Bulan Rajab, salah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan dalam Islam, akan memasuki tahun baru Masehi 2025 pada tanggal 1 Januari. Momentum ini kerap dimanfaatkan umat muslim untuk meningkatkan intensitas ibadah dan amalan sunnah. Salah satu amalan yang populer dan diyakini memiliki keutamaan luar biasa adalah dzikir Rajab sebanyak 70 kali, yang konon dapat melindungi penganutnya dari siksa api neraka. Namun, klaim ini perlu ditelaah lebih mendalam dengan pendekatan yang kritis dan berimbang, mengkaji validitas hadits yang menjadi rujukan, serta konteks praktik keagamaan yang lebih luas.
Artikel ini akan mengulas amalan dzikir Rajab 70 kali, termasuk teks dzikir, terjemahannya, serta konteks hadits yang menjadi landasannya. Lebih jauh lagi, kita akan membahas berbagai dzikir dan doa lain yang dianjurkan di bulan Rajab, serta mengkaji keutamaan bulan Rajab secara umum dan pentingnya konteks keikhlasan dalam beribadah.
Dzikir Rajab 70 Kali: Teks, Terjemahan, dan Validitas Hadits
Amalan dzikir Rajab 70 kali ini bersumber pada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa beristighfar kepada Allah dengan mengucapkan, ‘Astaghfirullaha wa atubu ilaihi’ sebanyak 70 kali di siang hari dan 70 kali di malam hari pada bulan Rajab, kemudian mengangkat kedua tangannya dan berkata, ‘Allahummaghfirli wa tub ‘alayya,’ maka jika ia wafat di bulan Rajab, ia wafat dalam keadaan diridhai Allah dan tidak akan tersentuh api neraka dengan berkat bulan Rajab."
Teks Arabnya, seperti yang dikutip dalam berbagai sumber, adalah: "أستغفر الله وأتوب إليه، اللهم اغفر لي وتب عليّ" (Astaghfirullaha wa atubu ilaihi, Allahummaghfirli wa tub ‘alayya). Terjemahannya: "Aku memohon ampun kepada Allah dan aku bertobat kepada-Nya. Ya Allah, ampunilah aku dan terimalah tobatku."
Meskipun teks dzikir ini relatif singkat dan mudah dipahami, penting untuk meneliti validitas hadits yang menjadi sumbernya. Sayangnya, artikel sumber tidak menyebutkan secara spesifik jalur periwayatan (sanad) hadits tersebut. Tanpa sanad yang jelas dan terverifikasi oleh ulama ahli hadits, keotentikan hadits tersebut patut dipertanyakan. Banyak hadits palsu atau dhaif (lemah) beredar di masyarakat, dan mengamalkan sesuatu berdasarkan hadits dhaif dapat berpotensi menyesatkan.
Oleh karena itu, penting bagi umat muslim untuk berhati-hati dan selalu mengacu pada sumber-sumber hadits yang terpercaya dan telah dikaji oleh para ahli. Mengandalkan buku-buku tanpa menyebutkan rujukan hadits yang sahih dapat menimbulkan keraguan dan bahkan kesesatan dalam praktik keagamaan.
Lebih dari Sekadar Dzikir: Konteks Bulan Rajab dan Keutamaan Ibadah
Bulan Rajab, sebagaimana bulan-bulan haram lainnya (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram), memiliki keutamaan tersendiri dalam Islam. Keutamaan ini bukan semata-mata karena adanya amalan tertentu seperti dzikir 70 kali, melainkan karena merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan dan kedekatan diri kepada Allah SWT. Bulan Rajab menjadi masa persiapan menuju bulan Sya’ban dan Ramadhan, bulan-bulan yang lebih istimewa lagi dalam kalender Islam.
