Jakarta – Keutamaan orang yang terzalimi di hadapan Allah SWT telah lama diakui dalam ajaran Islam. Keyakinan ini berakar pada sejumlah hadis yang secara tegas menyatakan bahwa doa mereka adalah mustajab, atau mudah dikabulkan. Penegasan ini bukan sekadar ungkapan simbolik, melainkan ajaran yang memiliki implikasi mendalam bagi pemahaman keadilan, tanggung jawab sosial, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Artikel ini akan mengkaji beberapa hadis terkait, menganalisis konteks historisnya, dan menguraikan implikasi modern dari ajaran tersebut.
Salah satu hadis yang paling sering dikutip terkait doa orang terzalimi diriwayatkan dalam Mukhtashar Shahih Bukhari, karya M. Nashiruddin Al-Albani (Syekh Al-Albani), dan diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dan A. Ikhwani. Hadis ini menceritakan kisah Khalifah Umar bin Khattab RA dan seorang budaknya bernama Hunay. Umar menugaskan Hunay untuk menjaga himaa (wilayah penggembalaan ternak). Perintah Umar kepada Hunay sarat dengan pesan moral yang mendalam: “Wahai Hunay, janganlah kau menzalimi orang-orang muslim dan takutlah dari doa orang yang terzalimi, karena sesungguhnya doa orang yang dizalimi terkabulkan.”
Pernyataan Umar ini bukan sekadar peringatan biasa. Ia mencerminkan pemahaman mendalam tentang keadilan dan konsekuensi dari tindakan zalim. Umar menekankan pentingnya perlakuan adil kepada semua, khususnya mereka yang lemah dan tidak berdaya. Ia menginstruksikan Hunay untuk tidak memprioritaskan ternak kaum kaya seperti Ibnu Auf dan Ibnu Affan, melainkan memberikan perhatian yang sama kepada peternak kecil yang hanya memiliki sedikit ternak. Alasannya jelas: kerusakan ternak bagi kaum kaya masih dapat ditoleransi karena mereka memiliki sumber daya lain, sementara bagi kaum miskin, kerusakan ternak dapat berdampak sangat besar pada kehidupan mereka.
Umar melanjutkan, “Dan sesungguhnya, jika ternak milik orang-orang yang memiliki sedikit unta dan sedikit domba rusak, maka mereka mendatangi saya dengan membawa anak-anak mereka, seraya berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, wahai Amirul Mukminin, apakah saya biarkan mereka terlunta-lunta?’” Kalimat ini menggarisbawahi keprihatinan Umar terhadap dampak langsung kezaliman terhadap kehidupan masyarakat, khususnya anak-anak yang tak berdosa. Ia menyadari bahwa menyediakan air dan rerumputan bagi ternak-ternak tersebut jauh lebih ringan daripada memberikan emas dan perak sebagai ganti rugi. Lebih dari itu, Umar mengungkapkan rasa tanggung jawabnya sebagai pemimpin: “Demi Allah, sesungguhnya mereka melihat saya telah menzalimi saya. Sesungguhnya ini adalah negeri mereka. Pada masa jahiliah, mereka berperang melindunginya dan mereka masuk Islam agar tetap di dalamnya.”
Pengakuan Umar ini menunjukkan kerendahan hati dan kesadaran akan hak-hak rakyatnya. Ia menyadari bahwa kepemimpinannya didasarkan pada kepercayaan dan keadilan, bukan pada kekuasaan semata. Bahkan, ia menjelaskan alasannya menetapkan himaa tersebut, “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya bukan karena harta (unta ternak lainnya) yang saya siapkan fi sabilillah, pasti saya tidak akan menjadikan sejengkal tanah mereka sebagai himaa.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa tindakan Umar, meskipun mungkin tampak sebagai tindakan yang membatasi hak-hak tertentu, didasarkan pada pertimbangan yang lebih luas, yaitu kepentingan umum dan perjuangan di jalan Allah.
