Pernikahan, dalam ajaran Islam, bukan sekadar ikatan sosial, melainkan sebuah perjanjian suci yang dilandasi rukun-rukun yang tak terbantahkan. Allah SWT menganjurkan pernikahan sebagai salah satu pilar utama syariat Islam, terutama dalam menjaga kemurnian nasab dan melindungi manusia dari perbuatan tercela seperti zina. Anjuran tersebut termaktub jelas dalam Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 32:
(Ayat An-Nur 32 dalam bahasa Arab dan terjemahannya tidak disertakan karena teks aslinya tidak terbaca dengan jelas. Sebaiknya ayat tersebut dicantumkan dengan penulisan yang akurat untuk terjemahan yang tepat)
Ayat di atas secara tegas mendorong umat Islam untuk menikah, bahkan memberikan jaminan pertolongan Allah bagi mereka yang kekurangan secara ekonomi. Hal ini menggarisbawahi betapa pentingnya pernikahan dalam pandangan agama, bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan juga sebagai jalan menuju keberkahan dan ketentraman hidup. Memahami rukun-rukun nikah menjadi sangat krusial bagi calon pengantin muslim untuk memastikan sahnya ikatan pernikahan di mata agama.
Berdasarkan kajian fikih dari berbagai mazhab, terdapat empat rukun nikah yang tak dapat diabaikan. Keempat rukun ini membentuk pondasi kokoh bagi sebuah pernikahan yang syar’i dan berkah. Ketiadaan salah satu rukun akan mengakibatkan pernikahan tersebut tidak sah secara hukum Islam. Berikut uraian detail mengenai keempat rukun tersebut:
1. Suami dan Istri (Al-‘Aridain): Kehadiran dan Kesiapan Spiritual
Rukun pertama nikah adalah keberadaan calon suami dan istri yang memenuhi syarat dan ketentuan sebagai calon pasangan yang sah. Jumhur ulama sepakat mengenai hal ini. Yang ditekankan di sini bukanlah semata kehadiran fisik pada saat akad nikah berlangsung, melainkan juga kesiapan spiritual dan legalitas kedua belah pihak.
Penting untuk dibedakan antara kehadiran fisik dan legalitas. Kehadiran fisik suami dan istri saat akad bukan merupakan syarat mutlak. Qabul (penerimaan) dari calon suami, misalnya, dapat diwakilkan kepada orang yang telah ditunjuk dan memenuhi syarat sebagai wakil. Yang terpenting adalah terpenuhinya syarat-syarat sahnya pernikahan dari kedua belah pihak, baik secara agama maupun hukum negara. Ini mencakup aspek usia, kebebasan memilih, dan ketiadaan halangan pernikahan lainnya.
2. Wali Nikah: Perwakilan dan Perlindungan
Kehadiran wali nikah merupakan rukun kedua yang tak terpisahkan dari prosesi pernikahan. Wali nikah berperan sebagai perwakilan keluarga pihak perempuan dan memberikan izin atas pernikahan tersebut. Peran wali bukan sekadar formalitas, melainkan juga sebagai penjaga dan pelindung hak-hak perempuan dalam pernikahan.
Mengacu pada buku Panduan Lengkap Muamalah karya Muhammad Bagir, wali nikah berasal dari kalangan ashabah, yaitu kerabat terdekat dari pihak ayah. Urutan prioritas wali nikah adalah sebagai berikut:
- Ayah kandung: Memiliki hak utama sebagai wali nikah.
- Kakek dari pihak ayah: Jika ayah telah meninggal dunia.
- Putra laki-laki ayah: Jika ayah dan kakek telah meninggal.
- Saudara laki-laki ayah: Jika ayah, kakek, dan putra laki-laki ayah telah meninggal.
- Saudara laki-laki kakek dari pihak ayah: Jika semua kerabat di atas telah meninggal.
Penting untuk dicatat bahwa paman dari pihak ibu atau saudara laki-laki dari pihak ibu tidak memiliki hak perwalian nikah. Hal ini sesuai dengan kesepakatan ulama berdasarkan nash dan ijtihad. Jika tidak ada wali dari jalur ayah, maka perwalian dapat dilimpahkan kepada hakim atau pejabat yang berwenang.
