Ghibah, atau menggunjing, merupakan perbuatan tercela yang dilarang keras dalam ajaran Islam. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, dalam karyanya Syarah Riyadhus Shalihin jilid IV, mengutip pendapat Ahmad bin Hambal yang mengategorikan ghibah dan adu domba sebagai dosa besar. Larangan ini ditegaskan Al-Qur’an dalam Surah Al-Hujurat ayat 12, yang secara eksplisit melarang umat Islam untuk saling menggunjing dan mencari-cari kesalahan satu sama lain. Ayat tersebut menggambarkan betapa menjijikkannya perbuatan menggunjing, menyamakannya dengan memakan daging saudara sendiri yang telah mati. Ayat ini menjadi landasan kuat bagi umat Islam untuk senantiasa berhati-hati dan menghindari perilaku tersebut. Ketaatan pada larangan ini merupakan wujud takwa kepada Allah SWT, yang Maha Penerima Tobat dan Maha Penyayang.
Namun, pemahaman yang komprehensif terhadap larangan ghibah menuntut pemahaman yang lebih nuanced. Meskipun secara umum dilarang, terdapat pengecualian dalam kondisi-kondisi tertentu, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam Syarah Riyadhus Shalihin. Pengecualian ini berlaku jika tujuannya sesuai dengan syariat Islam dan tidak dapat dicapai melalui cara lain. An-Nawawi mengidentifikasi enam kondisi di mana ghibah dibolehkan, sekaligus menekankan pentingnya niat dan tujuan di balik penyampaian informasi tersebut.
Enam Kondisi yang Membolehkan Ghibah:
1. Pengaduan Terhadap Penganiayaan:
Seseorang yang menjadi korban penganiayaan diizinkan untuk mengadukan pelaku kepada pihak yang berwenang atau individu yang memiliki kapasitas untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pengaduan ini bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan dari tindakan yang merugikan. Contohnya, korban dapat mengatakan, "Fulan telah menganiaya saya dengan melakukan tindakan X," dengan tujuan agar pihak yang dituju dapat menindaklanjuti pengaduan tersebut. Yang penting di sini adalah kejujuran dan kebenaran informasi yang disampaikan, bukan untuk tujuan fitnah atau dendam. Kebenaran informasi menjadi kunci utama agar pengaduan tersebut tidak masuk dalam kategori ghibah yang terlarang.
2. Menghilangkan Kemungkaran dan Maksiat:
Ghibah juga dibolehkan dalam konteks upaya menghilangkan kemungkaran dan menegur pelaku maksiat. Dalam hal ini, penyampaian informasi mengenai perilaku buruk seseorang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah meluasnya kemungkaran dan mengajak kepada kebaikan. Misalnya, seseorang dapat menginformasikan kepada pihak yang berwenang atau individu yang dapat mencegah kemungkaran, "Fulan melakukan tindakan Y yang melanggar hukum agama," dengan niat yang tulus untuk menghentikan perbuatan tersebut. Kriteria penting di sini adalah niat yang murni untuk kebaikan umum dan bukan untuk tujuan pribadi, seperti rasa iri atau dendam. Tanpa niat tersebut, tindakan ini tetap dikategorikan sebagai ghibah yang haram. Perlu ditekankan bahwa metode penyampaian informasi juga harus bijaksana dan menghindari penyebaran informasi yang berlebihan atau tidak perlu.
3. Meminta Fatwa atau Nasihat:
Mengajukan pertanyaan kepada ulama atau ahli agama tentang suatu permasalahan yang melibatkan perilaku seseorang juga termasuk pengecualian dalam larangan ghibah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan fatwa atau nasihat yang tepat dalam menghadapi situasi tersebut. Contohnya, seseorang dapat bertanya, "Bagaimana hukumnya jika seseorang diperlakukan seperti Z oleh anggota keluarganya?" Meskipun pertanyaan ini secara tidak langsung menyebutkan perilaku seseorang, tujuannya adalah untuk mendapatkan bimbingan agama, bukan untuk menggunjing. Namun, idealnya, pertanyaan tersebut dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak secara eksplisit menyebutkan nama atau identitas individu yang terlibat. Rumusan seperti, "Bagaimana pendapat Anda tentang perilaku seseorang yang seperti ini?" dapat menjadi alternatif yang lebih bijaksana.
