Jakarta, 20 Januari 2025 – Gencatan senjata yang telah disepakati antara Hamas dan Israel mengalami penundaan tiga jam pada Minggu (19/1) menyusul pelanggaran kesepakatan oleh pihak Hamas. Meskipun kesepakatan gencatan senjata telah dicapai, Israel melancarkan serangan udara dan artileri ke berbagai wilayah di Gaza, menewaskan sedikitnya tiga warga Palestina dan memicu gelombang kecaman internasional. Kegagalan Hamas dalam menyerahkan daftar nama sandera Israel tepat waktu menjadi pemicu utama eskalasi kekerasan ini.
Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Daniel Hagari, secara tegas menyatakan bahwa serangan balasan tersebut merupakan konsekuensi langsung dari kegagalan Hamas memenuhi kewajibannya. "Sampai pagi ini, Hamas tidak memenuhi kewajibannya, dan bertentangan dengan kesepakatan, Hamas belum menyerahkan nama-nama sandera yang akan dibebaskan hari ini," tegas Hagari dalam pernyataan yang dikutip dari Al Jazeera. Serangan yang dilancarkan IDF menargetkan beberapa wilayah di Gaza, termasuk Khan Younis, Nuseirat, dan Kota Gaza, menunjukkan skala serangan yang meluas dan berdampak mematikan bagi warga sipil.
Laporan dari berbagai media internasional mengkonfirmasi serangan udara dan artileri yang intensif di Gaza utara dan tengah. Keganasan serangan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen Israel terhadap gencatan senjata yang telah disepakati, meskipun alasan yang dikemukakan IDF berfokus pada pelanggaran kesepakatan oleh Hamas. Jumlah korban jiwa warga Palestina yang terus meningkat akibat serangan balasan ini menjadi sorotan utama dalam situasi yang semakin tegang.
Pihak Hamas, melalui pernyataan di Telegram, menjelaskan bahwa keterlambatan penyerahan daftar nama sandera disebabkan oleh "masalah teknis." Penjelasan ini, meskipun terkesan samar, menunjukkan kesulitan komunikasi yang dihadapi Hamas di tengah serangan udara dan artileri yang intensif dari Israel. Penggunaan jet tempur dan drone Israel yang terus menerus membombardir Gaza diduga telah mengganggu akses Hamas terhadap alat komunikasi konvensional yang mudah terlacak. Situasi ini menyoroti kompleksitas dan tantangan dalam negosiasi gencatan senjata di tengah konflik bersenjata yang intens.
Meskipun mengakui adanya "masalah teknis," Hamas menegaskan kembali komitmennya terhadap kesepakatan gencatan senjata. Pernyataan ini bertujuan untuk meredakan ketegangan dan menunjukkan itikad baik, meskipun tindakan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Berdasarkan perjanjian yang telah disepakati, Hamas seharusnya menyerahkan daftar nama tawanan Israel yang ditahan selama 24 jam sebelum gencatan senjata mulai berlaku. Kegagalan memenuhi tenggat waktu ini, terlepas dari alasan yang diberikan, telah memicu reaksi keras dari Israel.
Hagari menekankan bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah menginstruksikan IDF untuk tidak memulai gencatan senjata selama Hamas belum memenuhi kewajibannya. "Sesuai arahan perdana menteri, gencatan senjata tidak akan berlaku selama Hamas tidak memenuhi kewajibannya. [Militer Israel] kini lanjut menyerang Gaza, selama Hamas tidak memenuhi kewajibannya terhadap kesepakatan tersebut," kata Hagari. Pernyataan ini menunjukkan sikap tegas Israel yang memprioritaskan kepatuhan terhadap kesepakatan sebagai prasyarat untuk gencatan senjata.
Gencatan senjata yang akhirnya berlaku pukul 11.15 waktu setempat, setelah penundaan tiga jam, menunjukkan betapa rapuhnya kesepakatan tersebut. Kantor Perdana Menteri Israel mengumumkan dimulainya gencatan senjata fase pertama melalui akun X resminya, menyatakan bahwa waktu dimulainya gencatan senjata bergantung pada rencana pembebasan sandera oleh Hamas. Penundaan ini menunjukkan betapa tegangnya situasi di lapangan dan betapa mudahnya kesepakatan yang telah dicapai dapat runtuh karena pelanggaran kesepakatan atau miskomunikasi.
Selama periode penundaan tiga jam, Israel terus melancarkan serangan udara ke Jalur Gaza, menunjukkan kurangnya komitmen terhadap gencatan senjata yang telah disepakati. Serangan ini menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas komitmen Israel terhadap proses perdamaian dan menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya korban jiwa di pihak Palestina.
Sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata, Hamas telah menyerahkan tiga warga Israel yang ditahan sebagai sandera kepada Palang Merah Internasional. Sebagai imbalan, Israel membebaskan 90 warga Palestina yang ditahan. Pertukaran tahanan ini merupakan langkah penting dalam membangun kepercayaan dan menunjukkan komitmen kedua belah pihak terhadap proses perdamaian, meskipun gencatan senjata tersebut sempat terancam oleh pelanggaran kesepakatan dan eskalasi kekerasan.
Namun, peristiwa ini menyoroti kerentanan proses perdamaian dan tantangan dalam membangun kepercayaan di tengah konflik yang berkepanjangan. Kegagalan komunikasi, misinterpretasi kesepakatan, dan kurangnya transparansi dapat dengan mudah memicu eskalasi kekerasan dan menggagalkan upaya perdamaian. Peristiwa ini juga menimbulkan pertanyaan tentang mekanisme pengawasan dan verifikasi yang diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap gencatan senjata dan mencegah pelanggaran di masa mendatang.
Ke depan, perlu adanya mekanisme yang lebih kuat untuk memastikan komunikasi yang efektif dan transparan antara kedua belah pihak. Penting juga untuk melibatkan pihak ketiga yang netral, seperti PBB atau organisasi internasional lainnya, untuk memantau dan memfasilitasi proses perdamaian. Keberhasilan gencatan senjata jangka panjang bergantung pada komitmen kedua belah pihak untuk menghormati kesepakatan yang telah dicapai dan untuk mengatasi akar penyebab konflik. Kegagalan untuk melakukannya hanya akan mengarah pada siklus kekerasan yang berulang dan penderitaan yang berkelanjutan bagi penduduk Gaza.
Situasi di Gaza tetap rawan dan membutuhkan perhatian internasional yang serius. Penting bagi komunitas internasional untuk menekan kedua belah pihak untuk menghormati gencatan senjata dan untuk bekerja sama dalam mencari solusi damai yang berkelanjutan. Kegagalan untuk melakukannya akan mengakibatkan konsekuensi kemanusiaan yang mengerikan dan memperburuk ketidakstabilan di kawasan tersebut. Peristiwa ini menjadi pengingat akan pentingnya diplomasi, komunikasi yang efektif, dan komitmen yang kuat terhadap perdamaian untuk mengakhiri siklus kekerasan yang telah berlangsung lama di Gaza.