Hagia Sophia, monumen megah di jantung Istanbul, bukanlah sekadar bangunan; ia adalah saksi bisu pergulatan kekuasaan, peradaban, dan ideologi yang telah berlangsung selama lebih dari 15 abad. Bangunan ikonik ini, yang telah bertransformasi dari gereja Bizantium menjadi masjid Ottoman, lalu museum sekuler, dan kembali lagi menjadi masjid, menyimpan sejarah yang kompleks dan kaya, mencerminkan dinamika politik dan budaya yang membentuk lanskap Anatolia dan dunia.
Dari Gereja Bizantium hingga Simbol Kekuasaan Kekaisaran:
Sejarah Hagia Sophia bermula jauh sebelum bentuknya yang kita kenal saat ini. Pada tahun 325 Masehi, Kaisar Konstantinus I, pendiri Konstantinopel (Istanbul), memerintahkan pembangunan sebuah gereja di lokasi yang sebelumnya dihuni oleh kuil-kuil pagan. Bangunan awal ini, yang relatif sederhana dengan atap kayu, diresmikan oleh putranya, Konstantius II, pada tahun 360 Masehi sebagai gereja Ortodoks. Namun, gereja ini mengalami nasib tragis pada tahun 404 Masehi, hancur dilalap api dalam kerusuhan politik yang mengguncang Kekaisaran Bizantium.
Kaisar Theodosius II kemudian membangun kembali Hagia Sophia, memperluasnya dengan lima nave dan pintu masuk khas gereja, meskipun atap kayu masih menjadi kelemahan struktural. Namun, bangunan ini pun tak luput dari bencana. Pada tahun 532 Masehi, Revolusi Nika, sebuah pemberontakan besar yang mengguncang Konstantinopel, menghancurkan Hagia Sophia hingga rata dengan tanah.
Kekaisaran Bizantium, di bawah kepemimpinan Kaisar Justinian I, tak tinggal diam. Ia memerintahkan pembangunan kembali Hagia Sophia dengan skala yang jauh lebih megah. Dua arsitek jenius, Isidoros dari Miletos dan Anthemios dari Tralles, diamanahkan untuk mewujudkan visi ambisius ini. Hasilnya adalah sebuah keajaiban arsitektur: kubah raksasa yang menjadikannya salah satu bangunan terbesar dan termegah di dunia pada masanya, hanya disaingi oleh Pantheon di Roma. Kubah yang mengesankan ini, bersama dengan desain interiornya yang luar biasa, menjadi simbol puncak kejayaan Kekaisaran Bizantium, tempat para kaisar dimahkotai dan menjadi pusat spiritual bagi umat Kristen Ortodoks. Mosaik-mosaik yang menghiasi interiornya menggambarkan kekayaan seni dan spiritualitas Bizantium, menjadi bukti kehebatan artistik dan keagungan kekaisaran. Selama berabad-abad, Hagia Sophia berdiri tegak, menjadi saksi bisu kebangkitan dan kejatuhan para kaisar, serta menjadi pusat kehidupan religius dan politik Kekaisaran Bizantium.
Penaklukan Konstantinopel dan Transformasi Menjadi Masjid:
Kejayaan Bizantium berakhir pada tahun 1453, ketika Sultan Mehmed II dari Kekaisaran Ottoman menaklukkan Konstantinopel. Peristiwa bersejarah ini menandai berakhirnya era Bizantium dan dimulainya era baru di bawah kekuasaan Ottoman. Hagia Sophia, simbol kekuasaan Bizantium, kini berada di bawah kendali Kesultanan Ottoman.
Namun, berbeda dengan kekhawatiran akan perusakan, Sultan Mehmed II menunjukkan sikap yang mengejutkan. Ia mencegah pasukannya dari tindakan vandalisme, menunjukkan rasa hormat terhadap bangunan bersejarah tersebut. Setelah penaklukan, Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid. Seorang ulama naik ke mimbar dan mengumandangkan adzan, menandai perubahan signifikan dalam fungsi dan makna bangunan tersebut.