4. Memberi Peringatan:
Memberikan peringatan atau nasihat kepada sesama muslim untuk mencegah mereka terjerumus ke dalam kejahatan juga termasuk pengecualian dalam larangan ghibah. Hal ini dapat mencakup berbagai bentuk, seperti mengkritik perawi hadits yang cacat, menyampaikan kesaksian di pengadilan, atau musyawarah dalam proses perjodohan. Dalam konteks perjodohan, misalnya, seseorang yang dimintai saran tidak boleh menyembunyikan informasi penting, termasuk kelemahan atau kekurangan calon pasangan. Tujuannya adalah untuk memberikan nasihat yang jujur dan bermanfaat, bukan untuk menjatuhkan atau merugikan seseorang. Contoh lain adalah memberikan peringatan kepada seseorang yang terlihat sering bergaul dengan individu yang dikenal sebagai pelaku bid’ah atau fasik, dengan tujuan untuk mencegah pengaruh buruk. Namun, perlu diwaspadai bahwa niat yang tulus harus menjadi landasan utama. Seringkali, niat yang terselubung dapat menyamarkan motif hasutan, sehingga penting untuk selalu berhati-hati dan memastikan bahwa tindakan tersebut benar-benar didasari oleh niat untuk memberi nasihat. Contoh lain yang lebih luas adalah mengadukan seorang pejabat yang menyalahgunakan wewenang kepada atasannya. Hal ini bukan ghibah, melainkan bentuk pelaporan untuk menegakkan keadilan dan akuntabilitas.
5. Mendeklarasikan Perbuatan Fasik:
Dalam kasus seseorang yang terang-terangan melakukan perbuatan fasik atau bid’ah, seperti mabuk di tempat umum atau mencuri, menyebutkan perbuatan tersebut tidak termasuk ghibah. Namun, hal ini hanya berlaku untuk perbuatan yang dilakukan secara terbuka dan diketahui umum. Menyebutkan aib atau kesalahan yang bersifat pribadi dan tersembunyi tetap dilarang, kecuali jika ada alasan yang dibenarkan seperti enam poin yang telah dijelaskan sebelumnya. Batasan yang penting di sini adalah antara mengungkapkan perbuatan yang merugikan umum dan mengungkapkan aib pribadi yang tidak perlu diketahui orang lain.
6. Untuk Mengidentifikasi:
Menggunakan julukan atau sebutan tertentu untuk mengidentifikasi seseorang yang dikenal dengan julukan tersebut, seperti "si buta," "si tuli," atau "si bisu," diperbolehkan. Namun, tujuannya harus sebatas identifikasi, bukan untuk mengejek atau menghina. Jika ada cara lain untuk mengidentifikasi seseorang tanpa menggunakan julukan yang berpotensi merendahkan, maka cara tersebut lebih diutamakan.
Kesimpulan:
Larangan ghibah dalam Islam merupakan penegasan penting akan pentingnya menjaga kehormatan dan reputasi sesama manusia. Namun, pemahaman yang komprehensif terhadap larangan ini juga harus mempertimbangkan konteks dan tujuan di balik penyampaian informasi. Enam kondisi yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa terdapat pengecualian dalam larangan ghibah, asalkan didasari oleh niat yang tulus dan tujuan yang sesuai dengan syariat Islam. Penting untuk selalu berhati-hati dan bijaksana dalam menyampaikan informasi tentang orang lain, dan senantiasa mendahulukan niat baik dan kebaikan umum. Kehati-hatian dan pertimbangan yang matang sangat diperlukan untuk menghindari terjerumus ke dalam perbuatan ghibah yang terlarang. Mengutamakan hikmah dan menjaga silaturahmi merupakan kunci utama dalam berinteraksi dengan sesama manusia.