3. Dua Orang Saksi yang Adil (Syahidain): Menjaga Kevalidan dan Keadilan
Keberadaan dua orang saksi yang adil merupakan rukun ketiga yang sangat penting. Kedua saksi ini harus menyaksikan langsung prosesi akad nikah dan mampu memberikan kesaksian yang benar dan terpercaya. Rasulullah SAW bersabda:
(Hadits dalam bahasa Arab dan terjemahannya tidak disertakan karena teks aslinya tidak terbaca dengan jelas. Sebaiknya hadits tersebut dicantumkan dengan penulisan yang akurat untuk terjemahan yang tepat)
Hadits di atas menegaskan pentingnya wali dan saksi dalam mensahkan pernikahan. Saksi harus memenuhi kriteria adil, yaitu memiliki integritas moral yang tinggi, terpercaya, dan mampu memberikan kesaksian yang objektif. Saksi yang tidak adil atau memiliki kepentingan pribadi dapat membatalkan kesaksiannya.
4. Ijab dan Qabul (Sighat): Pernyataan Resmi dan Kesepakatan
Rukun keempat dan terakhir adalah ijab dan qabul, yaitu pernyataan resmi dari wali nikah (ijab) dan penerimaan dari calon suami (qabul). Ijab merupakan pernyataan dari wali yang menawarkan pernikahan, sementara qabul adalah pernyataan penerimaan dari calon suami atas tawaran tersebut. Kedua pernyataan ini harus diucapkan dengan jelas dan lugas, tanpa keraguan.
Wahbah az-Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 9 menjelaskan bahwa ijab harus diucapkan sebelum qabul. Jika qabul diucapkan terlebih dahulu, maka hal tersebut tidak dianggap sah karena qabul merupakan jawaban atas ijab. Lafal ijab dan qabul yang disepakati keabsahannya oleh ulama fikih antara lain: "Aku nikahkan engkau…" dan "Aku terima nikahmu…".
Lafal-lafal lain yang bersifat meminjam, menyewakan, membolehkan sementara, wasiat, menggadaikan, atau menitipkan tidak dianggap sah sebagai ijab dan qabul. Hal ini karena lafal-lafal tersebut tidak menunjukkan pemberian hak milik secara penuh dan permanen, yang merupakan inti dari akad nikah.
Pentingnya Menikah dalam Perspektif Islam: Sunnah dan Rahmat
Selain sebagai kewajiban untuk menjaga nasab dan menghindari zina, pernikahan juga dianjurkan dalam Islam karena merupakan sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dijelaskan dalam berbagai hadits, salah satunya hadits dari Abdullah bin Mas’ud RA:
(Hadits dalam bahasa Arab dan terjemahannya tidak disertakan karena teks aslinya tidak terbaca dengan jelas. Sebaiknya hadits tersebut dicantumkan dengan penulisan yang akurat untuk terjemahan yang tepat)
Hadits ini mendorong kaum muda yang mampu secara ekonomi untuk segera menikah. Pernikahan dianggap sebagai cara untuk menjaga pandangan mata dan kemaluan dari hal-hal yang haram. Bagi yang belum mampu, disarankan untuk berpuasa sebagai penahan syahwat.
Hadits lain dari Abu Ayyub RA juga menyebutkan bahwa menikah termasuk dalam empat sunnah para rasul:
(Hadits dalam bahasa Arab dan terjemahannya tidak disertakan karena teks aslinya tidak terbaca dengan jelas. Sebaiknya hadits tersebut dicantumkan dengan penulisan yang akurat untuk terjemahan yang tepat)
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya pernikahan dalam ajaran Islam, sebagaimana dicontohkan oleh para nabi dan rasul. Pernikahan bukan hanya sekadar kebutuhan biologis, tetapi juga merupakan jalan menuju kesempurnaan iman dan kehidupan yang lebih berkah. Dengan memahami rukun-rukun nikah dan pentingnya pernikahan dalam Islam, diharapkan pasangan yang akan menikah dapat mempersiapkan diri dengan baik dan melaksanakan pernikahan yang sah dan berkah di mata Allah SWT.