Jakarta – Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, percakapan sehari-hari seringkali tak terhindarkan dari pembahasan mengenai orang lain. Mulai dari kebiasaan, karakter, hingga kekurangan, menjadi santapan obrolan yang kerap kali dilalui tanpa disadari potensinya untuk berujung pada pelanggaran etika, bahkan hukum agama. Salah satu hal yang sering terjadi, namun seringkali diremehkan, adalah ghibah. Meskipun terkesan sepele, ghibah menyimpan dampak buruk yang signifikan bagi kehidupan seorang muslim, baik dalam relasi sosial maupun spiritual, duniawi dan ukhrawi. Lantas, apa sebenarnya arti ghibah dalam Islam, dan mengapa ia begitu dikecam?
Memahami Definisi Ghibah: Lebih dari Sekadar Membicarakan Orang Lain
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan ghibah sebagai perbuatan membicarakan keburukan atau aib orang lain, atau bergunjing. Namun, definisi ini, meskipun tepat secara bahasa, belum sepenuhnya menangkap esensi larangan ghibah dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW, dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh berbagai sumber hadits, memberikan pemahaman yang lebih komprehensif. Beliau bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian apa itu ghibah?" Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih mengetahui." Kemudian, Rasulullah SAW menjelaskan, "Engkau menceritakan perihal saudaramu yang dia tidak suka."
Penjelasan Nabi SAW ini kemudian diperluas dengan pertanyaan lanjutan dari para sahabat: "Bagaimana jika sesuatu tersebut terdapat dalam dirinya?" Rasulullah SAW menjawab dengan tegas, menunjukkan bahwa mengungkapkan kekurangan seseorang yang memang benar adanya pun tetap termasuk ghibah jika dilakukan dengan niat buruk atau tanpa tujuan yang dibenarkan syariat. Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa jika kekurangan tersebut tidak ada pada diri orang yang dibicarakan, maka perbuatan tersebut termasuk kedzaliman. Hadits ini, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjadi rujukan utama dalam memahami hakikat ghibah.
Imam An-Nawawi, ulama besar mazhab Syafi’i, memberikan penjabaran lebih lanjut mengenai cakupan ghibah. Beliau menjelaskan bahwa definisi "Engkau menceritakan perihal saudaramu yang dia tidak suka" mencakup berbagai bentuk komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Bahkan, penggunaan isyarat, seperti gerakan mata, tangan, atau kepala yang bertujuan untuk menyampaikan kekurangan seseorang kepada orang lain, juga termasuk dalam kategori ghibah. Intinya, ghibah adalah segala upaya untuk mengungkapkan kekurangan atau aib orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Al-Hasan al-Bashri, salah satu tokoh Tabi’in yang disegani, memberikan perspektif yang menarik dengan membagi ghibah menjadi tiga jenis, semuanya berakar pada ayat-ayat Al-Qur’an: ghibah, dusta, dan kedzaliman. Ghibah, menurut beliau, adalah membicarakan kekurangan orang lain yang memang ada. Dusta adalah menyampaikan informasi yang didengar dari orang lain mengenai kekurangan seseorang, tanpa verifikasi kebenarannya. Dan kedzaliman adalah membicarakan keburukan yang sama sekali tidak ada pada diri orang tersebut, dengan demikian menzalimi nama baiknya.
Imam An-Nawawi juga menyoroti bentuk ghibah yang lebih halus dan seringkali luput dari kesadaran banyak orang, yaitu "ghibah kaum alim dan ahli ibadah." Beliau menjelaskan bahwa mereka seringkali menggunakan kamuflase bahasa yang terkesan santun, namun tetap mengandung unsur ghibah. Contohnya, menjawab pertanyaan tentang seseorang dengan kalimat seperti, "Semoga Allah memperbaiki keadaannya," atau "Semoga Allah mengampuni dosanya," yang meskipun bernada doa, namun dapat ditafsirkan sebagai sindiran terselubung dan menimbulkan pemahaman negatif tentang orang tersebut di benak pendengar. Perbuatan ini, menurut Imam An-Nawawi, tetap diharamkan dalam Islam.
Bukan Hanya Pelaku, Pendengar Ghibah Pun Terancam
Perlu ditekankan bahwa bukan hanya pelaku ghibah yang menanggung konsekuensi. Pendengar ghibah pun tidak luput dari ancaman, bahkan turut serta dalam dosa tersebut. Mendengarkan ghibah dengan penuh perhatian, atau memberikan respon positif terhadapnya, sama saja dengan mendukung perbuatan tercela tersebut. Seorang muslim yang bijak seharusnya menasihati pelaku ghibah untuk berhenti dan menunjukkan sikap jijik terhadap perbuatan tersebut.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 12, yang secara tegas melarang ghibah dan memperingatkan konsekuensinya. Ayat ini menekankan pentingnya menghindari prasangka buruk, menjauhi pencarian kesalahan orang lain, dan menghindari menggunjing satu sama lain. Ayat ini bahkan menggunakan analogi yang kuat, membandingkan ghibah dengan memakan daging saudara sendiri yang telah mati, menggambarkan betapa menjijikkan dan terlaknatnya perbuatan tersebut.
