ERAMADANI.COM – Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) Dr dr Erlina Burhan, SpP(K), MSc mengatakan toksisitas rokok elektrik atau vape pada tubuh penggunanya suatu hal nyata, antara lain karena kandungan nikotin dan logam di dalamnya.
“Ujung-ujungnya akan menimbulkan inflamasi atau peradangan di paru, saluran napas, bisa kemudian mempengaruhi kerja jantung, kerusakan sel dan karsinogen,” kata Ketua Satgas COVID-19 PB IDI itu secara daring, Sabtu.
Rokok elektrik merupakan suatu alat yang berfungsi seperti rokok, namun dalam penggunaannya mengubah cairan menjadi uap. Rokok konvensional apabila dibakar menghasilkan asap, sementara rokok eletrik bila dipanaskan maka menghasilkan uap dan dihisap ke saluran napas sampai ke paru-paru.
Melansir dari antaranews.com, rokok elektrik yang juga dikenal dalam berbagai nama seperti vapour, e-cig, e-liquid, personal vaporizer (pv), dan lainnya, mengandung kadar nikotin umumnya sekitar 14,8 – 87,2 mg/ml pada cairan. Sementara menurut analisis Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), dalam 100 cc hisapan rokok terdapat 26,8 – 43,2 mikrogram nikotin.
“Saat seseorang menghirup 30 kali hisapan itu bisa mencapai kadar nikotin 1 mg, sama seperti yang dihantarkan satu rokok konvensional. Kita tahu orang menghirup berkali-kali,” sebut Erlina.
Dikatakan selain menyebabkan adiksi nikotin, kandungan lainnya dalam vape berupa propylene glikol dan gliserin yang dapat mengiritasi saluran napas dan paru,
Bahan-bahan logam yakni heavymetals yang dapat menginflamasi paru, jantung, merusak sel dan bersifat karsinogen, kemudian formaldehide, aldehyde, particulate matter (PM), nitrosamin, serta silikat dengan dampak serupa pada tubuh.
“Semuanya sifatnya toksik dan dalam jangka panjang akan bersifat karsinogen, artinya menimbulkan kanker,” tegas Erlina.
Dia merujuk data pada Juli 2020, mengungkapkan jumlah pengguna elektrik di Indonesia sekitar 2,2 juta orang dan angka ini memiliki kemungkinan akan terus bertambah.