Hadis ini bukan hanya sekadar kisah historis, melainkan juga sebuah pelajaran berharga tentang kepemimpinan yang adil dan bijaksana. Ia menekankan pentingnya melindungi hak-hak orang lemah dan menghindari kezaliman dalam segala bentuknya. Lebih penting lagi, hadis ini menggarisbawahi kekuatan doa orang yang terzalimi, yang diyakini mampu menembus langit dan sampai kepada Allah SWT.
Selain hadis dari Mukhtashar Shahih Bukhari, terdapat hadis lain yang memperkuat keyakinan akan mustajabnya doa orang terzalimi. Imam at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi mencantumkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Takutlah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya itu dengan Allah.” Hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa doa orang terzalimi memiliki akses langsung kepada Allah SWT tanpa penghalang. Ini menunjukkan betapa seriusnya Allah SWT memandang kezaliman dan betapa besarnya perhatian-Nya terhadap orang-orang yang menderita karenanya.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh jalur lain, memperkuat kesahihannya. Riwayat dari Anas, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan Abu Sa’id memperkuat kredibilitas hadis ini. At-Tirmidzi sendiri mengklasifikasikan hadis ini sebagai hasan shahih, menunjukkan tingkat kesahihannya yang tinggi.
Lebih jauh lagi, Yusuf Qardhawi dalam Fiqh Al-Jihad menyinggung hadis yang menganjurkan untuk menolong saudara yang dizalimi, baik yang menjadi pelaku maupun korban. Rasulullah SAW bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi.” Para sahabat bertanya bagaimana menolong orang yang zalim, dan Rasulullah menjawab, “Mencegahnya dari kezaliman, karena itu adalah pertolongan untuknya.” Ajaran ini menekankan pentingnya peran aktif setiap individu dalam mencegah dan mengatasi kezaliman.
Menolong orang yang terzalimi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau aparat penegak hukum. Ini adalah kewajiban moral bagi setiap muslim, bahkan setiap individu yang beriman kepada keadilan. Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban atas kelalaian dalam menegakkan keadilan dan melindungi orang yang terzalimi. Kezaliman, menurut perspektif Islam, adalah kegelapan yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Buku Mutiara Hadis Qudsi karya Ahmad Abduh Iwadh juga menekankan pentingnya membantu orang yang terzalimi. Buku ini mengingatkan bahwa jika seseorang tidak mampu mencegah kezaliman atau mengembalikan hak yang terampas, maka ia setidaknya harus memberikan dukungan moral dan bantuan lainnya. Bantuan ini dapat berupa dukungan verbal maupun tindakan nyata yang memberikan kekuatan kepada korban.
Hadis riwayat Abu Hurairah RA yang terdapat dalam Shahih Muslim menegaskan hal ini lebih lanjut. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang melepaskan kesempitan dari seorang mukmin dari kesempitan dunia, niscaya Allah akan melepaskan kesempitan di hari kiamat. Dan barang siapa yang memudahkan kesulitan orang lain, niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Dan barang siapa yang menutup aib seorang mukmin, niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya itu menolong saudaranya."
Hadis ini melukiskan gambaran yang komprehensif tentang bagaimana Allah SWT akan membalas kebaikan dan menolong hamba-Nya yang senantiasa berbuat baik dan membantu sesama, khususnya mereka yang terzalimi. Ini bukan hanya tentang mustajabnya doa orang terzalimi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral setiap individu dalam menciptakan keadilan dan menegakkan kebenaran.
Kesimpulannya, ajaran Islam sangat menekankan pentingnya melindungi orang yang terzalimi dan mencegah kezaliman. Mustajabnya doa orang terzalimi bukanlah sekadar kepercayaan, melainkan sebuah prinsip yang memiliki implikasi moral dan sosial yang luas. Hadis-hadis yang telah dikaji di atas memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana kita seharusnya bertindak dalam menghadapi kezaliman, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Menciptakan masyarakat yang adil dan berkeadilan merupakan tanggung jawab bersama, dan kita semua akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT atas tindakan dan kelalaian kita.