Transformasi Hagia Sophia menjadi masjid tidak hanya sekadar perubahan fungsi, tetapi juga perubahan estetika. Mosaik-mosaik Bizantium yang menggambarkan tokoh-tokoh agama Kristen ditutupi dengan kaligrafi Islam yang indah, karya Kazasker Mustafa Izzet. Mihrab, mimbar, dan empat menara ditambahkan, mencerminkan arsitektur Islam klasik. Kompleks masjid diperluas dengan penambahan madrasah (sekolah agama), perpustakaan, dan dapur umum, menjadikannya pusat kehidupan keagamaan dan sosial bagi komunitas Muslim di Istanbul.
Selama hampir lima abad, dari tahun 1453 hingga 1931, Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid, menjadi simbol penting dari kekuasaan dan kejayaan Islam di Istanbul. Ia menjadi saksi bisu sholat berjamaah, khotbah Jumat, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya, menjadi pusat spiritual bagi jutaan umat Muslim. Bangunan ini telah menyaksikan sejarah panjang Kesultanan Ottoman, dari masa keemasan hingga masa-masa penurunannya.
Era Sekuler dan Status Museum:
Setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman dan berdirinya Republik Turki di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Atatürk, Hagia Sophia mengalami perubahan fungsi yang signifikan. Atatürk, yang berupaya memodernisasi dan mensekulerisasi Turki, memutuskan untuk mengubah Hagia Sophia menjadi museum pada tahun 1935. Keputusan ini merupakan bagian dari upaya Atatürk untuk memisahkan agama dari negara dan menciptakan identitas nasional Turki yang baru.
Perubahan fungsi ini disertai dengan upaya restorasi. Lapisan-lapisan yang menutupi mosaik-mosaik Bizantium diangkat, memperlihatkan kembali keindahan seni Bizantium yang telah tersembunyi selama berabad-abad. Mosaik-mosaik ini, yang menggambarkan Bunda Maria dan Yesus, kini berdampingan dengan kaligrafi Islam, menjadi simbol unik dari sejarah kompleks bangunan ini. Hagia Sophia, sebagai museum, menarik jutaan wisatawan dari seluruh dunia, menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO sejak tahun 1985.
Kembali Menjadi Masjid: Kontroversi dan Perdebatan:
Pada tahun 2020, di bawah pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdoğan, Hagia Sophia kembali dialihfungsikan menjadi masjid. Keputusan ini memicu kontroversi besar di dalam dan luar negeri. Banyak pihak mengecam keputusan ini, menganggapnya sebagai langkah yang tidak sensitif terhadap warisan multikultural Istanbul dan sebagai penghinaan terhadap warisan Kristen Ortodoks. Pemerintah Yunani, misalnya, mengecam keras keputusan tersebut.
Namun, pendukung keputusan ini berpendapat bahwa Hagia Sophia merupakan situs suci bagi umat Islam dan bahwa mengembalikannya ke fungsi aslinya sebagai masjid merupakan langkah yang tepat untuk mengembalikan warisan sejarah dan budaya Turki. Perdebatan ini menyoroti kompleksitas sejarah Hagia Sophia dan pergulatan antara identitas nasional, warisan budaya, dan kebebasan beragama.
Kesimpulan:
Hagia Sophia lebih dari sekadar bangunan; ia adalah simbol kekuasaan, peradaban, dan pergulatan ideologi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Transformasinya dari gereja menjadi masjid, lalu museum, dan kembali menjadi masjid mencerminkan dinamika politik dan budaya yang kompleks yang telah membentuk sejarah Anatolia dan dunia. Perdebatan seputar status Hagia Sophia terus berlanjut, menyoroti kompleksitas sejarah dan pergulatan antara warisan budaya, identitas nasional, dan kebebasan beragama. Hagia Sophia tetap menjadi monumen yang luar biasa, sebuah saksi bisu bagi perjalanan panjang sejarah manusia. Ia terus menjadi pusat perhatian dunia, memicu diskusi dan perdebatan tentang warisan budaya, identitas, dan makna dari sebuah bangunan yang telah menyaksikan begitu banyak perubahan selama lebih dari 15 abad.