Jakarta, 4 Desember 2024 – Sebuah video ceramah Gus Miftah, Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, tengah menjadi sorotan publik dan menuai kecaman luas. Dalam video yang viral tersebut, terlihat Gus Miftah, saat berceramah di sebuah pondok pesantren di Magelang, Jawa Tengah, melontarkan kata-kata yang dinilai kasar dan tidak pantas kepada Sunhaji, seorang penjual es teh keliling yang berjualan di sekitar lokasi ceramah.
Insiden tersebut bermula ketika Gus Miftah, di tengah penyampaian ceramahnya, memanggil Sunhaji dan menanyakan ketersediaan es teh dagangannya. Alih-alih menggunakan bahasa yang santun dan sopan, Gus Miftah mengucapkan kalimat dalam bahasa Jawa yang diakhiri dengan sebuah kata yang oleh banyak pihak diinterpretasikan sebagai umpatan atau kata-kata makian. Meskipun diucapkan dalam konteks yang mungkin dianggap sebagai guyonan, ucapan tersebut langsung disambut tawa dari sebagian hadirin. Namun, ekspresi wajah Sunhaji, penjual es teh yang menjadi sasaran ucapan tersebut, terlihat berubah drastis, mencerminkan rasa kurang nyaman dan bahkan mungkin tersinggung.
Reaksi publik terhadap video tersebut pun beragam. Banyak yang mengecam keras tindakan Gus Miftah, menilai perilakunya tidak mencerminkan sosok ulama dan pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan. Ucapan yang dilontarkan, meskipun dalam konteks guyonan, dinilai tidak pantas dan melukai perasaan orang lain, terlebih lagi dilakukan di hadapan publik dan terhadap seorang pedagang yang sedang mencari nafkah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut angkat bicara terkait kontroversi ini. Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, menyatakan kekecewaannya atas tindakan Gus Miftah. "Orang jualan teh itu sedang mencari rezeki dengan cara yang halal. Tentu sesuai dengan kapasitas masing-masing orang mencari rezeki," tegas Kiai Cholil dalam pernyataan resmi MUI Digital. Ia menekankan bahwa tindakan Gus Miftah tersebut tidak patut ditiru oleh siapa pun, terutama para ulama dan pendakwah yang menyampaikan ceramah di depan umum.
Kiai Cholil dengan tegas menyatakan, "Yang kaya gitu jangan ditiru ya dek. Goblok-goblokin orang jualan itu tanda tak belajar etika. Apalagi di depan umum saat pengajian." Pernyataan tersebut menggarisbawahi pentingnya etika dan adab dalam berdakwah, serta perlunya menghormati martabat setiap individu, termasuk mereka yang berprofesi sebagai pedagang. Kiai Cholil menambahkan bahwa meskipun diucapkan sambil tertawa dan mungkin dimaksudkan sebagai candaan, ucapan Gus Miftah tetap dinilai tidak baik, terlebih lagi karena disampaikan oleh seorang pendakwah dan pejabat publik di depan khalayak ramai. Menurutnya, seorang pendakwah, apalagi yang juga menjabat sebagai pejabat publik, harus memiliki kematangan diri dalam menghadapi situasi apapun agar tidak menimbulkan tindakan yang kontraproduktif.
Senada dengan Kiai Cholil, Sekretaris Jenderal MUI, Buya Amirsyah Tambunan, juga mengingatkan Gus Miftah untuk lebih berhati-hati dalam bertindak, mengingat posisinya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Jabatan tersebut mengharuskan Gus Miftah untuk menjadi contoh dan teladan dalam bersikap dan bertutur kata, sehingga perbuatannya harus senantiasa mencerminkan nilai-nilai keagamaan dan kenegarawanan.
Setelah video tersebut viral dan menuai kecaman luas, Gus Miftah akhirnya meminta maaf dan mengunjungi rumah Sunhaji, penjual es teh yang menjadi sasaran ucapannya. Dalam pertemuan tersebut, Gus Miftah menjelaskan bahwa ucapannya yang kontroversial tersebut bermaksud bercanda, namun disalahartikan. "Yang saat itu niatnya guyon tapi disalahpresepsikan, tapi apa pun itu aku minta maaf sama Kang Sunhaji. Niatnya guyon malah jadi kedawan-dawan ya," ungkap Gus Miftah seperti dikutip dari detikJateng. Sunhaji sendiri telah menerima permohonan maaf Gus Miftah.
Insiden ini menimbulkan perdebatan publik yang luas mengenai etika berdakwah dan peran tokoh agama sebagai figur publik. Banyak pihak menilai bahwa permintaan maaf Gus Miftah merupakan langkah yang tepat, namun tidak cukup hanya dengan itu. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi para pendakwah dan tokoh agama untuk selalu memperhatikan etika dan adab dalam berkomunikasi, terutama di depan umum. Kehadiran media sosial yang memungkinkan penyebaran informasi secara cepat dan luas menuntut para tokoh publik, termasuk para ulama, untuk lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam perkataan dan perbuatannya.
Lebih jauh, kasus ini mengungkap tantangan dalam mempertahankan keseimbangan antara penyampaian dakwah yang menarik dan menghibur dengan penghormatan terhadap etika dan martabat manusia. Humor dan cengkraman memang bisa digunakan untuk menarik perhatian pendengar, namun harus dilakukan dengan bijak dan tidak menyinggung atau menghina pihak lain. Batasan antara guyonan yang sehat dan ucapan yang menghina terkadang sulit dibedakan, namun kesadaran dan kepekaan emosional sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman dan kontroversi seperti yang terjadi pada kasus Gus Miftah ini.
Peristiwa ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya menumbuhkan kultur kritis di masyarakat. Publik berhak untuk menilai dan memberikan kritikan terhadap perilaku tokoh publik, termasuk para ulama dan pendakwah. Namun, kritikan tersebut harus disampaikan dengan cara yang sopan dan konstruktif, tanpa menjatuhkan martabat atau menghina pihak yang dikritik. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama membangun masyarakat yang lebih beradab dan bermartabat.
Kesimpulannya, kasus Gus Miftah ini bukan hanya sebuah insiden kecil, namun merupakan sebuah refleksi terhadap etika berdakwah dan perilaku tokoh publik di era media sosial. Peristiwa ini mengajarkan kita tentang pentingnya berhati-hati dalam bertutur kata, menghormati martabat orang lain, dan bertanggung jawab atas perkataan dan perbuatan kita. Semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, agar kejadian sejenis tidak terulang di masa yang akan datang.