Jakarta – Konsep kepemimpinan dalam Islam, khususnya sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, jauh melampaui sekadar penguasaan kekuasaan. Hadits-hadits Nabi secara tegas menekankan pentingnya amanah, kecintaan timbal balik antara pemimpin dan rakyat, serta larangan meminta jabatan. Pemahaman yang komprehensif terhadap ajaran ini krusial dalam membentuk kepemimpinan yang adil, bijaksana, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Salah satu hadits yang paling sering dikutip terkait kualitas pemimpin ideal adalah riwayat Muslim: "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." Hadits ini dengan jelas menggambarkan hubungan simbiotik yang ideal antara pemimpin dan yang dipimpin, dibangun di atas dasar rasa saling hormat, kepercayaan, dan kasih sayang. Kepemimpinan yang efektif bukanlah sekadar menjalankan perintah dan kewajiban administratif, melainkan membangun hubungan emosional positif yang menumbuhkan rasa aman dan kesejahteraan di tengah masyarakat.
Namun, jalan menuju kepemimpinan yang ideal ini diawali dengan niat dan cara yang benar. Rasulullah SAW secara tegas melarang perilaku meminta jabatan. Hadits riwayat Bukhari dari Abdurrahman bin Samurah menjelaskan hal ini dengan gamblang: "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik."
Hadits ini mengandung pesan yang mendalam. Meminta jabatan, menurut perspektif Islam, mengindikasikan ambisi pribadi yang mungkin mengaburkan prioritas utama kepemimpinan, yaitu pengabdian kepada rakyat dan kepatuhan kepada Allah SWT. Pemimpin yang mendapatkan jabatan tanpa meminta cenderung lebih diberkahi dan dibantu dalam menjalankan tugasnya, karena niatnya lebih murni dan terbebas dari dorongan egoisme. Sebaliknya, pemimpin yang mendapatkan jabatan karena aktif meminta seringkali dibiarkan menghadapi kesulitan dan tantangan sendirian, karena Allah SWT mungkin menilai niat mereka kurang tulus.
Lebih lanjut, hadits ini juga menyoroti pentingnya konsistensi dan kejujuran. Jika seorang pemimpin telah berjanji atau bersumpah untuk melakukan sesuatu, namun kemudian menemukan jalan yang lebih baik, ia wajib menepati janjinya dan membayar kafarat sumpah. Ini menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap kata-kata dan tindakannya, sekaligus menunjukkan fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi yang berubah.
Namun, larangan meminta jabatan bukanlah larangan mutlak. Terdapat pengecualian, seperti kisah Nabi Yusuf AS yang meminta diangkat menjadi bendahara negara Mesir. Namun, permintaan Nabi Yusuf dilakukan berdasarkan kemampuan dan keahliannya yang terbukti. Ia memiliki wawasan yang luas dan kemampuan manajemen yang unggul, sehingga permintaannya bukan semata berdasarkan ambisi pribadi, melainkan bertujuan untuk memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat.
Sebaliknya, kisah Abu Dzar Al-Ghifari menunjukkan konsekuensi dari meminta jabatan tanpa memiliki kemampuan yang memadai. Abu Dzar, yang dikenal dengan kesederhanaan dan kezuhudannya, pernah meminta jabatan kepada Rasulullah SAW. Namun, Nabi SAW menolak permintaannya karena khawatir Abu Dzar tidak mampu menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa jabatan adalah amanah yang berat, dan pada hari kiamat akan menjadi sumber penyesalan bagi mereka yang tidak mampu menjalankan amanah tersebut dengan baik.
Hadits ini menunjukkan bahwa kepemimpinan bukanlah hak pribadi, melainkan amanah dari Allah SWT yang harus dijalankan dengan tanggung jawab yang besar. Pemimpin harus memiliki kemampuan dan kualitas yang memadai untuk menjalankan tugasnya dengan adil dan bijaksana. Kepemimpinan yang tidak dijalankan dengan baik akan berdampak negatif bagi masyarakat dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di hari kiamat.
Lebih jauh, buku "100 Hadits Pilihan" karya Muhammad Yunan Putra, Lc., M.HI. menjelaskan bahwa pemimpin memiliki tanggung jawab yang sangat besar terhadap kehidupan rakyatnya. Ia tidak hanya bertanggung jawab atas kemakmuran masyarakat, tetapi juga harus melindungi mereka dari segala ancaman dan bahaya. Metafora "kaki kanannya berada di surga dan kaki kirinya berada di neraka" menggambarkan betapa rapuhnya posisi seorang pemimpin. Sedikit saja ia tergelincir dari jalan yang benar, maka neraka menanti. Namun, jika ia adil dan bijaksana dalam memimpin, maka surga adalah tempat kembalinya.
Hadits lain menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sendiri tidak segan menolak permintaan jabatan, bahkan dari anggota keluarganya sendiri. Al-Abbas, paman Rasulullah SAW, pernah meminta jabatan sebagai gubernur Makkah, Thaif, atau Yaman. Namun, Rasulullah SAW menolaknya dengan sabda: "Hai paman, satu jiwa yang engkau selamatkan lebih baik dari kekuasaan yang tidak dapat engkau pertanggungjawabkan." Pernyataan ini menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan dan keselamatan jiwa lebih penting daripada jabatan dan kekuasaan.
Bahkan, Rasulullah SAW menyatakan bahwa beliau tidak dapat menjamin keselamatan anggota keluarganya sendiri di hadapan Allah SWT. Beliau menekankan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas amal ibadahnya masing-masing. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam berbasis pada prinsip individualitas dan tanggung jawab pribadi di hadapan Allah SWT.
Buku "500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah" karya Imam Ibnul Jauzi menambahkan dimensi lain terkait kepemimpinan dan amanah. Jabatan dapat menjadi cobaan yang berat, dan jika pemimpin tidak amanah, maka langit, bumi, dan gunung akan merasa berat menerimanya. Kisah Umar bin Khattab RA yang mempekerjakan seseorang untuk mengelola sedekah, kemudian menemukan orang tersebut malas bekerja, menunjukkan betapa pentingnya memilih orang yang amanah dan kompeten untuk menjalankan jabatan. Umar bin Khattab RA sendiri merasa sangat berdosa karena telah memberikan jabatan kepada orang yang tidak amanah.
Hadits lain menjelaskan tentang tipe pemimpin yang buruk, yaitu "al-huthamah," yang berarti pemimpin yang tegas dan keras terhadap bawahannya, namun longgar terhadap dirinya sendiri dan melakukan korupsi. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang adil harus konsisten dan tidak memihak. Keadilan harus ditegakkan baik terhadap bawahan maupun terhadap diri sendiri.
Kesimpulannya, ajaran Islam tentang kepemimpinan menekankan pentingnya amanah, kecintaan timbal balik, dan larangan meminta jabatan. Pemimpin ideal adalah orang yang dicintai dan mencintai rakyatnya, bertanggung jawab atas kemakmuran dan keselamatan mereka, serta menjalankan tugasnya dengan adil dan bijaksana. Meminta jabatan dapat mengarah pada kesesatan dan mengakibatkan pemimpin ditelantarkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, pemilihan pemimpin harus dilakukan dengan cermat dan bijaksana, dengan mempertimbangkan kemampuan, integritas, dan komitmennya terhadap rakyat dan agama. Hadits-hadits ini memberikan panduan yang berharga bagi semua individu yang bercita-cita menjadi pemimpin, agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan ridho Allah SWT.