Bahaya dan Konsekuensi Dosa Ghibah: Ancaman Duniawi dan Ukhrawi
Ghibah, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai sumber keagamaan, termasuk dosa besar. Konsekuensi yang dihadapi pelaku ghibah sangat berat, baik di dunia maupun di akhirat. Beberapa ancaman yang dijelaskan dalam hadits dan literatur Islam antara lain:
-
Satu Kalimat yang Dapat Merubah Satu Lautan: Hadits dari ‘Aisyah RA menggambarkan betapa dahsyatnya dampak satu kalimat ghibah, yang diibaratkan mampu mengubah seluruh isi lautan. Ini menunjukkan betapa besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh ghibah.
-
Dihinakan oleh Allah SWT: Hadits dari Ibnu ‘Umar RA menjelaskan bahwa Allah SWT akan menjatuhkan kehinaan kepada orang yang gemar mencari-cari kesalahan saudaranya, bahkan meskipun ia berada di dalam rumahnya sendiri.
-
Tidak Diampuni Dosanya oleh Allah SWT: Rasulullah SAW menyatakan bahwa ghibah lebih berat daripada zina, karena zina masih mungkin diampuni Allah SWT setelah taubat, sedangkan ghibah hanya diampuni jika orang yang dighibah memaafkannya.
-
Dikurung di Dalam Neraka: Hadits dari Ibnu Umar RA menyebutkan ancaman berupa pengurungan di dalam lumpur keringat ahli neraka bagi mereka yang menyebarkan informasi palsu tentang orang lain.
-
Mencakar Wajah dan Dada Sendiri: Hadits lain menggambarkan siksa bagi pelaku ghibah berupa penyiksaan diri dengan mencakar wajah dan dada mereka sendiri menggunakan kuku-kuku dari tembaga. Ini menggambarkan penyesalan dan penderitaan yang tak terhingga di akhirat.
Situasi yang Membolehkan Ghibah: Pengecualian yang Sangat Terbatas
Meskipun ghibah umumnya dilarang, terdapat beberapa situasi yang dibolehkan oleh para ulama untuk menyebutkan keburukan atau aib seseorang. Namun, perlu diingat bahwa pengecualian ini sangat terbatas dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Beberapa situasi tersebut antara lain:
-
Orang yang Dizalimi: Seseorang yang menjadi korban kezaliman dibolehkan untuk menyampaikan tindakan zalim yang diterimanya kepada pihak yang berwenang untuk mencari keadilan. Namun, penyampaian tersebut harus terbatas pada hal yang berkaitan dengan kezaliman yang dialaminya, tanpa menambahkan informasi negatif lainnya tentang pelaku kezaliman.
-
Meminta Pertolongan untuk Merubah Kemungkaran: Menyebutkan perbuatan buruk seseorang dibolehkan jika bertujuan untuk meminta bantuan agar orang tersebut diberi peringatan dan dihentikan dari perbuatannya yang salah.
-
Meminta Fatwa: Menyebutkan keadaan seseorang dibolehkan ketika meminta fatwa kepada ulama, terutama jika berkaitan dengan masalah pribadi, seperti pernikahan. Namun, penyampaian harus tetap seobjektif mungkin dan menghindari penambahan informasi yang tidak perlu.
-
Menyebutkan Tentang Orang yang Terang-terangan Berbuat Kefasikan dan Kebid’ahan (Ahlul Bid’ah): Menyebutkan keburukan orang yang terang-terangan melakukan kefasikan atau menyebarkan bid’ah dibolehkan untuk mencegah penyebaran kerusakan yang lebih luas.
-
Memperingatkan Kaum Muslimin: Menyebutkan sifat, sikap, atau pemikiran seseorang dibolehkan jika bertujuan untuk memperingatkan kaum muslimin dari bahaya yang mungkin ditimbulkannya.
-
Ta’rif: Ta’rif adalah penyebutan seseorang dengan ciri-ciri yang sudah umum diketahui, bukan untuk mengungkapkan aibnya, melainkan sebagai pengenalan. Namun, sebutan tersebut harus menghindari kata-kata yang menyakitkan atau dibenci oleh orang yang disebutkan.
Kesimpulannya, ghibah merupakan perbuatan tercela yang memiliki dampak buruk yang luas. Memahami definisi ghibah secara komprehensif, serta konsekuensi dan pengecualiannya, sangat penting bagi setiap muslim untuk menjaga lisan dan menghindari perbuatan yang dapat merusak hubungan antar sesama dan merugikan diri sendiri di dunia dan akhirat. Kehati-hatian dan kesadaran penuh akan dampak ghibah merupakan kunci untuk membangun relasi sosial yang harmonis dan kehidupan spiritual yang sehat.