkan pentingnya menghargai waktu sekarang dan bersiap untuk masa depan dengan melakukan amal saleh sesuai dengan ajaran agama. Pesan ini mengajak murid-muridnya untuk hidup di masa kini dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Pertanyaan ketiga Imam Al-Ghazali mengarahkan perhatian pada dimensi internal manusia: "Apa yang paling besar di dunia ini?" Murid-muridnya menjawab dengan berbagai benda yang memiliki ukuran fisik yang besar, seperti gunung, bumi, dan matahari. Namun, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa yang paling besar adalah nafsu. Beliau mengutip ayat Al-Qur’an (Al-A’raf: 179) yang menceritakan tentang manusia yang memiliki hati, mata, dan telinga namun tidak dipergunakan untuk memahami, melihat, dan mendengarkan ayat-ayat Allah. Penjelasan ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh nafsu yang dapat menyesatkan manusia jika tidak diendalikan dengan baik. Beliau mengajarkan pentingnya muhasabah diri dan mengendalikan nafsu agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Pertanyaan keempat Imam Al-Ghazali mengarahkan perhatian pada aspek tanggung jawab dan amanah: "Apa yang paling berat di dunia ini?" Murid-muridnya menjawab dengan berbagai benda yang memiliki berat fisik yang besar, seperti baja, besi, dan gajah. Namun, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa yang paling berat adalah memegang amanah. Beliau mengutip ayat Al-Qur’an (Al-Ahzab: 72) yang menceritakan tentang amanah yang ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, namun hanya manusia yang mampu memikulnya, meskipun seringkali manusia gagal dan menjadi zalim dan bodoh. Penjelasan ini menunjukkan betapa berat tanggung jawab yang dipikul manusia dan pentingnya menjalankan amanah dengan baik dan bertanggung jawab.
Pertanyaan kelima mengubah arah pemikiran ke aspek kewajiban ibadah: "Apa yang paling ringan di dunia ini?" Murid-muridnya menjawab dengan berbagai benda yang memiliki berat fisik yang ringan, seperti kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Namun, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa yang paling ringan adalah meninggalkan salat. Beliau menekankan bahwa seringkali manusia meninggalkan salat karena alasan pekerjaan, rapat, atau perkumpulan, padahal salat merupakan salah satu ibadah yang paling penting dalam Islam. Penjelasan ini menunjukkan betapa ringannya meninggalkan salat di mata manusia, namun betapa beratnya akibatnya di sisi Allah SWT.
Pertanyaan terakhir Imam Al-Ghazali mengarahkan perhatian pada penggunaan lisan: "Apa yang paling tajam di dunia ini?" Murid-muridnya menjawab dengan serentak "pedang". Namun, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa yang paling tajam adalah lidah manusia. Melalui lidah, manusia dapat dengan mudah menyakiti hati dan melukai perasaan orang lain. Oleh karena itu, beliau mengajarkan pentingnya menjaga lisan agar tidak menimbulkan keburukan bagi orang lain. Penjelasan ini menunjukkan betapa besarnya dampak perkataan manusia dan pentingnya berhati-hati dalam berbicara.
Kesimpulannya, dialog inspiratif antara Imam Al-Ghazali dan murid-muridnya ini merupakan sebuah warisan yang berharga. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan hanya menguji pengetahuan, tetapi juga mengajak pada proses introspeksi diri yang mendalam. Hikmah yang terkandung dalam kisah ini mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam bertindak dan berbicara, menjaga amanah, mengendalikan nafsu, dan menjalankan kewajiban ibadah dengan baik. Semoga kisah ini dapat memberikan inspirasi dan hikmah bagi kita semua dalam menjalani kehidupan di dunia ini.