Jakarta – Pertanyaan mengenai kehalalan konsumsi labi-labi atau bulus, sejenis kura-kura berpunggung lunak, telah lama menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Ketiadaan hadits yang secara eksplisit melarang konsumsi hewan ini menimbulkan beragam penafsiran dan menimbulkan kebutuhan akan fatwa yang jelas dari otoritas agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Fatwa Nomor 51 Tahun 2019, akhirnya memberikan kepastian hukum terkait isu ini, sekaligus menyoroti aspek-aspek penting lainnya yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan industri halal.
Perdebatan mengenai kehalalan suatu makanan dalam Islam berakar pada prinsip-prinsip fundamental yang termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat suci senantiasa menekankan pentingnya mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib (baik). Quraish Shihab, dalam karyanya "Wawasan Al-Qur’an," menjelaskan bahwa Al-Qur’an mengaitkan ketersediaan pangan dan keamanan sebagai dua faktor utama dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Keutamaan makanan halal dan thayyib ditegaskan dalam beberapa ayat, di mana lima dari sembilan ayat yang memerintahkan makan, secara khusus menyebutkan kedua kriteria tersebut. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan aspek kehalalan dan kebaikan suatu makanan, tidak hanya dari sisi kesucian bahan, tetapi juga dari segi kualitas dan dampaknya bagi kesehatan dan kesejahteraan. Ayat Al-Baqarah ayat 168, misalnya, secara tegas menyerukan kepada manusia untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik, seraya memperingatkan agar tidak mengikuti jejak setan yang merupakan musuh nyata bagi manusia.
Dalam konteks labi-labi atau bulus, MUI mengakui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ketiadaan hadits yang secara spesifik membahas kehalalan labi-labi membuat para ulama merujuk pada kaidah-kaidah fiqih dan pendapat para imam mazhab dalam menentukan hukumnya. MUI merujuk pada pendapat ulama mazhab Malikiyah, khususnya kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’. Imam Malik, salah satu imam mazhab yang berpengaruh, menyatakan bahwa kura-kura termasuk hewan yang boleh diburu oleh orang yang sedang ihram, mengindikasikan status kehalalannya. Namun, pendapat ini tidak sepenuhnya seragam. Ibnu Nafi’, misalnya, berpendapat bahwa kura-kura harus disembelih sebelum dikonsumsi, sehingga tidak boleh diburu oleh orang yang sedang ihram. Perbedaan pendapat ini menunjukkan kompleksitas dalam menentukan hukum suatu makanan yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Setelah mempertimbangkan berbagai pendapat dan kaidah fiqih, MUI dalam Fatwa Nomor 51 Tahun 2019 akhirnya menetapkan bahwa labi-labi atau bulus hukumnya halal dikonsumsi (ma’kul al-lahmi), dengan syarat disembelih sesuai syariat Islam. Syarat penyembelihan ini menjadi poin penting yang membedakan pendapat para ulama. Kehalalannya tidak otomatis, melainkan bergantung pada pemenuhan syarat ritual penyembelihan yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini memastikan bahwa konsumsi labi-labi tetap selaras dengan prinsip-prinsip kehalalan dalam Islam.
Fatwa MUI ini tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga menyertakan rekomendasi penting terkait aspek pelestarian lingkungan. Labi-labi atau bulus termasuk hewan yang di beberapa daerah ditetapkan sebagai satwa langka dan dilindungi. Oleh karena itu, MUI menghimbau agar konsumsi labi-labi dilakukan dengan bijak dan bertanggung jawab. Industri pangan yang memanfaatkan labi-labi sebagai bahan baku diharapkan untuk melakukan budidaya dan penangkaran, sehingga pemanfaatannya tidak mengancam kelestarian populasi hewan tersebut di alam liar. Langkah ini menunjukkan kepedulian MUI terhadap aspek keberlanjutan dan pelestarian lingkungan, selain aspek keagamaan.
Lebih lanjut, fatwa ini juga menyoroti pentingnya sertifikasi halal bagi produk-produk yang memanfaatkan labi-labi, baik dalam industri makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetik. Minyak labi-labi, misalnya, dipercaya memiliki khasiat untuk kesehatan kulit dan sering digunakan dalam produk kosmetik. MUI merekomendasikan agar industri terkait memperoleh sertifikasi halal untuk memastikan produk mereka sesuai dengan standar kehalalan Islam. Hal ini menunjukkan komitmen MUI untuk mengawal seluruh aspek industri yang berkaitan dengan produk halal, termasuk yang berasal dari sumber daya alam yang perlu dikelola secara berkelanjutan.
Fatwa MUI Nomor 51 Tahun 2019 mengenai konsumsi labi-labi atau bulus memiliki implikasi yang luas. Pertama, fatwa ini memberikan kepastian hukum bagi umat Islam yang ingin mengonsumsi labi-labi, dengan catatan memenuhi syarat penyembelihan syar’i. Kedua, fatwa ini menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumber daya alam, khususnya hewan langka. Ketiga, fatwa ini mendorong industri terkait untuk memperoleh sertifikasi halal, menjamin kualitas dan kehalalan produk yang dihasilkan. Keempat, fatwa ini menjadi contoh bagaimana MUI mengintegrasikan aspek keagamaan dengan isu-isu kontemporer seperti pelestarian lingkungan dan pengembangan industri halal.
Kesimpulannya, Fatwa MUI Nomor 51 Tahun 2019 bukan hanya menjawab pertanyaan sederhana tentang kehalalan labi-labi, tetapi juga menunjukkan komitmen MUI dalam memberikan panduan yang komprehensif bagi umat Islam, memperhatikan aspek keagamaan, etika, dan kelestarian lingkungan. Fatwa ini mengajak umat Islam untuk menjadi konsumen yang bertanggung jawab, serta mendorong industri untuk berkembang secara berkelanjutan dan sesuai dengan prinsip-prinsip kehalalan Islam. Dengan demikian, fatwa ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pelestarian alam. Penerapan fatwa ini membutuhkan kesadaran kolektif dari semua pihak, baik individu, industri, maupun pemerintah, untuk menjaga kelestarian labi-labi dan mengembangkan industri halal yang bertanggung jawab.