Hadits yang menyebutkan keutamaan bulan Rajab, seperti yang dikutip dari Anas bin Malik, menekankan banyaknya kebaikan yang terkandung di dalamnya sebagai persiapan menuju bulan-bulan berikutnya. Ini menunjukkan bahwa keutamaan bulan Rajab terletak pada kesempatan yang diberikan untuk memperbanyak amal saleh, bukan hanya pada amalan-amalan spesifik yang mungkin memiliki validitas hadits yang dipertanyakan.
Rasulullah SAW sendiri, ketika melihat hilal bulan Rajab, dilaporkan membaca doa: "اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان وأعنا على الصيام والقيام وحفظ اللسان وغض البصر ولا تجعل حظنا منه الجوع والعطش" (Allahumma baarik lanaa fii rajaba wa sya’baana wa ballighnaa syahra ramadhaana wa a’innaa ‘alas-shiyaami wal-qiyaami wa hifdzhil-lisaani wa ghadhlil-bashari wa laa taj’al hazzanaa minhu al-juu’a wal-‘athasya). Artinya: "Ya Allah, berkatilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadhan. Tolonglah kami untuk shiyam dan qiyam serta menjaga lisan dan menundukkan pandangan. Jangan jadikan bagian kami darinya hanya rasa lapar dan haus."
Doa ini menunjukkan fokus utama ibadah di bulan Rajab, yaitu memohon keberkahan dan pertolongan Allah SWT untuk menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya, termasuk puasa, shalat malam, menjaga lisan, dan menundukkan pandangan. Ini jauh lebih luas daripada sekadar mengulang dzikir tertentu sebanyak 70 kali.
Malam Pertama Rajab: Waktu Mustajab untuk Berdoa?
Hadits yang menyebutkan keutamaan malam pertama bulan Rajab sebagai waktu mustajab untuk berdoa perlu juga dikaji secara kritis. Meskipun hadits ini menekankan pentingnya berdoa di malam tersebut, kita perlu memastikan keotentikan dan derajat hadits tersebut sebelum mengklaimnya sebagai kebenaran mutlak. Konsep waktu mustajab sendiri merupakan konsep yang luas dan tidak terbatas pada waktu-waktu tertentu saja. Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Mendengar doa hamba-Nya kapan pun dan di mana pun, asalkan dipanjatkan dengan keikhlasan dan kesungguhan hati.
Keikhlasan: Kunci Utama Penerimaan Ibadah
Terlepas dari validitas hadits yang menjadi rujukan, esensi dari setiap amalan keagamaan, termasuk dzikir Rajab 70 kali, terletak pada keikhlasan. Ibadah yang dilakukan dengan niat yang tulus dan semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT akan mendapatkan ganjaran yang lebih besar daripada ibadah yang dilakukan hanya karena ingin mendapatkan imbalan duniawi atau karena mengikuti tren semata.
Mengulang dzikir 70 kali tanpa disertai pemahaman yang mendalam tentang makna dzikir tersebut dan tanpa disertai niat yang tulus hanya akan menjadi rutinitas belaka, tanpa memberikan dampak spiritual yang berarti. Lebih penting untuk merenungkan makna dzikir dan doa yang dipanjatkan, serta berusaha untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan.
Kesimpulan:
Amalan dzikir Rajab 70 kali, meskipun populer di kalangan masyarakat, perlu dikaji lebih mendalam terkait validitas hadits yang menjadi landasannya. Keutamaan bulan Rajab lebih menekankan pada peningkatan kualitas ibadah dan ketaqwaan secara keseluruhan, bukan hanya pada amalan-amalan spesifik. Keikhlasan dan kesungguhan hati dalam beribadah jauh lebih penting daripada sekadar mengikuti amalan-amalan tertentu tanpa pemahaman dan niat yang benar. Umat muslim dianjurkan untuk selalu berpegang teguh pada sumber-sumber hadits yang sahih dan terpercaya, serta senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Jangan sampai kita terjebak dalam praktik keagamaan yang kurang berdasar dan hanya mengejar pahala tanpa disertai pemahaman dan keikhlasan yang sejati.